Komentar Singkat Jimly Putusan Penundaan Pemilu PN Jakpus: Hakim Layak Dipecat

Jimmly menilai putusan PN Jakpus terkait penundaan Pemilu 2024 tidak tepat

Republika/Putra M. Akbar
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan dengan Sekjen MK di Jakarta, Sabtu (1/10/2022). Pertemuan para mantan Hakim dan Ketua MK yang berlangsung tertutup tersebut membahas keputusan DPR yang memberhentikan Hakim Konstitusi Aswanto dan digantikan dengan Sekjen MK Guntur Hamzah secara sepihak yang dinilai merusak demokrasi. Republika/Putra M. Akbar
Rep: Bambang Naroyono Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Profesor Jimly Asshiddiqie meminta Mahkamah Agung (MA) memecat tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus)  yang memutuskan gugatan keperdataan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) atas Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Baca Juga

Jimly menegaskan, tiga hakim pengadilan tingkat pertama itu fatal dalam amar putusannya dengan menghukum pihak tergugat, untuk menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

“Hakimnya itu layak untuk dipecat saja,” begitu kata Jimly kepada Republika.co.id via pesan singkat, Kamis (2/3/2023).

Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara itu menjelaskan, sengketa antara Partai Prima dengan KPU tersebut, adalah keperdataan.

Hal itu sesuai dengan materi gugatan penggugat kepada tergugat. Namun sengketa keduanya itu, pun menyangkut dengan perkara kepemiliuan yang mempersoalkan proses verifikasi peserta pemilu. Dari verifikasi kepesertaan pemilu KPU memutuskan Partai PRIMA tak lolos ke Pemilu 2024.  

Materi perkara tersebut, pun sebetulnya, kata Jimly, jika terjadi sengketa, penyelesaiannya, ada di ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), atau di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). “Bukan ke pengadilan perdata,” terang Jimly.

Jika nantinya sengketa kepemiliuan antara keduanya itu berujung pada hasil pemilu, pun ada lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai kamar yadikatif penyelesaian perkaranya. Akan tetapi, kata Jimly, Partai PRIMA mengajukan gugatan keperdataannya terhadap KPU atas kerugian dari proses verifikasi peserta pemilu itu ke PN Jakpus.

Pun itu, Jimly menegaskan, sudah salah kaprah. “Hakimnya tidak profesional, dan tidak mengerti hukum sama sekali. Tidak mengerti hukum pemilu, tidak mampu membedakannya dengan urusan private (keperdataan), dan yang menjadi urusan publik,” begitu kata Jimly menegaskan.

Baca juga: Sulit Khusyu Ketika Sholat? Ini 3 Kiat yang Diajarkan Syekh As Syadzili

Peradilan keperdataan, kata Jimly, mewajibkan para hakimnya untuk membatasi diri pada putusan yang hanya mengikat antara si penggugat dan si tergugat. Dengan tak mengikat pihak lain yang tak ada sangkut-pautnya dengan sengketa keduanya.

Sedangkan masalah pemilu, dikatakan Jimly, menyangkut tentang semua warga negara. “Sanksi (putusan) dari keperdataan itu, juga cukup seperti ganti-kerugian, atau yang lain, yang tidak menyangkut hak-hak orang lain. Bukan malah memutuskan menunda pemilu, yang tegas itu (pemilu) adalah hak masyarakat, dan merupakan kewenangan KPU sebagai penyelanggara (pemiu),” begitu kata Jimly.

Jimly, yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu meminta agar KPU selaku tergugat dalam perkara tersebut mengajukan banding.

Pun kata Jimly, agar semua pihak memastikan pemantauan proses perlawanan hukum atas putusan salah dari sengketa ajuan Partai Prima itu. “Putusan PN Jakarta Pusat ini harus diajukan banding. Dan bila perlu sampai ke kasasi (di Mahkamah Agung). Kita awasi dan tunggu sampai inkrah,” begitu kata Jimly.

PN Jakpus pada Kamis (2/3/2023) mengabulkan semua gugatan keperdataan yang diajukan Prima atas KPU sebagai tergugat. Dalam putusannya majelis hakim menyatakan KPU melakukan perbuatan melawan hukum.

Putusan lainnya menghukum KPU sebagai tergugat membayar ganti kerugian untuk Prima sebagai penggugat senilai Rp 500 juta karena tak lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu 2024. Putusan kontroversi dalam perkara ini terkait dengan tuntutan penggugat atas tergugat menyangkut soal Pemilu 2024.

Yaitu dengan menjatuhkan hukuman terhadap KPU sebagai tergugat yang menyelenggarakan pemilu, untuk menghentikan seluruh tahapan pemilu selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. Penghentian tahapan pemilu tersebut dalam putusan dilakukan sejak penjatuhan amar. "Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," tulis putusan yang dikutip Republika.co.id, Kamis (2/3/2023).

 

Dalam salinan putusan tersebut, tiga hakim pemutus perkara Partai Prima vs KPU tersebut adalah Hakim T Oyong selaku ketua majelis. Dan dua anggota majelis, yakni Hakim Bakri, dan Hakim Dominggus Silaban. Atas putusan ketiga hakim tersebut, KPU pada Kamis (2/3/2023), menyatakan perlawanan hukumnya dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. 

 
Berita Terpopuler