Mengapa Hakim Guntur Hamzah Hanya Divonis Ringan oleh Majelis Kehormatan MK?

Meski dinilai terbukti bersalah mengubah frasa putusan Guntur hanya disanksi teguran.

ANTARA/Muhammad Adimaja
Petugas keamanan berjalan di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Belakangan MK digoyang skandal pengubahan frasa putusan dengan terduga Hakim Konstitusi Guntur Hamzah. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fergi Nadira B, Rizky Suryarandika

Baca Juga

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memutuskan bahwa Hakim MK Guntur Hamzah bersalah melanggar kode etik prinsip integritas dalam skandal pengubahan putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022. Namun, meski terbukti bersalah, Guntur hanya diganjar sanksi ringan berupa teguran oleh MKMK.

Menurut advokat Viktor Santoso Tandiasa, pemberian sanksi ringan dikarenakan kurangnya bukti yang dapat mendukung proses pemeriksaan. Padahal, Guntur sebagai Hakim Terduga terbukti melakukan pelanggaran yang dinilai berat karena mengubah putusan di MK.

"Pemberian sanksi teguran tertulis diberikan oleh MKMK karena kurangnya alat bukti yang dapat mendukung semisal terkait rekaman CCTV di persidangan yang hanya dilihat secara visual namun tidak secara audio, sehingga tidak cukup kuat membuktikan adanya niat buruk dari hakim terduga saat meminta panitera untuk menanyakan perihal perubahan frasa "dengan demikian" menjadi "kedepannya," ujar Viktor kepada Republika, pada Selasa (21/3/2023).

Kendati demikian, Viktor menghormati keputusan MKMK terkait hasil akhir pemberian sanksi terhadap hakim terduga. Sanksi teguran tertulis dari MKMK, kata dia perlu dilihat esensinya yaitu adanya pelanggaran terhadap prinsip integritas yang diatur dalam deklarasi kode etik hakim konstitusi. 

"Hal ini tentunya menjadi catatan sangat penting mengingat syarat untuk menjadi seorang Hakim Konstitusi salah satu yang terpenting adalah integritasnya," tegas dia. 

Dia juga menegaskan pentingnya opini dan pertanyaan publik mengenai integritas seorang hakim setelah dinyatakan bersalah melanggar prinsip. MKMK menegaskan, Guntur melanggar nilai dan semangat Sapta Karsa Utama yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, dalam hal ini melanggar prinsip integritas.

"Sehingga apabila ada hakim konstitusi yang sudah dinyatakan bersalah melanggar prinsip integritas, akan menjadi pertanyaan publik masih layakkah yang bersangkutan menjadi seorang negarawan yang menjabat sebagai Hakim Konstitusi," tutur dia.

Selain itu, Viktor menilai, seharusnya keterlibatan panitera yang menjadi penyampai pesan harus lebih didalami. Meski, tidak dapat dilakukan melalui proses MKMK, namun, kata dia bisa dilakukan melalui proses pidananya.

"Keterlibatan panitera yang menjadi penyampai pesan harus lebih didalami, namun memang hal itu tidak dapat dilakukan melalui proses MKMK, tapi bisa dilakukan melalui proses pidananya yang sedang berjalan di Polda Metro Jaya yang informasinya sudah ditarik ke Bareskrim Mabes Polri," kata dia.

MKMK pada Senin (20/3/2023) menemukan fakta bahwa benar telah terjadi perubahan frasa "dengan demikian" menjadi "ke depan" dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 bertanggal 23 November 2022. Perubahan tersebut menjadi musabab terjadinya perbedaan antara bunyi naskah putusan yang diucapkan/dibacakan dalam sidang pengucapan putusan 23 November 2022 dan yang tertera dalam laman MK yang ditandatangani oleh sembilan hakim konstitusi.

Kasus ini diketahui berawal dari pengacara Zico Leonard Djagardo yang mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK mengenai pencopotan eks hakim MK Aswanto. Zico menemukan ada perubahan putusan dan perubahan putusan berdampak pada pencopotan Aswanto. 

Perubahan tersebut diakui dilakukan oleh hakim konstitusi Guntur Hamzah sebagai "hakim terduga" dengan alasan usul atau saran perubahan terhadap bagian pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022.

Didesak mundur

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mendesak Guntur Hamzah mengundurkan diri dari jabatan Hakim Konstitusi karena terbukti melanggar etik berat di hari pertama menjabat. “Pengunduran diri ini penting untuk menjaga marwah Mahkamah Konstitusi agar tetap mendapat kepercayaan dari publik,” ujar Peneliti PSHK, Fajri Nursyamsi kepada Republika pada Selasa. 

PSHK menilai, Guntur Hamzah melakukan pelanggaran tersebut pada hari pertama ia menjabat sebagai Hakim Konstitusi. Guntur Hamzah terbukti memerintahkan panitera agar mengganti frasa “dengan demikian” menjadi frasa “ke depan” dalam putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022. 

Pengubahan itu, kata dia, sangat terkait dengan jabatan Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi, sebab jika masih menggunakan frasa “dengan demikian” maka pengangkatan dirinya sebagai hakim MK akan menjadi tidak sah. Tindakan Guntur Hamzah bukan hanya membuat kepercayaan publik ringkih pada MK sendiri, namun juga mengkompromikan secara nilai-nilai negara hukum secara sah dan terbuka.

Fajri mengatakan, putusan ringan Guntur Hamzah sudah seharusnya mendapat kecaman keras dari publik. Sebab, terdapat alasan pemberat yang mengharuskan Guntur Hamzah mendapat hukuman pelanggaran etik berat berupa pemecatan. 

Menurutnya alasan pemberat tersebut di antaranya, pertama, masih adanya kontroversi di masyarakat atas pengangkatan Guntur Hamzah sebagai Hakim MK menggantikan Aswanto. Namun dengan sadar dan sengaja Guntur Hamzah mengubah putusan MK yang bertujuan untuk menjadi alasan pembenar prosedur pengangkatannya.

“Kemudian, yang kedua, Guntur Hamzah dengan sadar ikut mengubah Putusan MK yang dirinya tidak ikut memutus, karena faktanya Guntur Hamzah bukanlah anggota majelis yang memutus Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022,” kata Fajri.

Ketiga, pengubahan putusan itu tidak dikonfirmasi kepada Hakim Konstitusi lain yang memutus perkara dimaksud, kecuali kepada kepada Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Serta keempat, perubahan atas putusan itu dilakukan oleh Guntur Hamzah untuk menguntungkan diri pribadi dan bukan untuk menegakkan prinsip konstitusionalisme dalam pengangkatan hakim konstitusi.

Oleh karena itu, PSHK juga meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mencabut mandat Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi dan mengembalikan Aswanto sebagai hakim Konstitusi. Hal ini melihat pengangkatan Guntur Hamzah yang terbukti melanggar UU MK dan Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022.

“Demi kepastian hukum, MK perlu segera membuat renvoi terhadap Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022, dengan menegaskan bahwa putusan yang berlaku adalah putusan yang menggunakan frasa “dengan demikian” sebab pengubahan dengan kata “ke depan” akan mengubah substansi hukum yang memiliki konsekuensi hukum yang jauh berbeda terhadap pengangkatan hakim,” kata dia.

 

 

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada Senin (20/3/2023) memutus Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Guntur melanggar prinsip integritas dalam Sapta Karsa Hutama. 

Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna menemukan fakta bahwa benar telah terjadi perubahan frasa “Dengan demikian” menjadi “Ke depan” dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 bertanggal 23 November 2022. Perubahan tersebut menjadi sebab terjadinya perbedaan antara bunyi naskah putusan yang diucapkan/dibacakan dalam sidang pengucapan putusan tanggal 23 November 2022 dan yang tertera dalam laman Mahkamah Konstitusi yang ditandatangani oleh sembilan orang hakim konstitusi. 

"Bahwa secara hukum, Hakim Terduga berhak melakukan perbuatan dan sudah merupakan kelaziman yang berjalan bertahun-tahun di Mahkamah Konstitusi," kata Palguna dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK pada Senin. 

Perubahan tersebut diakui dilakukan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah sebagai Hakim Terduga dengan alasan sebagai usul atau saran perubahan terhadap bagian pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022.

"Sepanjang mendapatkan persetujuan dari hakim lainnya yang ikut memutus, setidak-tidaknya hakim drafter, terlepas dari soal belum adanya prosedur operasi standar mengenai hal dimaksud," ujar Palguna. 

Palguna juga menyampaikan dampak dari perubahan frasa “Dengan demikian” menjadi “Ke depan” dalam Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 menyebabkan hilangnya koherensi pertimbangan hukum. Selain itu, ia menegaskan tidak benar terjadi persekongkolan pengubahan risalah Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 yang menggantikan frasa “Dengan demikian” menjadi  “Ke depan”.

Sebab, lanjutnya, yang terjadi sesungguhnya adalah adanya perbedaan cara penyusunan risalah antara penyusunan risalah persidangan biasa yang bukan sidang pengucapan putusan dan cara penyusunan risalah sidang pengucapan putusan.

"Terhadap adanya perbedaan frasa pada bagian pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 bertanggal 23 November 2022, antara yang diucapkan/dibacakan dalam sidang pengucapan putusan tanggal 23 November 2022 dan yang tertera di laman Mahkamah Konstitusi serta dalam Salinan putusan yang ditandatangani oleh Sembilan hakim konstitusi, yang berlaku adalah putusan yang diucapkan, yaitu putusan yang pertimbangan hukumnya pada Paragraf [3.13.3] halaman 51 yang memuat frasa ‘Dengan demikian’,” ujar Palguna.

Atas pelanggaran tersebut, M. Guntur Hamzah hanya dikenakan sanksi teguran tertulis sebagai Hakim Terduga. Demikian Putusan Majelis Kehormatan MK Nomor 1/MKMK/T/02/2023 dibacakan secara langsung oleh Ketua sekaligus Anggota Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna (tokoh masyarakat) dengan didampingi oleh Anggota Majelis Kehormatan MK lainnya, yakni Enny Nurbaningsih (Hakim Konstitusi aktif), dan Sudjito (akademisi).

 

Hakim dan Pejabat Pengadilan terjerat KPK sejak 2015 - (republika)

 

 
Berita Terpopuler