Inilah Risiko Nyata Bila Katering Haji Ditiadakan!

Katering ditaidakan, ancaman bagi asupan kualitas makanan jamaah haji.

saudi gazette.com
Pedagang kaki lima di Makkah dirazia demi menjaga kesehatan makanan jamaah.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jurnalis Republika dan Mantan Anggota Media Center Haji (MCH) Kemenag 2011.

Ketika mendengar wacana Badan Pengelola Keungan Haji (MCH) yang ingin menghapus penyediaan makanan bagi jamaah haji melalui cara katering atau tidak memasak sendiri, diganti dengan uang agar jamaah bisa bebas membeli makanan. Hal ini jelas memerihkan sekaligus mengkhawatirkan. Memerihkan karena bagi jamaah akan berpotensi besar membahayakan kesehatannya, bagi petugas haji ini akan menimbulkan masalah bagi kualitas layanan haji secara menyeluruh.

Sekilas memang terkesan menghemat. Ongkos haji menjadi ditekan.Tapi di sisi lain banyak hal yang terancam. Yang paling utama adalah soal jaminan kesehatan jamaah. Bila makanan bagi jamaah dihapuskan karena selama ini mendapat asupan makanan melalui katering secara rutin setiap hari, maka mereka pasti akan memenuhi kebutuhan makananya dengan cara membeli di warung-warung di seputaran tempat tinggalnya di Makkah.

Maka dalam situasi ini, pasti akan muncul warung-warung makanan yang tidak bisa dikontrol kualitas makanannya. Saya tidak dapat membayangkan bila saat itu muncul warung kaki lima baik secara sembunyi-sembunyi maupun resmi. Mereka tersebar di pinggiran jalan yang penuh debu yang mengepul memenuhi udara kota Makkah. 

Belum lagi, setiap memasuki musim haji, ketika jamaah mulai berdatangan, ‘pasukan’ lalat mulai bermunculan. Dapat dipastikan saat itu terjadi ancaman serius bagi jamah haji yang berasal dari makanan. Saya teringat, pada musim haji 2011, ketika lalu lalang berjalan kaki dari Masjidil Haram ke lokasi kantor Daker Makkah yang berada kawasan yang tak jauh dari Mina, di sepanjang pinggiran jalan yang jaraknya sekitar enam kilometer, bermunculan warung kaki lima aneka makanan Indonesia. Mereka meggelar dagangannya dengan cara ditaruh begitu saja di tempat terbuka. Pemilik dagangan warung itu adalah para pekerka migran dari Indonesia yang memang jumlahnya banyak sekali di Makkah.

 

 

 

 

 

Adanya, kenyataan itu maka tak ayal lagi aneka makanan Indonesia seperti gado-gado, lotek, nasi uduk, bakwan, tempe goreng, gudeg, soto dan lainnya bermunculan dan pasti menggoda mata hingga lidah jamaah sehingga mereka membelinya. Himbauan yang terus menerus dari para petugas haji agar jamaah hanya makan di hotel saja karena tersedia makanan catering, menjadi terbaikan. 

Kepala Dakker Makkah saat itu, Arysad Hidayat, ketika saya tanya soal fenomena ancaman kesehatan jamaah dari makanan yang dikonsumsi jamaah di warung kaki lima, dia hanya bisa mengelus dada dan geleng kepala. Ini karena kala itu Arysad dan seluruh petugas haji yang tersebar di seluruh pondokan jamaah, secara terus menerus memperingatkan hal akan bahaya bila jamaah mengkonsumsi makanan secara sembarang. 

Namun meski suah selalu diingatkan, faktanya banyak jamaah yang tetap bandel. Apalagi fakta menyatakan jamaah haji Indonesia  selain masih berpendidikan tidak terlalu tinggi, mereka kebanyakan mempunyai kebiasaan yang dia bawa dari tanah air, yakni abai dengan kualitas konsumsi makanan dari sisi kesehatan.

Adanya kenyataan itu, maka tak mengherankan bila selama jamaah tinggal di Makkah banyak sekali muncul gangguan pencernaan, atau kasus diare. Tak hanya bersifat perorangan, kerapkali kasus diare  saat itu muncul secara massal. Ini misalnya saat jamaah haji tinggal di kawasan tenda di Mina untuk melempar jumrah. 

Yang paling teringat di kepala saya, mengenai soal diare massal adalah muncul dari lima kloter jamaah asal Aceh. Kejadiannya persis muncul tengah malam buta. Entah jamaah Aceh ini habis makan bersama apa, petugas haji mendadak mendapat laporan bila terjadi diare massal di kawasan tenda tersebut. Langsung seluruh petugas dari berbagai lini dibuat sibuk menolongnya. Ini sangat susah segera dapat ditangani karena jumlahnya saat itu mencapai ribuan jamaah. Seluruh jamaah baru dapat tertolong dengan baik setelah beberapa jam kemudian, yakni menjelang Subuh.

Situasi ini jelas membuat miris. Apalagi  kemudian imbasnya masih muncul keesokan paginya. Sekitar pukul 09.00 pagi, datang seorang kakek asal Aceh yang bernama Muhammad Daud. Meski sudah lansia penampilannya bukan main, bak rocker. Daud mendatangi ke Daker Makkah dengan berjalan sempoyongan sembari mengenakan kaca mata hitam. Sayangnya Daud datang dengan mengeluh masih terkena diare yang terjadi semalam. Ketika petugas bertanya mengenai kondisinya, Daud mengeluh badannya lemas dan berulangkali muntah. Bahkan saat itu, dia hanya mampu bicara singkat. Ketika dicarikan dokter dan diminta duduk di ruang tunggu tamu, dia malah berbaring di sofa. Tak hanya itu, di ruang tunggu kantor Dakker Makkah, Daud pun berkali-kali muntah kembali. Katanya, ''Saya sudah tak kuasa duduk lagu karena perutnya sangat melilit."

 

 

 

 

 

Belajar dari itu, kenyataan kualitas asupan makanan bagi jamah haji memang menjadi sangat mutlak. Apalagi, jamaah haji Indonesia terkenal dengan rewel akan selera lidah. Ada yang suka manis, gurih, asin, pedas, manis, hingga flat (tanpa rasa). Selama ini pun kendala dari beragam selera makan, sudah berusaha diatasi. Pihak Dirjen Haji dan Umroh Kemenag terpaksa memutuskan untuk membawa bumbu makanan dari Indonesia dan menyajikannya melalui pengusaha katering sesuai dengan citra rasa asal wilayah jamaah. Katering makanan haji dalam hal ini harap diketahui citra rasanya makannya sangat beragam. Sebab, kalau tidak dipenuhi citra rasanya, alamat jamaah haji tak mau makan. Bila ini terjadi jelas menjadi kabar buruk bagi kesehatan jamaah itu sendiri.

Soal ketersediaan makanan sudah menjadi bahan pembicaraan semenjak jamaah mengikuti pelatihan manasik haj. Sangat tidak aneh, meski sudah tahu bahwa makanan untuk jamaah haji selama di tanah suci sudah tersedia sesuai citra rasa lidah asal daerahnya, mereka tetap saja nekad membawa aneka makanan dari tanah air. Sangat lazim di koper jamaah sewaktu berangkat haji penuh makanan asal daerahnya yang selama ini dianggap bisa tahan lama, misalnya rendang,  orak-arik atau sambel goreng tempe bercampur kentang, sambal kacang, aneka makanan ringan, minuman khas daerah, dan lainnya. Mereka juga tetap membawa beras. Bahkan pasti selalu ada rokok yang sangat banyak mereka masukan ke dalam koper hajinya, meski tahu bila merokok dilarang dilakukan di Makkah. Bahkan, saking takutnya tak dapat makanan, peralatan memasak seperti cobek batu beserta ulekannya. Bila perlu kompor portable pun mereka masukan dalam kopernya.

Keinginan jamaah untuk tetap memasak memang besar. Bagi jamaah dari kalangan perempuan memasak makanan untuk disantap ramai-ramai malah jadi kegiatan yang menyenangkan. Maka, selama di Makkah mereka tetap menyelipkan waktu untuk memasak. Akibat kegiatan ini, karena rata-rata mereka berasal dari pelosok belum punya pengetahuan yang cukup mengenai seluk beluk memasak di dapur di Arab Saudi, banyak menimbulkan masalah.

 

 

 

 

Dampak tetap adanya aktivitas memasak, maka kerapkali munculah kehebohan yang membuat panik seluruh jamaah. Ini misalnya sebuah kejadian di kawasan hotel dari jamaah haji asal Kebumen yang kala itu tinggal di kawasan Misfalah. Jamaah perempuannya memasak gulai daging sapi yang bahan-bahanya mereka sudah siapkan dari kampung. Semua orang tahu memasak gulai dalam jumlah besar perlu api yang  juga besar, sehingga membuat asap di dapur mengepul-ngepul. Setelah dapur di penuhi asap, secara otomotis alarm kebakaran pun berbunyi. Penyemprot air yang berada di langit-langit dapur segera menyala. Ruangan menjadi banjir air. Ratusan jamaah yang tinggal di hotel itu panik karena dapur penuh asap dan air. Apalagi kemudian sirene kebakaran menjadi mengaum-ngaium keras sekali. Mereka berebut lari ke  luar dari hotel.

Mendenr sirene berbunyi, petugas haji hingga petugas keamanan pun dibuat sobuk. Mereka segera mendatangkan asykar lengkap dengan petugas dan armada mobil pemadam kebakaran. Kawasan itu sontak menjadi hiruk-pikuk. Jalan besar yang ada di dekatnya langsung diblokir. Namun, setelah dicek oleh petugas keamanan, ternyata bukan kebakaran. Menyalanya sirene dan jaringan air pemadam kebakaran di hotel, karena ada asap yang mengelul-ngepul dari jamaah perempuan yang memasak gulaii daging sapi  di dapur hotel.

Kekonyolan lain, terkait dengan makanan banyak sekali kasusnya. Alhasil, sangat tidak terbayang dampaknya bila katering haji dihapus dengan diganti berupa uang. Pertanyaanya para jamaah yang kebanyakan berasakl dari kalangan orang-orang sederhana --baru pertama kali naik pesawat terbang, baru pertama kali pergi dan tinggal di negara asing-– akan mendapat asupan makanan dari mana?

Mereka pasti akan beruha membeli di restoran atau mall yang ada di Arab Saudi? Dan ini pasti mereka tak mau menyantapnya dengan alasan paling sederhana, tak enak karena tak sesuai dengan cita rasa lidahnya. Ini misalnya, apakah mereka akan mau menyantap ayam goreng Arab yang sangat terkenal di Makkah dan Madina, Al Baik itu? Pasti makanan ayam goreng ini akan ditolak jamaah karena rasa makanan ayam goreng Al Baik lebih flat dan tidak memakai nasi. Padahal orang Indonesia selain rasa masakannya serba gurih penuh bumbu, syarat lainnya adalah harus memakai nasi. Bagi jamaah Indonesia punya prinsip: "Kalau belum makan nasi merasa dirinya belum makan!"

Silahkan BPKH mikir sendiri imbas luas bila katering bagi jamaah haji ditiadakan? Ingat ya, BPKH itu didirikan hanya untuk melayani dan membuat semua orang Indonesia dapat melankanakan ibadah haji dengan kualitas terjaga. Sebab, jamaah haji itulah yang sejatinya pihak yang punya dana alias ‘bos’ dari BPKH? Jangan di balik ya, jamaah haji bukan obyek dari BPKH..!

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler