Gugatan Sistem Proporsional Terbuka di MK Dicurigai Sebagai Siasat Menunda Pemilu

Jika MK menerima gugatan, pemilu bisa buntu soal aturan konversi suara menjadi kursi.

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Rizky Suryarandika

Baca Juga

Gugatan terkait pemilihan legislatif (pileg) sistem proporsional terbuka lewat uji materi UU Pemilu ke Mahkamah Konsititusi (MK) dicurigai merupakan strategi untuk menggagalkan Pemilu 2024. Kecurigaan itu muncul karena gugatan tersebut juga mempersoalkan pasal yang mengatur metode penentuan pemenang kursi anggota dewan.

"Terus terang saya khawatir proses di MK ini berpeluang untuk ditunggangi, dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang punya agenda menunda atau menggagalkan pelaksanaan Pemilu 2024," ujar anggota DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (PKB), Luqman Hakim dalam sebuah diskusi daring, Kamis (9/2/2023). 

Luqman menjelaskan, kekhawatirannya muncul setelah mencermati gugatan tersebut. Ternyata, penggugat juga meminta hakim konstitusi menyatakan Pasal 420 huruf c dan d UU Pemilu merupakan pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 atau inkonstitusional. 

Padahal, ujar Luqman, Pasal 420 itu secara keseluruhan mengatur metode untuk mengonversi suara sah partai politik menjadi jumlah kursi yang didapatkan di suatu daerah pemilihan. Apabila Pasal 420 huruf c dan d dinyatakan inkonstitusional, maka proses konversi suara tidak bisa dilakukan. Alhasil, terjadi kebuntuan politik. 

"Penilaian saya, mereka mengacaukan pasal 420 ini sehingga tidak bisa dijalankan. Mana kala pasal ini tidak bisa dijalankan, sudah otomatis pemilu akan gagal. Akan ada kebuntuan regulasi pemilu," kata Luqman. 

"Saya tidak bisa membayangkan semengerikan apa kalau misalnya skenario itu berjalan. Pemilu sudah sampai tahap pencoblosan, partai sudah bertarung habis-habisan, kemudian ujungnya suara sah tak bisa dibagi ke parpol karena tidak ada payung hukum," imbuhnya. 

Lebih lanjut, Luqman menyebut sebenarnya ada dua cara untuk mengatasi persoalan itu jika benar terjadi. Namun, kedua solusi itu kemungkinan tidak bakal bisa dieksekusi. 

Solusi pertama, DPR merevisi UU Pemilu. Menurutnya, hal ini sulit dilakukan DPR secara cepat, apalagi saat gelaran pemilu. 

Kedua, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pemilu. Dia pun meragukan opsi Perppu ini bakal ditempuh Pemerintah karena narasi penundaan pemilu selama ini datang dari orang-orang dekat Istana. 

"Kalau berharap Perppu, masyarakat mencurigai bahwa pihak-pihak yang menginginkan penundaan atau penggagalan Pemilu 2024 itu terafiliasi dengan Istana," ujarnya. 

Karena melihat tidak ada jalan keluar atas masalah tersebut, Luqman berharap MK tidak mengabulkan gugatan atas Pasal 420 itu. Untuk diketahui, gugatan uji materi terkait sistem proporsional terbuka berserta ketentuan konversi suara ini dilayangkan oleh enam warga negara perseorangan, yang salah satunya merupakan kader PDIP. Mereka meminta MK memutuskan pileg kembali menggunakan sistem proporsional tertutup. MK kini masih memproses perkara tersebut. 

Sementara sidang bergulir, partai politik parlemen terpecah ke dalam dua kubu. Kubu pendukung sistem proporsional terbuka terdiri atas delapan parpol parlemen, mulai dari Golkar, Gerindra, PKB, hingga PKS. Sedangkan pendukung sistem proporsional tertutup hanya PDIP.

 

 

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (9/2/2023) menggelar sidang uji materiil Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Sidang Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut beragendakan mendengarkan keterangan Pihak Terkait, yakni M. Fathurrahman, Sharlota, Asnawi. 

Pihak Terkait, Sharlota yang diwakili kuasa hukumnya, La Ode Risman mengatakan, sistem proporsional terbuka yang telah diberlakukan tiga kali, yakni Pemilu 2009, 2014 dan 2019 telah terbukti baik. Ia menyebut tiga pemilu itu membuktikan sistem demokrasi dan tidak ada huru-hara.

"Tidak ada persoalan integrasi oleh para Pemohon jika dihubungkan dengan Pemilihan Umum Tahun 2019 itu tidak benar dan sangat keliru. Pemilu yang diselenggarakan pada 2019 tersebut sangat demokratis dan pemohon salah memaknai peran partai politik dalam pemilu sebagaimana perintah konstitusi sangat ambigu," kata La Ode dalam persidangan itu. 

La Ode mengatakan, pentingnya keberadaan partai politik sebagai sistem pemerintahan. Namun bukan berarti mereduksi kedaulatan rakyat dalam berbangsa dan bernegara. Sehingga menurutnya, dalam pemilu rakyat harus ditempatkan pada posisi istimewa karena saluran kedaulatan berada pada rakyat.

"Pemilihan umum yang diselenggarakan atas pilihan-pilihan rakyat untuk menentukan siapa yang mereka pilih secara konstitusional karena pemilih kedaulatan itu adalah rakyat bukan partai politik dalam pelaksanaan-pelaksanaan pemilu sebelumnya dengan menggunakan sistem proporsional terbuka sudah pilihan yang terbaik dan demokratis," ujar La Ode.

Selain itu, La Ode menyebut partai politik adalah saluran alat perjuangan. Walau demikian, ia menegaskan kedaulatan mutlak bukan ada di tangan partai politik. 

"Sehingga akan menimbulkan absolutisme dengan memasung ide dan karya kader serta kepentingan perjuangan kepentingan masyarakat baik sudah lama berproses di partai politik maupun baru dengan pengertian terpilih menjadi anggota DPR atau DPRD secara langsung menjadi pengurus," ucap La Ode.

Pihak Terkait lainnya, Asnawi, yang diwakili Yudi Rijali Muslim menegaskan pengaturan UU Pemilu bertujuan agar calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dapat memaksimalkan diri dalam melakukan pendekatan penyampaian visi dan misinya kepada rakyat pemilihnya. Kemudian mendorong parpol mengajukan kader-kader terbaiknya yang teruji dan berkualitas untuk memenangkan kursi 

"Sehingga rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dapat memilih caleg yang benar-benar mewakilinya," ujar Yudi. Diketahui, sidang ini bakal dilanjutkan kembali pada Kamis (16/2).

 

Manuver Surya Paloh antara Anies dan Jokowi. - (Republika/berbagai sumber)

 
Berita Terpopuler