Metode Pengajaran IPA yang Ideal

Perlu mencari model pengajaran IPA yang mampu menumbuhkan inovasi dan sikap positif terhadap kemajuan teknologi.

retizen /Mita Nganjuk
.
Rep: Mita Nganjuk Red: Retizen

Aktivitas siswa Sekolah Dasar di laboratorium sekolah ( foto istimewa )

Pengajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA ) di sekolah dasarm aupun menengah butuh metode yang tepat dan menarik bagi siswa. Pengajaran IPA secara ideal di sekolah merupakan investasi masa depan yang tiada taranya bagis uatu bangsa. Itulah kata kunci yang mendasari pemerintah Amerika Serikat yang begitu penuh perhatian melibatkan kalangan pendidik untuk terlibat aktif dalam berbagaip rogram riset nasional.

Seperti yang pernah terjadi dalam misi pesawat ruang angkasa Endeavour, dimana salah satu astronaut adalah seorang Guru mata pelajaran IPA di Sekolah Dasar yang bernama Barbara Morgan. Sudah beberapa dekade program tersebut dilakukan.

Sesuatu yang sudah biasa, jika lembaga-lembaga ilmiah di Amerika Serikat selalu memberikan kesempatan kepada para guru sekolah dasar dan menengah untuk terlibat. Seperti program NASA dengan misi penerbangan pesawat Vomit Comet hingga penerbangan ruang angkasa pesawat Endeavour.

Disisi yang lain pengajaran IPA untuk sekolah dasar dan menengah di Indonesia kebanyakan masih tertinggal zaman. Pengajaran IPA belum mampu memberikan motivasi berkreasi teknologi, proses nilai tambah dan solusi praktis problem kemasyarakatan. Karena pengajaran IPA masih sebatas hafalan rumus-rumus yang kurang menarik bagi siswa.

Barbara Morgan, seorang guru Sekolah Dasar yang diberi kesempatan menjadi astronaut pesawat ruang angkasa ( foto istimewa )

Untuk itu pentingnya mencari model pengajaran IPA yang mampu menumbuhkan inovasi dan sikap positif terhadap kemajuan teknologi, proses nilai tambah dan mampu menjaga lingkungan. Sikap positif tersebut pada gilirannya akan menghapuskan gagap teknologi yang masih marak dikalangan rakyat Indonesia.

Selama ini pengajaran IPA di sekolah dasar dan menengah kurang membumi, statis dan miskin inovasi. Hal itu kurang memperluas cakrawala ilmiah serta gagal menumbuhkan sikap positif para siswa dalam menyikapi problema lingkungan disekitarnya.

Idealnya pengajaran IPA disekolah dasar dan menengah harus mampu menumbuhkan sikap ilmiah (scientific attitude). Sikap ilmiah tersebut mengemuka dalam diri siswa dalam bentuk sikap ingin tahu (curiosity), kebiasaan mencari bukti sebelum menerima pernyataan (respect for evidence), sikap luwes dan terbuka dengan gagasan ilmiah (flexibelity), kebiasaan bertanya secarara kritis (critical reflection) serta sikap peka terhadap lingkungan sekitar (sensitifity to living things and environment).

Kurikulum mata pelajaran IPA belum mengarah kepada tujuan untuk membina sikap positif siswa terhadap inovasi dan menjaga lingkungan hidup. Sikap ilmiah tersebut dapat mudah dicapai jika proses belajar mengajar IPA banyak melibatkan metode eksperimental. Jadi, tidak sekedar interaksi satu arah dan menekankan hafalan (rote learning) melainkan belajar yang sesungguhnya (meaningful learning).

Itulah yang menjadi titik berat kebijakan pengajaran IPA di Amerika Serikat sehingga pemerintah mau repot-repot melibatkan pendidik dalam program riset nasional. Kerepotan tersebut terbayar lunas dengan tumbuhnya spirit nasional terhadap inovasi nilai dan teknologi.

Disisi lain, metode eksperimental masih belum banyak dipraktikan oleh kalangan pengajar IPA di Indonesia. Alasan klasik yang mengemuka adalah kurangnya waktu belajar IPA akibat tersita oleh pelajaran non-IPA. Juga karena kompleksitas kurikulum, tidak tersedianya alat peraga serta faktor anggaran pendidikan nasional yang kurang mendukung.

Idealnya waktu pelajaran IPA harus ditambah, serta tidak lagi berorientasi pada penyelesaian materi kurikulum semata, tetapi lebih pada pemahaman tuntas dan aktual. Proses pengajaran IPA akan lebih efektif jika melibatkan berbagai metode eksperimental yang bervariasi. Termasuk kegiatan praktikum di ruang laboratorium maupun di alam terbuka.

Kurangnya greget pengajaran IPA disekolah umum disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; Pertama, selama ini proses belajar mengajar IPA, dalam aplikasinya cenderung menekanankan aspek kognitif, artinya konsep-konsep yang diajarkan hanya sekedar pengetahuan, kurang dihayati dan direalisasikan sebagai sikap dan perilaku yang nyata. Evaluasi terhadap sikap yang terintegrasi dengan kognitif (pengetahuan) belum dilakukan dalam proses belajar mengajar.

Kedua, seringnya pengajar IPA menyepelekan materi yang menyangkut pengetahuan praktis dan problema lingkungan hidup dengan alasan bahwa materi tersebut tidak memerlukan hitungan matematik dan kurangnya referensi.

Dalam mata pelajaran Kimia misalnya, topik-topik seperti aspek zat-zat pencemar lingkungan dan zat-zat aditif yang terkandung di dalam bahan makanan yang sangat membahayakan kesehatan kurang ditekankan. Padahal aspek tersebut merupakan topik yang paling aktual dan urgen pada saat ini.

Praktik pengajaran IPA di tanah air yang tidak aktual, dengan metode asal-asalan dan miskin eksperimental semakin membenamkan daya saing bangsa Indonesia dimasa mendatang.

 
Berita Terpopuler