Erdogan, Sosok yang Ingin Kembali Kuasai Turki Meski Sudah Berkuasa Selama 20 Tahun

Erdogan kembali mencalonkan diri sebagai calon Presiden Turki

EPA-EFE/TOLGA BOZOGLU
Recep Tayyip Erdogan, kembali mencalonkan diri sebagai calon Presiden Turki
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, REPUBLIKA.CO.ID,  ANKARA – Akhir pekan ini, Presiden Recep Tayyip Erdogan, yang telah mendominasi politik Turki selama dua dekade, berusaha untuk memperpanjang kekuasaannya selama lima tahun mendatang dalam pemilihan presiden yang digelar pada Ahad (14/5/2023).

Erdogan sedang berjuang untuk mengamankan masa jabatan ketiga sebagai presiden, dan menambah tiga periode sebelumnya sebagai perdana menteri dari 2003 hingga 2014.

Pria berusia 69 tahun itu berasal dari tradisi politik konservatif dan telah mengembangkan reputasi sebagai tokoh pemecah belah di negara yang didirikan di sepanjang garis sekuler pada 1920-an oleh Mustafa Kemal Ataturk.

Erdogan melampaui masa jabatan Ataturk yang memimpin Turki selama 15 tahun. Erdogan menjadi pemimpin terlama di Turki.

Pada 2014, Erdogan menjadi presiden pertama yang dipilih melalui pemilihan umum. Dia memenangkan referendum yang memusatkan kekuasaan di tangan presiden.

Karier politik Erdogan bermula pada 1970-an di Beyoglu, distrik Istanbul yang mencakup rumah masa kecilnya di Kasimpasa, lingkungan kelas pekerja di lereng yang mengarah dari toko-toko mewah di Jalan Istiqlal ke perairan Tanduk Emas.

Peran politik pertama Erdogan berlangsung pada 1976. Ketika itu, dia menjabat sebagai kepala cabang pemuda Beyoglu dari Partai Keselamatan Nasional, yang dipimpin Necmettin Erbakan, calon perdana menteri yang dipandang luas sebagai mentor Erdogan.

Pada 1994, Erdogan menjadi walikota Istanbul. Ketika itu, dia menangani banyak masalah yang dihadapi penduduk seperti polusi udara, pengumpulan sampah, dan kekurangan air bersih.

Empat tahun kemudian dia menarik perhatian pengadilan karena membacakan puisi kontroversial.  Hal ini menyebabkan dia mendapatkan hukuman penjara empat bulan karena menghasut diskriminasi agama.

Erdogan keluar dari penjara pada Juli 1999 dengan larangan berpolitik yang masih berlaku. Dua tahun kemudian Erdogan kemudian membentuk Partai Keadilan dan Pembangunan (Partai AK).

Baca juga: Mualaf Theresa Corbin, Terpikat dengan Konsep Islam yang Sempurna Tentang Tuhan

Lima belas bulan setelah didirikan, partai tersebut memenangkan pemilu pada 2002. Karena larangan politiknya, Erdogan tidak dapat menjabat sebagai perdana menteri hingga Market tahun berikutnya. Para pengamat berpendapat, mereka telah melihat perubahan dramatis dalam politik Erdogan sejak berkuasa.

Sebagian besar komentator melihat dekade pertama pemerintahan Partai AK, pemerintah merangkul reformasi demokrasi ketika Turki berusaha untuk bergabung dengan Uni Eropa.

Erdogan dipuji kaum liberal di dalam dan luar negeri karena melonggarkan cengkeraman militer di negara itu dan menangani hak-hak perempuan dan minoritas.

Namun, dalam 10 tahun terakhir, Erdogan telah dikritik karena mengadopsi pandangan yang lebih otoriter. Menurut banyak orang, tindakan Erdogan ini semakin mempolarisasi Turki, terutama setelah protes anti-pemerintah nasional 10 tahun lalu dan upaya kudeta pada 2016.

Pembersihan setelah kudeta yang gagal membuat puluhan ribu orang dipenjara atau diberhentikan dari pekerjaan mereka. Pemerintah menargetkan pendukung pemimpin Muslim yang berbasis di Amerika Serikat, Fethullah Gulen. 

Pemerintah Turki menuding Gulen mendalangi upaya kudeta. Gulen adalah seorang ulama berpengaruh di Turki. Kritikus mengatakan tindakan keras itu digunakan sebagai kedok untuk menargetkan perbedaan pendapat politik yang lebih luas dan istilah "Gulenist" telah menjadi alat untuk menodai lawan mana pun.

Keberhasilan Erdogan dalam pemilihan nasional mencapai puncaknya pada 2015 ketika Partai AK kehilangan suara mayoritas di parlemen. Hal ini membuat presiden bersekutu dengan ultra-nasionalis dan meninggalkan proses perdamaian Kurdi.

Baca juga: Jungkir Balikkan Lembaga Survei, Erdogan Sementara Unggul 49 Persen di Pemilu Turki

Empat tahun kemudian, Erdogan mengalami kekalahan elektoral pertamanya ketika pemilihan lokal di kota-kota besar, termasuk Istanbul dan Ankara, memilih oposisi.  

Pemungutan suara ulang digelar di Istanbul setelah Partai AK memprotes hasil pemilu. Hal ini menyebabkan kandidat oposisi untuk walikota menang dengan selisih yang lebih besar.

Erdogan sekarang menjanjikan kemakmuran ekonomi di masa depan. Menjelang pemilu, Erdogan telah berusaha untuk meringankan biaya hidup yang meningkat dengan memperkenalkan tagihan energi bersubsidi dan kenaikan pensiun, gaji pekerja publik dan upah minimum.

Erdogan juga menyoroti perbaikan yang dilakukan pada kehidupan sehari-hari warga Turki, serta memamerkan proyek-proyek bergengsi, terutama di bidang militer, seperti pengembangan drone.

Baca juga: 7 Daftar Kontroversi Panji Gumilang Pimpinan Al Zaytun yang tak Pernah Tersentuh

Baca Juga

 

Turki mengalami serangkaian krisis ekonomi yang telah menyebabkan inflasi yang merajalela dan krisis biaya hidup yang semakin dalam.

Gempa bumi pada Februari di Turki dan Suriah menambah tekanan lebih lanjut pada Erdogan. Banyak orang mengkritik lambatnya tanggapan pemerintah terhadap gempa, dan kegagalan pemerintah menegakkan peraturan bangunan.

“Dia (Erdogan) harus pergi. Rezim satu orang  membantu menciptakan bencana ini," kata Furkan Ozbilgin (29 tahun) seorang warga Kota Antakya yang paling parah terkena gempa dan kubu oposisi.

 “Melalui aturannya, kontraktor diizinkan untuk membangun gedung-gedung yang begitu buruk yang runtuh, menewaskan ribuan orang,” tambah Ozbilgin, dilaporkan Aljazirah, Sabtu (13/5/2023).

Di sisi lain, pendukung Erdogan berpendapat bahwa dia telah berhasil mengatasi masalah Turki. Seorang penjaga toko di distrik Fatih yang konservatif di Istanbul, Ahmet Gokkaya mengatakan, dia melihat Erdogan sebagai  orang yang mengatasi masalah Turki saat ini.

 “Tentu saja, selama 20 tahun, akan ada periode buruk dan juga baik. Presiden kita tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas bencana gempa. Apakah dia mengontrol setiap situs bangunan di Turki?. Kami telah melihat apa yang dia lakukan untuk negara ini, dan kami tidak boleh meninggalkannya sekarang," kata Gokkaya. 

Petugas menghitung suara di tempat pemungutan suara, di Ankara, Turki, Ahad, (14/5/2023). - (AP/ Burhan Ozbilici)

 

 
Berita Terpopuler