Terapi Anak Autis, Psikolog: Tidak Ada Prosedur Jepit Kepala dengan Paha, Bahaya Banget

Terapis jadi tersangka setelah kedapatan menjepit kepala anak autis dengan pahanya.

Edwin Dwi Putranto/Republika
Anak-anak melihat tembok bertuliskan Autism dalam rangka peringatan Hari Autis Sedunia (ilustrasi). Seorang terapis di Depok, Jawa Barat ditetapkan sebagai tersangka setelah kedapatan menjepit kepala pasien ciliknya dengan paha.
Rep: Santi Sopia Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog klinis anak Anita Chandra mengungkapkan terapi untuk anak dengan autisme pada intinya, bertujuan mengembangkan kemampuan anak. Satu hal utama yang harus dilakukan terapis adalah membuat anak merasa senang terlebih dulu.

"Kalau anak masuk terapi nangis, takut itu sudah tidak boleh sebenarnya," kata Anita kepada Republika.co.id, Ahad (19/2/2023).

Baca Juga

Pendekatan terapis ke anak bisa jadi kurang cocok. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan belum tentu salah.

Dalam memilih tempat terapi, ketersediaan kamera CCTV dapat menjadi pertimbangan. Kalau tidak, pastikan ada jendela kecil yang memungkinkan orang tua melihat proses terapi anak.

Belajar dari kasus terapis yang menjepit kepala anak autis dengan pahanya, Anita mengingatkan agar orang tua berupaya menjalin komunikasi dengan terapis anaknya. Tanyakan kegiatan yang dilakukan selama terapi dari hari ke hari.

Kasus terapis anak autis itu terjadi di salah satu rumah sakit di Depok, Jawa Barat. Saat ini, terapis tersebut sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian.

Tindakan terapis itu sempat diklaim sebagai prosedur terapi. Akan tetapi, ada kelalaian dalam pelaksanaannya. Rekaman kamera CCTV memperlihatkan si terapis malah asik bermain ponsel, bahkan ketiduran.

"Boleh ditanyakan prosedur apa? Enak saja bilang prosedur. Tapi soal itu mungkin IKATWI (Ikatan Terapi Wicara Indonesia) akan bicara bahwa benar tidak sih prosedurnya demikian,” ujar Anita.

Secara umum, menurut Anita, prosedur dalam terapi harus menyenangkan anak terlebih dulu. Prosedur yang diterapkan oleh terapis,harus berbasis bukti ilmiah.

Itu berarti, prosedur terapi tidak bisa hanya berdasarkan "kata orang" sehingga terapis dengan sembarangan menerapkan hal tersebut. Di samping itu, terapis juga harus memiliki pengetahuan mengenai manfaat di balik sebuah prosedur yang diterapkan pada anak.

"Tidak ada prosedur dijepit kepala, mana boleh, bahaya banget buat anak, tapi tunggu statement IKATWI," kata Anita yang juga supervisor terapi.

 
Berita Terpopuler