Bak Adegan Film Hotel Rwanda, Pilot WNI Ini Terjebak di Tengah Berkecamuknya Perang Sudan

WNI sempat terjebak di tengah perang saudara di sebuah hotel Khartoum Sudan

AP Photo/Marwan Ali
Asap mengepul di Khartoum, Sudan, Rabu, 3 Mei 2023. Banyak orang melarikan diri dari konflik di Sudan antara militer dan pasukan paramiliter saingan
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Bak adegan di film Hotel Rwanda yang merajai box office 2004 lalu. Film besutan sutradara Terry George itu, mengangkat tentang kisah penyelamatan pengungsi di salah satu hotel di Rwanda, ketika perang saudara berkecamuk di benua hitam itu. 

Baca Juga

Kisah ini pun, menimpa salah satu warga negara Indonesia di tengah meletusnya perang Sudan. Jarum jam menunjukkan pukul 09.00 waktu Sudan pada hari Sabtu (15/4/2023). Ketika itu, Muhammad Nizar, pilot maskapai Asia Cargo Airlines (ACA), dan empat kru mendengar rentetan pertama tembakan di dekat tempat mereka menginap di Khartoum, Sudan.

Nizardan awak maskapai kargo pada petang itu sedang menunggu keberangkatan. Pria asal Jakarta tersebut mengaku tidak menyangka bahwa mereka saat itu sedang berada di tengah perang militer. Awalnya mereka berpikir itu hanya aksi demonstrasi sipil saja.

Nizar dan kru saat itu baru saja tiba di Khartoum dari Jakarta untuk membawa pesawat kargo perusahaan maskapai tempat mereka bekerja, dan tiba sekitar pukul 04.30 pagi waktu Sudan. Mereka menginap di Coral Hotel.

Namun, hari itu Kedutaan Besar Republik Indonesia di Sudan menginformasikan bahwa warga negara Indonesia harus mencari tempat perlindungan diri yang aman sesegera mungkin karena perang militer tengah berkecamuk di salah satu negara Islam di Afrika Tengah itu.

Nizar yang menginap bersama empat kru pesawat kargo maskapai ACA lainnya, sore itu masih berada di lantai 7 hotel. Rentetan tembakan seketika membuat mereka kaget.

Dua hingga tiga hari mereka tidak bisa tidur karena desing peluru hingga letupan bom terus menderu, bahkan seperti mendekat. Peperangan hanya terdengar mereda kala adzan berkumandang.

Nizar dan teman-temannya mengira, mungkin pihak yang berkonflik di Sudan juga tengah berpuasa. Karena umat Islam saat itu memasuki ibadah puasa Ramadhan 1444 Hijriyah. Jadi, waktu azan subuh dan azan maghrib tidak ada suara tembakan.

Akan tetapi, selepas menunaikan shalat, tembak-menembak dimulai lagi. Baku tembak dua kubu berseteru di Sudan itu terus berlangsung, seolah tanpa ada habisnya. Nizar dan kru sebenarnya ingin tenang dan rileks sejenak, tapi tidak bisa.

Berbagai cara dicoba supaya bisa tenang dan fokus. Nizar banyak menelepon teman-temannya di Indonesia untuk sekadar bercanda dan menenangkan diri. Akan tetapi, itu tidak membantu menghibur hatinya karena suasana di sekitar tempat menginap memang tidak aman.

"Mau bercanda juga tidak maksimal. Tertawa, tapi tertawa juga kelihatannya agak getir. Nggak bisa tertawa lepas," kata Nizarketika ditemui di kawasan Ancol, Jakarta awal Mei 2023.

Mereka ingin menyelamatkan diri, tapi nyatanya itu tidak mungkin karena terlalu berbahaya. Nizar tahu, mereka mesti menyelamatkan diri secara mandiri cepat atau lambat, agar bisa bertahan dari serangkaian tembak-menembak tiba-tiba itu.

Tanggal 24 April 2023, suara kaca hotel yang pecah akibat terkena peluru nyasar sudah tak terhitung jumlahnya. Bahkan tembakan itu terlihat dari lantai 7 hotel tempat mereka menginap. Nizar hanya bisa mengira-ngira, mungkin tinggi luncuran peluru sampai ke lantai 9 Coral Hotel.

Mungkin ada tujuh sampai delapan kaca hotel sekitar lantai 7 yang pecah pada bagian depan, samping ada tiga kaca pecah, di tapak bangunan sebelah kiri juga ada bekas tembak-tembakan dan kaca pecah.

Di belakang pun juga seperti itu, di gedung yang di belakang hotel, ada beberapa tembakan langsung membuat kaca pecah, dan di lantai dasarnya pun juga sempat masuk peluru.

Baca juga: Shaf Sholat Campur Pria Wanita di Al Zaytun, Ustadz Adi Hidayat Jelaskan Hukumnya

Kabar yang beredar di antara para tamu hotel yang bertahan saat itu, kisah Nizar, sekitar hotel pun banyak mayat tentara bergelimpangan, namun sudah disingkirkan. Selain lima kru Asia Cargo Airlines yang semuanya WNI, seingat Nizar, ada delapan orang lagi yang bertahan di Coral Hotel kala itu. Mereka warga negara Belarusia.

Nizar dan krubersepakat untuk mengevakuasi diri hari itu, sementara delapan tamu hotel lainnya memilih bertahan lebih lama di hotel.

Suasana mencekam di luar hotel tak menyurutkan niat mereka. Sepanjang perjalanan yang mereka lintasi itu tampak mobil-mobil yang ada senapan di belakangnya, sudah ditinggal pengemudinya. Saat melewati pintu hotel, terlihat ada tentara muda yang berlarian.

"Pemandangan meresahkan ini yang kami lihat di jalan. Terus juga ada tank-tank dan kendaraan taktis untuk blokade jalan," kata Nizar, pria paruh baya itu.

Naik taksi

Sampai akhirnya seorang sopir taksi, warga negara asli Sudan, menyapa mereka. Sopir taksi itu menawarkan diri untuk membawa para WNI yang terperangkap di Coral Hotel ke tempat yang aman dengan ongkos sebesar 100 dolar AS per orang.

Lalau sopir taksi itu membawa mereka ke terminal bus terdekat di Kota Omdurman, sekitar 30-45 menit waktu tempuhnya dari Khartoum. Ongkos taksi mencapai 500 dolar AS (setara Rp7,5 juta) untuk lima orang tergolong mahal karena kalau situasi normal, ongkosbiasanya 1.000 sampai 10 ribu pound Sudan (setara Rp25 ribu-Rp250 ribu).

"Dia (sopir taksi) enggak mau menerima harga di bawah 100 dolar AS per orang. Karena (digetok) begitu, kami bilang ya sudahlah, kami cuma ingin segera keluar dari hotel ke tempat yang aman saja," kata Nizar.

Niatnya setelah mencapai terminal bus di Omdurman, mereka akan melanjutkan perjalanan dengan menumpang bus sampai ke Port Sudan, di mana pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia menunggu di sana.

Nizar menceritakan kabin taksi terasa sempit untuk ditumpangi lima WNI ini. Kondisi kendaraan juga penyok di berbagai sisi.

Meski begitu, ongkosnya terasa "masuk akal" bagiNizar dan kawan-kawan karena sopir taksi begitu terampil mengemudi mobilnya melewati berbagai hambatan yang ditemui selama perjalanan.

Mereka juga sempat bertemu tentara militer Sudan di perjalanan, tapi sopir taksi itu meyakinkan para tentara bersenjata lengkap itu dengan berbicara bahwa penumpangnya merupakan saudaranya sehingga semua aman.

Nizar merasa beruntung, sebab yang ditemuinya hanya tentara Sudan. Dia merasa lebih khawatir bila bertemu tentara paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) karena bisa-bisa mereka ikut dijadikan tawanan.

Akan tetapi mobil yang ditumpangi mereka tidak sampai bertemu muka dengan paramiliter RSF karena menurut Nizar, sopir taksi yang begitu cekatan.

Apabila mobil akan melewati rute yang tampak dilewati tentara RSF di kejauhan, sopir taksi langsung memundurkan mobil dan berputar balik, lalu melewati jalan-jalan kecil sambil memberi tahu mereka bahwa di depan ada bahaya mengintai. 

Sopir taksi itu juga tampak seperti mengetahui posisi para penembak jarak jauh (sniper) tentara Sudan. Kalau mobil sedang melewati beberapa gedung, sopir taksi itu meminta Nizar dan teman-temannya untuk bersikap biasa-biasa saja, tidak boleh ada sikap mencurigakan.

"Alhamdulillah instruksi dari sopir membawa kami akhirnya sampai (tiba) dan bisa masuk ke stasiun bus pertama. Akan tetapi di sana ternyata kami tidak dapat menemukan bus yang ke Port Sudan," kata Nizar.

Mereka mulai panik karena kebingungan, namun sopir taksi itu mempersilakan penumpangnya naik lagi ke dalam mobil sambil menunggu bus selanjutnya di terminal bus di Omdurman.

Baca juga: 22 Temuan Penyimpangan Doktrin NII di Pesantren Al Zaytun Menurut FUUI  

Tanggal 27 April, ada bus yang mengarah ke Kota Madani tiba di terminal diOmdurman. Meski Kota Madani mengarah ke Selatan, sedangkan Port Sudan mengarah ke Utara, Nizar dan kawan-kawan memilih tetap menaiki bus tersebut.

Dijemput KBRI

Nizar berpikir bahwa Kota Madani saat itu aman karena jaraknya 183 kilometer dari Khartoum, pusat konflik di Sudan.

Perjalanan dari Omdurman ke Kota Madani juga tidak melewati Khartoum. Selanjutnya dari Kota Madani, mereka bisa melanjutkan perjalanan dengan naik bus lagi ke Port Sudan.

"Ternyata prediksi kami benar, di Kota Madani cukup aman. Hanya, di sana kami bertemu preman," kata Nizar.

Barang-barang mereka yang diambil oleh penduduk setempat, menurut Nizar, tidak masalah selama nyawa mereka tetap selamat. Mereka beruntung, pihak KBRI menjemput di Kota Madani. Mereka pun dibawa berangkat ke Port Sudan dan tiba pada tanggal 29 April, lalu bertolak ke Jeddah menggunakan pesawat militer.

Nizar kini sudah bisa tenang dan damai. Perasaan berkecamuk di dalam hati karena takut ditawan sudah hilang.

 

Oleh CEO Asia Cargo Airlines, Zack Isaak, mereka disambut antusias. Pemulihan trauma pun ditanggung oleh perusahaan. Menurut Nizar, kadang sesekali mereka masih bermimpi bahwaraganya serasa sedang berada di tengah peperangan Sudan yang menegangkan.

 
Berita Terpopuler