Anak Kena Difteri, Dokter: Jangan Rawat Sendiri di Rumah

Berbahaya jika anak yang menderita difteri dirawat sendiri di rumah.

www.pixabay.com
Anak sakit (ilustrasi). Anak yang menderita difteri harus mendapatkan perawatan di rumah sakit, bukan di rumah.
Rep: Santi Sopia Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyakit difteri bisa menyerang orang dewasa maupun anak-anak. Faktor risikonya kurang lebih sama di antara keduanya.

Olugbenga Mokuolu, profesor pediatri di Departemen Pediatri, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan, University of Ilorin, Nigeria, mengingatkan agar orang tua tidak merawat anak-anak yang terkena infeksi difteri di rumah. Kendati difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, namun mengobatinya di rumah bisa berbahaya dan dapat meningkatkan risiko kematian.

"Difteri adalah penyakit yang sangat parah dan bukan sesuatu yang bisa ditangani di rumah dengan obat bebas," kata Prof Mokuolu, seperti dikutip dari Punch, Selasa (21/2/2023).

Prof Mokuolu menjelaskan bahwa solusi untuk wabah difteri adalah vaksinasi. Orang tua dianjurkan untuk memastikan anaknya mendapat imunisasi lengkap sejak lahir.

Menurut Pusat Pengendalian Penyakit Nigeria (NCDC), difteri adalah infeksi bakteri serius yang disebabkan oleh bakteri yang disebut spesies Corynebacterium yang menyerang hidung, tenggorokan, dan terkadang kulit seseorang. Gejala difteri, menurut NCDC, antara lain demam, pilek, sakit tenggorokan, batuk, mata merah (konjungtivitis), dan leher bengkak.

Baca Juga

Difteri adalah salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin dan merupakan bagian dari jadwal imunisasi reguler. Sejak enam minggu kelahiran, biasanya ada vaksin difteri-tetanus-pertusis ( DPT) yang diberikan kepada anak-anak yang seharusnya diterima bayi pada enam minggu, 10 minggu, dan 14 minggu.

"Jadi, penting bagi kita untuk menjaga jadwal imunisasi ini dengan baik untuk melindungi dari jenis wabah yang sedang terjadi," kata dia.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), imunisasi adalah salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang paling sukses, cakupannya telah meningkat selama dekade terakhir. Menurut badan kesehatan global itu, pandemi Covid-19 dan gangguan terkait telah membebani sistem kesehatan, dengan 25 juta anak kehilangan vaksinasi pada tahun 2021, 5,9 juta lebih banyak dari tahun 2019, dan jumlah tertinggi sejak 2009.

Prof Mokuolu menjelaskan setiap anak dengan gejala seperti batuk, demam, atau kesulitan bernapas harus dibawa ke rumah sakit. Anak-anak dengan gejala tersebut memerlukan evaluasi yang tepat alih-alih hanya mendapatkan obat bebas.

"Bisa diobati, tapi sekali lagi, ada bahaya kematian yang cepat," ujarnya.

Salah satu hal utama tentang difteri adalah adanya bercak putih di dalam tenggorokan penderitanya. Hal itulah yang bisa menghalangi pernapasan.

Jika itu terjadi, penderitanya bisa mati dengan cepat. Jadi, itulah masalah utamanya.

Gangguan pernapasan mengakibatkan kematian cepat. Kematian bisa sangat tinggi jika ada keterlambatan diagnosis, pengobatan, kurangnya perawatan suportif, dan jika hal-hal yang semestinya tidak dilakukan.

Jadi orang tua harus waspada dan memeriksakan anak-anak mereka jika ada keluhan demam, batuk, dan kesulitan bernapas agar mendapatkan evaluasi medis yang tepat. Menurut data NCDC, difteri menyebar dengan mudah antar manusia melalui kontak langsung dengan droplet orang yang terinfeksi, atau dari batuk atau bersin, dan kontak dengan pakaian dan benda yang terkontaminasi.

Orang yang paling berisiko termasuk anak-anak dan orang dewasa yang belum menerima dosis vaksin pentavalen apa pun. Lalu, orang-orang yang tinggal di daerah dengan sanitasi yang buruk, lingkungan padat, dan petugas kesehatan yang terpapar kasus penyakit yang dicurigai atau dikonfirmasi juga berisiko.

Gejala awal penyakit biasanya dimulai setelah dua hingga 10 hari terpapar bakteri. Dalam kasus yang parah, bercak abu-abu atau putih tebal muncul di amandel dan/atau di belakang tenggorokan yang berhubungan dengan kesulitan bernapas, menurut NCDC.

Badan kesehatan menyatakan bahwa komplikasi dari difteri antara lain penyumbatan saluran napas, kerusakan otot jantung, kerusakan saraf, dan gagal ginjal. Kasus diduga difteri diperkirakan mulai muncul sekitar empat pekan lalu, di Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Dilaporkan telah ada ada tujuh warga yang meninggal dunia, yaitu enam orang berusia anak dan satu orang dewasa di Desa Sukahurip, Kecamatan Pangatikan. Difteri juga menjadi wabah di Nigeria.

 
Berita Terpopuler