10 Undang-Undang Terkait Kesehatan yang akan Digusur Omnibus Law RUU Kesehatan

RUU Kesehatan menggunakan metode omnibus law seperti UU Cipta Kerja.

Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah tenaga kesehatan saat melaksanakan aksi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Senin (8/5/2023). Aksi damai yang dilaksanakan oleh gabungan organisasi profesi kesehatan itu menolak RUU Omnibus Law Kesehatan yang dinilai berpotensi memecah belah profesi kesehatan, melemahkan perlindungan dan kepastian hukum tenaga kesehatan. Selain itu mereka juga menuntut pemerintah untuk memperhatikan sejumlah fasilitas kesehatan di daerah pelosok yang belum memadai.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Zainur Mashir Ramadhan, Bayu Adji Prihamdana

Baca Juga

DPR telah menetapkan rancangan undang-undang (RUU) tentang kesehatan menjadi usul inisiatifnya. RUU tersebut nantinya akan menggunakan metode omnibus law seperti yang dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam draf yang diterima Republika, RUU Kesehatan akan mencabut 10 peraturan perundang-undangan setelah DPR mengesahkannya menjadi undang-undang. Hal tersebut diatur dalam Pasal 474 draf RUU Omnibus Kesehatan tersebut.

Ke-10 undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 terkait Wabah Penyakit Menular, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Lalu, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Kemudian, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

Selanjutnya dalam Pasal 475 draf RUU Kesehatan, saat undang-undang tersebut berlaku, organisasi profesi yang telah berbadan hukum sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diakui keberadaannya. Sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.

"Dan harus menyesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini dalam jangka waktu paling lama satu tahun terhitung sejak undang-undang ini diundangkan," bunyi Pasal 475 tersebut.

Selanjutnya, peraturan pelaksanaan dari RUU Kesehatan harus ditetapkan paling lama dua tahun terhitung sejak undang-undang tersebut diundangkan. 

Enam transformasi

Pada awal April 2023, pemerintah resmi menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Kesehatan yang akan menggunakan metode omnibus law. Ada 3.020 DIM yang diserahkan pemerintah kepada Komisi IX DPR.

"Kemenkes sudah partisipasi publik masif 13-31 maret, 6.011 masukan, 75 persen ditindaklanjuti. Salah satu contoh kita bertemu IDI," ujar Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja dengan Komisi IX, Rabu (5/4/2023).

Dia menjelaskan, ada enam pilar dari RUU Kesehatan tersebut. Pertama adalah transformasi layanan primer. Di mana RUU Kesehatan akan menciptakan layanan kesehatan yang berfokus pada upaya mencegah orang sehat menjadi sakit.

Pilar kedua adalah transformasi layanan rujukan. RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law itu akan mempermudah masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas.

Ketiga, transformasi sistem ketahanan kesehatan. RUU Kesehatan akan meningkatkan kemandirian nasional di sektor farmasi dan alat kesehatan. Lewat RUU tersebut, pemerintah akan memfasilitasi infrastruktur, suprastruktur, SDM, anggaran, regulasi, dan kemudahan perizinan untuk riset dan transfer teknologi.

Dalam pilar ketiga ini, RUU Kesehatan juga akan meningkatkan ketahanan dalam menghadapi krisis kesehatan pada masa kini dan yang akan datang. Salah satunya dengan penyiapan upaya kesiapsiagaan pra-bencana, surveilans, pengendalian risiko, dan tindakan penanggulangan.

Pilar keempat, transformasi sistem pembiayaan kesehatan. Ia menyebut, RUU Kesehatan akan meningkatkan efisiensi pembiayaan kesehatan dengan menerapkan perencanaan berbasis kinerja.

"Dengan mempertimbangkan prioritas pembangunan kesehatan dan penyelesaian masalah kesehatan," ujar Budi.

Pilar selanjutnya, terkait dengan sumber daya manusia (SDM) di bidang kesehatan. RUU omnibus Kesehatan akan meningkatkan produksi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang berkualitas.

Terakhir adalah transformasi teknologi kesehatan. Ia menjelaskan, RUU Kesehatan akan mewujudkan digitalisasi sistem kesehatan dan meningkatkan inovasi teknologi kesehatan.

"Pemerintah sangat mendukung inisiatif RUU Kesehatan, karena ini sejalan transformasi sistem kesehatan Indonesia, terdiri enam pilar," ujar Budi.

 

 

 

Merespons rencana DPR dan pemerintah membahas RUU Kesehatan, para dokter, bidan, apoteker hingga perawat melakukan aksi unjuk rasa tolak Omnibus Law RUU Kesehatan di silang Monas, Jakarta Pusat, pada Senin (8/5/2023). Dalam aksinya, mereka dinaungi lima organisasi buruh dari Ikatan Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

"Kami sedih soal RUU Kesehatan. Tapi kami datang dengan damai. Kami tidak datang semua di sini, karena sebagian kami tetap di lapangan tetap layani kesehatan masyarakat,” kata orator di atas mobil komando, Senin (8/5/2023).

Dia menyebut, sejauh ini para tenaga kesehatan tidak menuntut apa pun, bahkan gaji layaknya buruh atau profesi lain. Tuntutan kali ini, disebut para massa aksi karena kerugian dalam sistem kesehatan saat diambil alih seluruhnya oleh Pemerintah sesuai RUU.

Menurut dia, bukan hanya profesi tenaga kesehatan yang terancam digantikan bila pemerintah sebagai otoritas tidak menyukainya. Masyarakat dinilai menjadi korban terdampak parah dari adanya sistem ini.

“Jangan dengarkan bisikan dari yang baru lahir kemarin. Kami sudah puluhan tahun,” katanya.

Orator lain di lokasi yang sama, mengingatkan perjuangan tenaga kesehatan saat pandemi Covid-19 menyeruak. Menurut mereka, profesi tenaga kesehatan menjadi ujung tombak dan diharapkan tetap demikian tanpa adanya RUU Kesehatan.

Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi mengatakan, aksi unjuk rasa para tenaga kesehatan di Monas, Jakarta Pusat, pada hari ini digelar untuk menyuarakan dampak RUU Kesehatan terhadap masyarakat. Meski lima organisasi kesehatan di semua wilayah Indonesia melakukan aksi di Monas, kata dia, layanan kesehatan bagi masyarakat tetap terlaksana, mengingat tidak semua tenaga kesehatan ikut ke jalan menyuarakan aksi.

“Kami menjamin layanan kesehatan masih ada. Karena ada teman-teman kami yang menjaga pelayanan,” kata Adib dalam orasinya, Senin (8/5/2023).

Dia menegaskan, apa yang disuarakan oleh tenaga kesehatan saat ini merupakan perjuangan. Adib menambahkan, saat tenaga medis turun ke jalanan, ada hal yang melawan hati nurani.

“Saat tenaga medis turun ke jalan, hal yang kita hindari, hal yang melawan nurani. Saat kita turun ke jalan berarti ada sesuatu masalah, ada kondisi krisis,” ujar dia.

Tidak hanya di Jakarta, aksi juga digelar para tenaga kesehatan di daerah. Di Kota Tasikmalaya, aksi simpatik digelar di Sekretariat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Tasikmalaya. Ketua IDI Cabang Kota Tasikmalaya Polar Silumi mengatakan, aksi simpatik ini dilakukan sebagai dukungan kepada rekan-rekan mereka yang melakukan aksi damai di Jakarta.

"Ada dua hal dalam omnibus law yang kami persoalkan," kata dia, Senin.

Penolakan pertama adalah terdapat sejumlah pasal yang memberatkan kerja para nakes di lapangan. Pasal-pasal itu disebut berpotensi untuk mengkriminalisasi dokter. 

Poin kedua yang menjadi bahan penolakan adalah terkait dihapuskannya organisasi profesi dalam RUU tersebut. Artinya, organisasi seperti IDI, Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), tak akan lagi diakui dalam Undang-Undang. 

Menurut Polar, organisasi profesi itu memiliki peran pengawasan etik dan pembinaan kepada para nakes. Selain itu, organisasi profesi juga memiliki peran untuk peningkatan kualifikasi nakes di lapangan. 

"Kalau tidak ada organisasi profesi, pengawasan etik dan pembinaan siapa yang akan mengawasi? Pemerintah juga tidak akan sanggup. Dokter saja sudah hampir 300 ribu. Belum lagi perawat dan lainnya," ujar dia.

Ia berharap, pemangku kebijakan dapat mendengar aspirasi para nakes di lapangn. Sebab, ia tak berharap ada aksi selanjutnya, yang justru akan merugikan masyarakat. 

"Kita tidak harapkan ada aksi selanjutnya. Karena dengan aksi mogok, itu akan merugikan masyarakat," kata Polar.

 

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin meminta perbedaan pendapat dalam proses pembahasan RUU Kesehatan diselesaikan melalui cara yang beradab. Pernyataan tersebut disampaikan untuk menjawab aksi damai penolakan RUU Kesehatan yang melibatkan lima organisasi profesi kesehatan.

"Kalau ingin mencapai tujuan yang baik dan ada perbedaan pendapat, kita selesaikan secara civilized (beradab)," ujar Budi seusai menghadiri Peluncuran Beasiswa Fellowship Luar Negeri di Gedung Kemenkes RI Jakarta, Senin (8/5/2023).

 

Kitab kedokteran fenomenal sarjana muslim - (republika)

 

 
Berita Terpopuler