Alasan KPK Ikut Dukung Biaya Ibadah Haji Dinaikkan oleh Pemerintah

MUI meminta skema Ponzi dalam pengelolaan keuangan haji dihentikan.

AP Photo/Amr Nabil
Jamaah haji berjalan mengelilingi Kabah, bangunan kubik di Masjidil Haram, selama ibadah haji tahunan, di Mekkah, Arab Saudi, Selasa (10/7/2022). Ibadah haji tahunan Islam di Arab Saudi akan kembali ke tingkat pra-pandemi pada 2023 setelah pembatasan melihat peringatan keagamaan tahunan dibatasi karena kekhawatiran tentang virus corona, kata pihak berwenang.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Flori Sidebang, Zahrotul Oktaviani

Baca Juga

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, rencana kenaikan biaya ibadah haji merupakan hal yang wajar. Sebab, jika kebijakan itu tidak diambil, nilai manfaat pada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) akan habis.

Adapun nilai manfaat, yakni semacam 'subsidi' yang dikucurkan oleh BPKH. Sehingga biaya haji yang ditanggung oleh jemaah menjadi lebih murah.

Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan, pada 2022 terbit Keputusan Presiden (Keppres) yang menyatakan besaran biaya haji yang harus dibayarkan jemaah atau Bipih dari embarkasi Aceh hingga Makassar rata-rata sebesar Rp 39,8 juta per orang. Saat itu, total biaya penyelenggaraan haji untuk setiap jemaah adalah Rp 81,7 juta.

"Sehingga selisihnya yaitu Rp 41,9 juta ditanggung dari nilai manfaat. Ini artinya 48 persen ditanggung oleh jamaah dan 52 persen dari nilai manfaat hasil dari pengusahaan BPKH," kata Ghufron dalam keterangan tertulisnya, Selasa (31/1/2023).

Tidak berhenti di situ, sambung dia, dua pekan sebelum keberangkatan jamaah, ternyata pihak Arab Saudi kembali menaikkan biayanya. Sehingga biaya operasional penyelenggaraan haji membengkak menjadi Rp 98,3 juta per orang.

Pemerintah pun kemudian menerbitkan Keppres Nomor 8 Tahun 2022 yang menyatakan kucuran besaran nilai manfaat dari BPKH bertambah untuk memenuhi biaya operasional ibadah haji. Hal ini membuat BPKH harus menanggung sekitar 59-60 persen dari total biaya haji, sedangkan jemaah menanggung sebesar 40 persen. Sebelum biaya operasional haji di Arab naik, lembaga itu hanya harus mengeluarkan Rp 4,2 triliun (kemudian) menjadi Rp 5,4 triliun.

"Kondisi ini jika diteruskan tinggal menunggu waktu, saatnya dana BPKH akan habis nilai manfaatnya, karena telah terforsir untuk menutupi biaya jamaah haji yang telah berangkat," ungkap Ghufron.

"Siapa yang rugi, tentu bukan yang telah berangkat tetapi jamaah yang belum berangkat karena ia telah menanggung biaya jamaah yang telah berangkat karena nilai manfaat pengelolaan haji diambil secara over (berlebihan) oleh yang sebelumnya," tambahnya menjelaskan.

Menurut Ghufron, usulan kenaikan biaya haji yang disampaikan oleh Kementerian Agama beberapa waktu lalu pun wajar. Sebab, menurutnya, jika kenaikan tidak dilaksanakan, akan merugikan jemaah yang belum berangkat menunaikan ibadah haji.

"Hal inilah yang perlu kita semua ketahui sehingga tidak kemudian menilai biaya haji dinaikkan kemudian membebani jamaah secara sesenang wenang. Karena sebaliknya jika tidak dinaikkan, maka yang dirugikan adalah jamaah yang belum berangkat untuk (menanggung nilai manfaat yang over) yang dipakai oleh yang sebelumnya," jelas dia.

Sebelumnya, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan juga menyampaikan hal yang sama. Pahala mengatakan, saat ini nilai manfaat yang ada di BPKH hanya berjumlah sekitar Rp 15 triliun.

“Sekarang hanya Rp 15 triliun kurang lebih nilai manfaat yang ada di BPKH,” kata Pahala dalam konferensi pers di KPK, Jumat (27/1/2023).

Dia menyebut, kondisi ini pun diikuti dengan belum adanya regulasi setingkat undang-undang yang mengatur besaran dana yang harus dikucurkan oleh BPKH dalam setiap penyelenggaraan ibadah haji. 

Oleh sebab itu, Pahala menilai, pentingnya segera dilakukan harmonisasi antara Undang-Undang Tentang BPKH dan Undang-Undang Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Nantinya besaran nilai manfaat yang mesti dikucurkan oleh BPKH untuk setiap jemaah haji bakal ditentukan dalam harmonisasi tersebut.

 

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh menilai, nilai manfaat dari uang calon jamaah haji yang baru lalu digunakan untuk pembayaran pelaksanaan ibadah haji jamaah tahun berjalan mirip dengan skema Ponzi. MUI meminta skema Ponzi dalam pengelolaan keuangan haji dihentikan.

"Nilai manfaat merupakan dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji, yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi. Nah nilai manfaat yang digunakan ini punya siapa? Dalam aturan UU dan syar'i, nilai manfaat ini idealnya dan seharusnya secara personal individual, bukan kolektif sebagai perkumpulan calon jamaah. Namun kondisi faktual, ini secara kolektif," kata dia sebuah diskusi, Senin (30/1/2023).

Asrorun Ni'am menyebutkan, berdasarkan kondisi saat ini, otoritas pemanfaatan nilai manfaat yang seharusnya dimiliki individu calon jamaah haji malah digunakan untuk keberangkatan jamaah haji tahun berlangsung, atau bukan yang memilikinya. Menurutnya, kondisi ini tidak sah, karena jamaah haji yang akan berangkat tidak memiliki hak di dalamnya.

"Skema ini mirip Ponzi, yaitu nilai manfaat dari uang calon jamaah yang baru digunakan untuk membayar pelaksanaan haji jamaah tahun berjalan. Prinsipnya dana jamaah boleh diinvestasikan dan nilai manfaatnya kembali ke jamaah. Tapi kalau untuk menutupi biaya haji jamaah lain, ini masuk kategori malpraktik penyelenggaraan ibadah haji dan perlu perbaikan," lanjutnya.

Ia lantas mengusulkan perbaikan dari sisi perspektif keagamaan, yaitu memotong dan menghilangkan mekanisme Ponzi dalam pengelolaan keuangan haji. Jika sudah telanjur, harus segera dihentikan dan hak calon jamaah dikembalikan, jangan sampai mendzalimi mereka.

"Kalau toh seandainya skema yang berjalan saat ini memanfaatkan nilai manfaat dana kelolaan kepentingan jamaah haji yang berbeda dari yang memilikinya, maka ini saatnya untuk berhenti. Dari saat BPKH bisa mengidentifikasi si A punya uang berapa dan nilai manfaat berapa, sisanya jika sudah dihitung BPIH dan Bipihnya, maka tinggal menambah," ujar dia.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyebut subsidi yang diberikan pemerintah bisa secara perlahan dikurangi.

"Seiring dengan waktu, kenaikan biaya perjalanan haji tidak akan bisa dihindari. Secara perlahan subsidi dari Pemerintah Indonesia akan dikurangi," ujar dia dalam pesan yang diterima Republika, Selasa (31/1/2023).

Meski demikian, ia menyebut kenaikan biaya haji yang diusulkan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mungkin terlalu tinggi. Dengan biaya lebih dari 69 juta, kemungkinan besar akan ada banyak jamaah yang sudah mendapat nomor antrean batal berangkat. Hal ini dikarenakan mereka tidak mampu memenuhi kekurangan atau tambahan biaya, yang hampir dua kali lipat.

"Karena itu, biaya haji dapat diturunkan dengan menaikkan subsidi pemerintah sebesar 50 persen dan pengurangan biaya, yang tidak terkait langsung dengan penyelenggaraan haji," lanjutnya.

Lebih lanjut, Abdul Mu'ti menekankan perlunya mencari jalan keluar terbaik terkait biaya haji ini. Utamanya, hal ini memikirkan jamaah yang sudah mendapatkan nomor antrean, tetapi tidak mampu memenuhi kekurangan biaya dalam waktu dekat.

Direktur Pelayanan Haji Dalam Negeri Ditjen PHU Kementerian Agama (Kemenag) Saiful Mujab, sebelumnya menyebut usulan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1444 H/2023 H masih bersifat dinamis. Bersama mitra kerja Kemenag, angka ini akan terus dibahas dan dikaji ulang.

"Angka itu sebetulnya masih relatif dinamis, karena Kemenag dan Komisi VIII DPR terus membahas dan mengkaji ulang. Insya Allah di Februari nanti akan diputuskan. Di dalam negeri kami juga terus melakukan nego, dengan pesawat dan lain-lain," kata dia.

 

Infografis Tantangan Penyelenggaraan Haji 2023 - (Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler