Tips Menyiapkan Anak-Anak untuk Kembali Masuk Sekolah Setelah Libur Panjang

Anak-anak perlu mempersiapkan diri untuk kembali ke rutinitasnya.

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Pengunjung beraktivitas di kawasan Situ Ciburuy, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Ahad (30/4/2023). Orang tua disarankan dapat menyiapkan anak untuk kembali ke rutinitas awal sebelum liburan tiga hari atau sepekan sebelum masuk sekolah.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bukan hanya orang dewasa, anak-anak pun perlu mempersiapkan diri saat akan kembali ke rutinitasnya usai masa liburan. Ini perlu didukung dengan adanya rutinitas sebelum liburan yang masih berjalan, menurut psikolog Feka Angge Pramita.

Feka berpendapat setidaknya seperti rutinitas makan, mandi, tidur, dan berkegiatan fisik aktif perlu dijalani rutin meskipun sedang masa liburan. Ia mengatakan pada saat liburan, termasuk mudik, biasanya orang tua akan memberikan kelonggaran waktu, misalnya, tidur sedikit lebih malam pada anak, atau makan menjadi tidak teratur.

Baca Juga

Hal ini sebenarnya masih bisa ditoleransi, asalkan tidak lebih dari dua hari. Sebab, perubahan rutinitas bagi anak mengharuskan diri perlu beradaptasi kembali dan mengubah pola yang sebelumnya sudah terjadi.

Sebaiknya, pola tidur dan pola makan anak tidak mengalami perubahan terlampau jauh dari biasanya agar tak memengaruhi kesehatan, imunitas, dan perkembangan fisik anak. Orang tua disarankan dapat menyiapkan anak untuk kembali ke rutinitas awal sebelum liburan tiga hari atau sepekan sebelum masuk sekolah.

Inilah alasannya orang tua seharusnya sudah kembali ke kota asal minimal dua hari sebelum anak masuk sekolah. Dengan begitu, mereka juga dapat memulihkan diri dari lelah perjalanan mudik.

Sembari mempersiapkan diri anak untuk kembali ke sekolah, orang tua bisa mulai melibatkan mereka menyiapkan keperluan mereka seperti seragam atau membuat jadwal bekal atau camilan untuk dibawa ke sekolah. Bisa juga mengikutsertakan anak dalam pembelanjaan dan memeriksa perbekalan sekolah yang perlu diganti atau dibeli.

Khusus untuk anak-anak usia taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD) kelas satu hingga tiga, orang tua dapat mengajak anak membuat cerita pendek bergambar mengenai liburannya untuk diceritakan pada teman-teman atau guru. Hal ini dapat membantu anak mempersiapkan diri untuk kembali pada rutinitas.

Akan tetapi, apabila anak terlihat enggan untuk kembali ke sekolah atau kembali ke rutinitasnya usai liburan, orang tua perlu merespons dulu emosi anak yang terlihat. Anak mungkin merasa sedih karena liburannya berakhir, atau ini artinya tidak bertemu dengan kakek-nenek atau saudara lagi dan meninggalkan kota liburan yang meninggalkan kesan mendalam bagi anak.

Dalam menghadapi ini, orang tua diharapkan memvalidasi emosi anak, misalnya, dengan bertanya pada anak, "Kamu masih ingin di sini (tempat liburan), ya? Kamu happy banget di sini, ya". Setelah itu, ajak anak membuat dokumentasi seperti dalam bentuk scrapbook memory atau gambar yang berkesan bagi anak. Hal ini akan membantu anak belajar mengungkapkan emosi yang dirasakan baik emosi positif atau negatif.

"Cara ini sebenarnya bisa juga dilakukan pada orang dewasa, termasuk apabila memiliki bakat artistik, misalnya, dengan melukis atau menggambar tempat yang dikunjungi selama liburan," kata Feka yang merupakan psikolog klinis yang berfokus pada masalah emosi, regulasi, dan tergabung dalam Ikatan Psikolog Klinis Indonesia wilayah DKI Jakarta itu.

Orang-orang mungkin menemukan bahwa mendokumentasikan perjalanan mereka dalam jurnal, lembar memo, atau membuat album foto, dapat membantu mereka mengatasi emosi negatif setelah liburan. Sebuah studi tahun 2020 menemukan bahwa peserta yang membuat scrapbook untuk mengabadikan kenangan mendapatkan kenyamanan psikologis.

Feka mengatakan pada anak yang terlihat enggan kembali ke sekolah, bisa jadi ada hal yang membuatnya tidak nyaman kembali ke sekolah. Orang tua perlu melakukan pendekatan terkait dengan topik ini dan mendengarkan dulu keluhan anak terkait sekolah, teman, guru sebelum akhirnya memberikan saran atau nasihat.

"Anak perlu didengarkan oleh orang tua dan orang tua perlu belajar mendengarkan anak tanpa langsung memberikan saran atau kalimat penyemangat," kata Feka.

 
Berita Terpopuler