Saatnya Move On, Begini Cara Atasi Trauma Akibat KDRT

Memulihkan diri dari trauma KDRT bisa menjadi perjalanan yang sangat menantang.

Dadang Kurnia
Venna Melinda saat berada di Mapolda Jatim, Kamis (12/1/2023). Venna melaporkan suaminya, Ferry Irawan, sebagai pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengalami kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bisa memicu trauma mendalam. Jalan menuju pemulihan agar bebas dari trauma mungkin tidak mudah, tetapi selalu ada jalan bagi korban untuk belajar move on dan menyembuhkan diri.

Mengutip situs resmi komnasperempuan.go.id, KDRT bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. Data dari catatan tahunan Komnas Perempuan pada 2020, mengungkap bahwa KDRT atau kekerasan di ranah personal masih menempati urutan pertama dengan jumlah 75,4 persen dibandingkan dengan kekerasan di ranah lainnya.

Bentuk kekerasan terhadap perempuan di ranah personal yang tertinggi adalah kekerasan fisik, berjumlah 4.783 kasus. Dari 11.105 kasus yang ada, sebanyak 6.555 atau 59 persen adalah kekerasan terhadap istri.

Baca Juga

Menyusul jumlah terbanyak selanjutnya adalah kasus kekerasan terhadap anak perempuan dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga. Organisasi kesehatan mental di Amerika Serikat, National Alliance of Mental Illness (NAMI), berbagi cara mengatasi trauma terkait kekerasan domestik.

Menurut NAMI, trauma adalah hal yang mengerikan untuk dialami seseorang. Akan tetapi, bukan berarti seseorang harus hidup dengan trauma selama sisa hidupnya.

Memulihkan diri dari trauma terkait pelecehan atau KDRT bisa sangat menantang, tetapi itu sangat mungkin diupayakan. Berikut enam kiat yang dapat dilakukan untuk membantu proses penyembuhan trauma.

1. Kenali efek trauma
Banyak efek dari trauma akibat pelecehan atau kekerasan domestik. Efek umumnya bisa meliputi sukar tidur, serangan panik, kecemasan, penggunaan zat, gangguan makan, kilas balik kekerasan seksual/fisik, perasaan membenci diri sendiri, dan rendah diri.

Korban pun bisa menjadi takut berinteraksi dengan orang lain dan menjalin hubungan, hingga punya pikiran untuk bunuh diri. Apabila mengalami tanda-tanda peringatan tersebut atau dialami orang terdekat, segera cari bantuan profesional.

2. Pahami pentingnya penyembuhan
Penting untuk diketahui bahwa penyembuhan adalah kunci untuk mengatasi trauma. Lamanya masa penyembuhan trauma bisa berbeda untuk setiap orang, tetapi sama-sama membutuhkan niat untuk melepaskan trauma masa lalu dan niat untuk pulih.

Niat perlu dipupuk dengan fokus pada diri sendiri, fokus pada kebutuhan diri, sekaligus mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan orang lain. Izinkan teman dan keluarga menjadi sistem pendukung saat Anda mengambil bagian dalam proses penyembuhan.

3. Afirmasi positif
Memfokuskan kembali pikiran bawah sadar dapat dimulai dengan "memaksakan" hal positif. Negativitas atau kritik batin dapat memicu sabotase diri dan menahan seseorang dari perspektif positif. Fokuskan kembali suara batin dengan menerapkan sistem afirmasi positif.

Gunakan ini setiap hari, terutama setiap kali ada pikiran yang mengganggu. Beberapa afirmasi positif yang bisa dicoba yakni dengan mengatakan kepada diri sendiri hal-hal baik seperti "Aku layak", "Aku berharga", "Aku cantik", dan "Aku menyayangi diriku".

4. Latihan fisik
Penyembuhan pikiran bisa dimulai melalui fisik. Temukan setidaknya satu bentuk latihan fisik yang disukai dan dapat dilakukan dengan mudah. Melakoninya secara rutin bakal membantu melepaskan kesedihan, kemarahan, dan rasa sakit hati yang dapat timbul akibat pelecehan dan trauma.

Beberapa latihan yang bagus untuk dilakukan yakni kickboxing, yoga, latihan kardio, menari, atau berlari. Mendengarkan musik yang memberdayakan atau lagu yang memberikan afirmasi positif saat berolahraga juga menjadi terapi yang bagus.

5. Asah kreativitas
Terapi seni telah terbukti membantu para penyintas gangguan stres pascatrauma (PTSD). Studi yang digagas Pusat Informasi Bioteknologi Nasional AS (NCBI) mengungkap bahwa aktivitas seni membuat pelakunya merasakan pengurangan efek trauma.

Berkreasi menciptakan karya seni dapat membantu seseorang mengekspresikan diri dengan cara transformatif. Itu akan mendorong seseorang melepaskan trauma dan efek negatifnya. Kegiatan yang bisa jadi bagian dari terapi seni termasuk menulis, menggambar, melukis, bermain musik, menggubah musik, serta membuat kerajinan.

6. Jangan takut mencari bantuan
Meminta bantuan tidak menunjukkan bahwa seseorang tidak berdaya. Justru, itu menunjukkan betapa beraninya seseorang bisa secara terbuka menerima trauma yang dialaminya.

Mintalah bantuan pada profesional kesehatan mental yang memiliki spesialisasi dalam penanganan trauma agar bisa memahami gejalanya. Bisa juga dengan bergabung dalam kelompok beranggotakan sesama penyintas kekerasan domestik agar dapat saling berbagi.

 
Berita Terpopuler