Ingat, Rezeki dari Allah Bukan Hanya Gaji

Kekeliruan memahami arti rezeki membatasi diri dalam mensyukuri karunia Allah.

ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Ilustrasi. Ingat, Rezeki dari Allah Bukan Hanya Gaji
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah SWT dalam Alquran telah menegaskan Ia memiliki kehendak dalam melapangkan maupun membatasi rezeki seorang hamba-Nya. Ia bisa menciptakan, merancang, menentukan dan memberi petunjuk atas apapun yang terjadi di dunia ini.

Imam Shamsi Ali menyebut, hal ini merupakan sebuah penekanan, bahwa dari penciptaan dan segala yang terkait dengan kehidupan manusia terpusat dalam satu komando. Yaitu, komando “Dia Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi” (Al A’la: 1).

Beragam ayat maupun hadits yang ada juga menyebutkan tentang rezeki dan kehidupan manusia. Di antaranya adalah ayat-ayat yang mengharuskan bagi orang-orang beriman untuk menafkahkan sebagian dari apa yang telah direzekikan kepadanya, sebagai bagian dari karakter ketakwaan.

"Hanya saja, ada kekeliruan dalam memahami arti rezeki. Seringkali dipahami sebagai sekadar pemasukan keuangan. Bahkan, lebih sempit lagi ketika dipahami rezeki itu seolah hanya gaji rutin (bulanan misalnya) seseorang," ujar dia dalam pesan teks yang diterima Republika.co.id, Selasa (17/1/2023).

Kekeliruan dalam memahami arti rezeki dengan batasan gaji disebut memiliki konsekuensi yang cukup parah. Hal ini membatasi karunia Allah yang tiada batas, serta kemungkinan membatasi diri sendiri dalam mensyukuri karunia Allah SWT yang begitu luas.

Sifat Allah SWT...

Baca Juga

Oleh karenanya, Imam Shamsi Ali menyebut hal pertama harus disadari adalah sifat Allah SWT dalam memberi rezeki pada umumnya dieskpresikan dengan “Ar-Razzaq” atau “Yang Maha Pemberi rezeki secara berlebihan dan terus-menerus”.

Dalam kaidah bahasa Arab, bentuk kata seperti ini disebut bentuk “tafdhiil” (melebihkan). Ini menunjukkan bahwa Allah SWT itu memberikan rezeki-Nya secara terus menerus, sehingga sejatinya dirasakan dengan perasaan “Qana’ah” (berkecukupan).

"Kesadaran lain yang harus dibangun dalam menyikapi rezeki adalah pembagian rezeki secara kuantitatif merupakan hak prerogatif Allah SWT," lanjutnya.

Allah SWT memberikan rezeki-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, bahkan di luar batas kalkulasinya (lihat misalnya Al-Baqarah: 212).

Suatu ketika Umar r.a. menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari. Dalam suratnya ia menulis: “dan belajarlah puas dengan rezeki dalam kehidupan duniamu. Karena sesungguhnya Yang Maha Rahman (Allah) melebihkan sebagian di atas sebagain manusia dalam rezeki. Allah timpakan ujian pada masing-masing (yang banyak atau yang sedikit). Maka Dia (Allah) menguji siapa yang dikarunia rezeki lebih untuk mensyukurinya dan bagaimana menggunakan karunia itu secara baik dan benar (diriwayatkan Ibnu Hatim).

Awas hasad...

Dari sini, hal lain yang harus disadari adalah pentingnya menghindari perasaan “tidak enak” dengan karunia lebih yang Allah berikan kepada orang lain. Dalam bahasa agama, menyadari tentang rezeki secara benar dan proporsional akan menghindarkan kita dari penyakit yang super berbahaya, “hasad”.

"Itu sesungguhnya yang diingatkan dalam Alquran. Jangan berangan-angan dengan apa yang Allah telah lebihkan antara satu dengan yang lain di antara kalian," kata dia.

Imam Shamsi Ali mengajak setiap umat Muslim untuk fokus meminta kepada Allah kelebihan atau keutamaan-Nya. Tentu, dengan kesadaran bahwa “Allah itu Maha mengetahui segala hal” (An-Nisa: 32).

Jika hal-hal di atas bisa disadari, maka berbagai permasalahan hidup dan dosa dapat terhindarkan. Pertama, kegagalan mensyukuri karunia karena salah memaknai arti rezeki.

Dua, dengan menyadari hal tersebut maka akan terbangunnya kesadaran hakiki dan benar tentang karunia rezeki Allah SWT. Hal ini dapat mengantarkan kepada “Al-Qana’ah” atau rasa puas yang sejati.

Selanjutnya, tidak lagi membangun perasaan “tidak enak” (hasad) dengan karunia yang Allah berikan kepada orang lain. Karena ia telah yakin jika sunnatullah dalam pembagian rezeki itu memang ada yang dibukakan dan ada yang sebaliknya.

"Dengan kesadaran tentang rezeki seperti itu, manusia akan menjalani hidupnya dengan penuh lapang dada, kepuasan, ketenangan dan kebahagiaan. Manusia seperti inilah yang akan kuat, stabil, dan tegar dalam menjalani kehidupan. Jauh dari prasangka-prasangka, baik pada orang lain, diri sendiri, apalagi kepada Allah SWT," ujar Presiden Nusantara Foundation ini.

 
Berita Terpopuler