Profesor Hukum Nilai Aneh Status Tersangka Almarhum Hasya yang Ditabrak Pensiunan Polri

Almarhum Hasya yang meninggal karena ditabrak malah ditetapkan tersangka oleh polisi.

Republika/Zainur mahsir ramadhan.
Keluarga almarhum mahasiswa UI, Hasya, menggelar konferensi pers di ILUNI UI Salemba, Jumat (27/1) setelah anaknya yang wafat ditetapkan tersangka oleh kepolisian. Terduga tabrak lari, merupakan pensiunan polisi.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zainur Mashir Ramadhan, Antara

Baca Juga

Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Hibnu Nugroho menilai aneh penetapan tersangka terhadap mahasiswa Universitas Indonesia (UI), M Hasya Attalah, korban meninggal setelah ditabrak oleh pengendara mobil yang adalah purnawirawan Polri. Kasus kemudian disetop oleh penyidik kepolisian dengan alasan tersangka telah meninggal dunia.

"Jika melihat suatu permasalahan hukum itu dari sudut sebab akibat. Tapi kalau tersangka untuk dirinya sendiri, itu agak aneh, karena tersangka itu berarti orang lain," kata Prof Hibnu Nugroho, di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (27/1/2023).

Menurut Ibnu, masalah dalam kasus yang kemudian menjadi polemik viral di media sosial itu bukan pada dihentikan atau tidak dihentikan tetapi analisis penentuan status tersangka terhadap almarhum Hasya yang perlu dievaluasi.

"Jadi kalau tersangka itu ya orang lain yang menyebabkan, bukan dirinya sendiri. Kalau dirinya sendiri, berarti bukan merupakan suatu peristiwa pidana, itu yang harus digarisbawahi," kata Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu pula.

Menurut Ibnu, jika seseorang meninggal dunia karena diri sendiri, itu bukan persoalan pidana yang berarti meninggal karena tindakannya sendiri. Dalam konteks perkara Hasya, kata Ibnu, tidak mungkin seseorang meninggal dunia karena tersangkanya adalah dirinya sendiri.

"Itu saya kira perlu diluruskan, dalam hal ini cukup menjadikan aneh ketika seorang tersangka untuk dirinya sendiri, harusnya tersangka itu orang lain," katanya pula.

Terkait dihentikannya perkara tersebut, Prof Hibnu mengatakan, hal itu berarti secara formal sudah selesai, tetapi secara materiil belum selesai. Secara stigma, kata dia, keluarga tentunya masih tidak terima karena anaknya menjadi tersangka untuk dirinya sendiri.

Akan tetapi jika keluarga hendak menempuh jalur praperadilan, kata dia lagi, hal ini tidak mungkin dilakukan karena korban yang dijadikan tersangka telah meninggal dunia.

"Cuma yang jadi masalah, status tersangkanya menjadikan keluarga tidak terima karena (korban) menjadi tersangka atas dirinya sendiri," ujarnya lagi.

Kuasa hukum keluarga almarhum Hasya, Gita Paulina pada Jumat (27/1/2023) memberikan keterangan pers terkait kasus ini. Menurunya, peristiwa tabrak lari terhadap korban terjadi pada Kamis (6/10/2022) di wilayah Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Gita menerangkan, pada malam kejadian, Hasya diketahui hendak pergi ke kos salah satu temannya. Dalam perjalanan, tiba-tiba sebuah motor di depannya melaju lambat. Secara refleks, Hasya mengelak kemudian mengerem mendadak sehingga motor Hasya jatuh ke sisi kanan.

Tidak lama setelah terjatuh, dari arah berlawanan, sebuah mobil SUV yang dikemudikan seorang pensiunan Polri pun melintas dan kemudian melindas Hasya. Tidak lama setelah kejadian, salah satu orang yang berada di TKP mendatangi terduga pelaku pelindasan dan meminta agar terduga pelaku membantunya untuk membawa Hasya, ke rumah sakit, namun terduga pelaku menolaknya.

Sehingga, Hasya tidak bisa cepat dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Tidak lama setelah Hasya tiba di RS, Hasya dinyatakan meninggal dunia.  

Setelah meninggal, Hasya ditetapkan tersangka. Status tersangka Hasya itu diketahui setelah Polres Jakarta Selatan mengirimkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan Perkara (SP2HP) No. B/42/I/2023/LLJS kepada keluarga.

“Yang dikirimkan polisi adalah SP2HP penyelidikan yang disertai surat perintah penghentian penyidikan,” kata Gita, Jumat.

Dengan demikian, Gita menyimpulkan, dalam perkara ini penyelidikan dan penyidikan oleh Polres Jakarta Selatan dilakukan paralel alih-alih berjenjang. Menurutnya, pihak kepolisian melakukan dua proses sekaligus.

“Sambil menyelidik, menyidik. Nah tentunya keluarga waktu baca surat itu yang ditanya kapan Hasya jadi tersangka? Kapan juga kasus ini dinaikkan menjadi tersangka?” lanjut Gita menirukan pertanyaan orang tua Hasya.

Tak sampai di sana, yang membuat pihaknya heran adalah tidak adanya penerapan Peraturan Kapolri Nomor 15 Tahun 2013 tentang Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas dalam kasus itu. Gita menjelaskan, tidak ada proses pemeriksaan urin terhadap tersangka.

“Padahal semua yang terlibat kecelakaan, harus diperiksa apakah ada kontaminasi alkohol atau apa. Tidak ada tindakan pengecekan urin,” ucapnya.

Lebih jauh, kendaraan roda empat yang digunakan terduga pelaku dia sebut juga tidak diamankan, seperti kendaraan roda dua almarhum Hasya. Padahal, sesuai SOP, kata dia, seharusnya diamankan untuk mengurangi potensi modifikasi bukti.

 

 

 

Gita juga mengungkapkan, pihak keluarga almarhum Hasya sempat mendapatkan ancaman. Menurut keterangan pihak keluarga, kata dia, kediaman almarhum sempat didatangi dan dimasuki orang-orang tak dikenal pada waktu malam.

 “Di mata keluarga, seperti ada tekanan, intimidasi. Orang (tak dikenal) datang malam-malam langsung masuk rumah. Setelah itu tidak ada (lagi)” kata Gita, Jumat.

Ibunda almarhum Hasya, Ira, mengaku sempat diundang pihak kepolisian di Subditgakkum pada awal Desember lalu. Dalam pertemuan dengan pihak kepolisian itu, kata dia, keluarga membawa lima orang kuasa hukum dari Iluni UI.

“Tapi kami dipisahkan dan kami hanya berdua (suami-istri) dengan beberapa polisi,” kata Ira.

Dia menyebut, pihak kepolisian saat itu terpaksa memisahkan dirinya dan suami dengan kuasa hukum. Tak hanya itu, pihak kepolisian, kata Ira kepada awak media, juga mengunci pintu ruangan yang dimasuki dan tidak memperbolehkan kuasa hukum masuk.

“Saya tidak bilang diintimidasi, tapi seperti disidang. Saya pikir harus bawa lawyer saya. Saya bilang nggak mau ke toilet, saya mau keluar (dari ruangan)” katanya.

Ira, menolak berdamai saat pertemuan dengan kepolisian dan beberapa petinggi polisi itu terjadi. Meski terduga penabrak lari yang merupakan pensiunan polisi hadir di ruang terpisah, Ira dan Gita mengaku tidak sempat dipertemukan dengan terduga pelaku penabrak anaknya.

Terkait perkara ini, Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya pada November 2022 silam menyatakan, proses hukum tertahan lantaran penyidik saat itu menunggu proses mediasi antarpihak korban dan terduga pelaku penabrakan.

"Pada saat kejadian ini, mereka kan mau mediasi katanya. Kami masih menunggu hasil mediasi itu. Ternyata sampai pelaksanaannya, mediasi ini tidak tercapai," kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Latif Usman.

Latif mengonfirmasi, peristiwa kecelakaan tersebut terjadi pada 6 Oktober 2022 di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Dia mengatakan, penanganan kasusnya telah dilakukan sesuai prosedur.

"Bukannya kami enggak mau proses, kami proses lanjut dan itu sudah berjalan pemeriksaan saksi dari pihak Pak ESBW, ini sudah beberapa saksi sudah kita lakukan pemeriksaan," ujarnya.

Meski demikian, Latief saat itu mengakui, pihak Kepolisian belum melakukan gelar perkara untuk kasus tersebut karena masih menunggu hasil mediasi antara pihak yang terlibat kecelakaan. Namun gagalnya mediasi tersebut tidak disampaikan kepada pihak Kepolisian hingga akhirnya mendadak viral di media sosial pernyataan pihak keluarga korban soal lambannya penanganan kasus tersebut.

"Karena kami masih menunggu sebetulnya, tiba-tiba ada berita viral itu, kami juga kaget. Sedangkan katanya mau mediasi, harusnya hasil mediasi itu sampaikan ke kami," kata Latif.

 

 

 

Komitmen Komjen Listyo sebagai Kapolri baru - (Republika)

 

 
Berita Terpopuler