Kala Normalisasi Hubungan dengan Negara Arab Gagal Jadi Daya Tarik Pariwisata Israel

Sebaliknya, lebih dari setengah juta warga Israel telah kunjungi Abu Dhabi dan Dubai.

EPA/ABIR SULTAN
Salah satu sudut Kota Tel Aviv, Israel. Israel berencana membuka kembali pintunya bagi wisatawan asing termasuk dari negara-negara Arab pascanormalisasi hubungan diplomatik. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Jaramaya, AP

Baca Juga

Israel berharap normalisasi hubungan dengan empat negara Arab yang dicapai pada 2020 dapat mendongkrak sektor pariwisata. Namun dua tahun sejak kesepakatan itu ditandatangani, hanya sedikit turis dari Teluk Arab yang datang ke Israel. 

Sebaliknya, lebih dari setengah juta warga Israel telah berbondong-bondong mengunjungi Abu Dhabi dan Dubai. Sementara, hanya 1.600 warga Uni Emirat Arab (UEA) yang mengunjungi Israel. Kementerian Pariwisata Israel  tidak mengetahui berapa banyak warga Bahrain yang telah mengunjungi Israel karena jumlahnya terlalu kecil.

“Ini situasi yang sangat aneh dan sensitif. Orang-orang Emirat merasa telah melakukan kesalahan dengan datang ke sini (Israel)," ujar ketua forum pemandu wisata berbahasa Arab di Israel, Morsi Hija.

 

Kurangnya wisatawan UEA dan Bahrain mencerminkan masalah citra lama Israel di dunia Arab dan mengungkapkan batas-batas Abraham Accords. Padahal, normalisasi telah meningkatkan perdagangan bilateral antara Israel dan UEA dari 11,2 juta dolar AS pada 2019 menjadi 1,2 miliar dolar pada tahun lalu.

Di sisi lain, menurut sebuah survei oleh lembaga think tank, Washington Institute for Near East Policy, popularitas kesepakatan normalisasi di UEA dan Bahrain anjlok. Di UEA, dukungan turun menjadi 25 persen dari 47 persen dalam dua tahun terakhir. Sementara di Bahrain, hanya 20 persen dari populasi yang mendukung kesepakatan itu, turun dari 45 persen pada 2020. 

Pejabat Israel mengatakan, upaya untuk mendorong pariwisata dari Teluk Arab ke Israel telah luput dari kesepakatan normalisasi yang cenderung fokus pada hubungan keamanan dan diplomatik. Kunjungan turis dari Mesir dan Yordania, dua negara pertama yang membuka hubungan dengan Israel, juga hampir tidak ada.

“Kita perlu mendorong (Emirat) untuk datang pertama kali. Ini misi penting. Kita perlu mempromosikan pariwisata sehingga orang akan saling mengenal dan memahami satu sama lain," ujar Duta Besar Israel untuk UEA, Amir Hayek, kepada Associated Press.

Pada Desember lalu, pejabat pariwisata Israel terbang ke UEA untuk mempromosikan Israel sebagai tujuan yang aman dan menarik.  Kementerian Pariwisata menempatkan Tel Aviv sebagai pusat komersial dan hiburan Israel untuk mendatangkan daya tarik besar bagi warga Emirat.

 

Gejolak yang terjadi di Kota Yerusalem membuat orang Emirat dan Bahrain tidak bersemangat. Beberapa di antaranya justru menghadapi reaksi balik dari warga Palestina yang melihat normalisasi sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan mereka untuk mendapatkan kemerdekaan dari Israel.

“Masih banyak keraguan yang datang dari dunia Arab. Mereka berharap (Israel) menjadi zona konflik, mereka berharap didiskriminasi," ujar Direktur Sharaka, sebuah kelompok yang mempromosikan pertukaran orang-ke-orang antara Israel dan dunia Arab, Dan Feferman.

Setelah memimpin dua perjalanan orang Bahrain dan Emirat ke Israel, Sharaka berjuang untuk menemukan lebih banyak warga Teluk Arab yang tertarik untuk berkunjung. Pada 2020, sekelompok influencer media sosial Emirat dan Bahrain mengunjungi kompleks Masjid Al-Aqsa. Namun para influencer itu diludahi dan dilempari sepatu di Kota Tua Yerusalem.

Kemudian, sekelompok pejabat Emirat lainnya mengunjungi lokasi flashpoint  didampingi oleh polisi Israel. Kedatangan mereka memicu kemarahan mufti agung Yerusalem, Sheikh Muhammad Ahmad Hussein. Sheikh Hussein mengeluarkan fatwa terhadap warga Emirat yang mengunjungi masjid di bawah pengawasan Israel.

Sebagian besar warga Emirat dan Bahrain yang telah mengunjungi Israel mengatakan, mereka melepaskan pakaian nasional dan jilbab mereka agar tidak menarik perhatian. Wakaf Islam, yang mengelola Masjid Al-Aqsa, menolak menjawab pertanyaan tentang jumlah pengunjung Emirat dan Bahrain, termasuk perlakuan mereka di kompleks tersebut.  

Normalisasi hubungan antara UEA dan Israel berdampak pada kemarahan warga Palestina terhadap warga Emirat. Warga Emirat yang berkunjung dan belajar di Israel mengatakan, mereka sering menghadapi ancaman pembunuhan dan serangan di media sosial.

“Tidak semua orang bisa mengatasi tekanan ini. Saya tidak memberikan ancaman, tetapi ketakutan telah membuat orang Emirat enggan untuk pergi (ke luar rumah)," ujar seorang warga Emirat, Sumaiiah Almehiri, yang belajar untuk menjadi perawat di Universitas Haifa.   

Ketakutan terkait rasisme anti-Arab di Israel juga dapat membuat orang Teluk Arab menjauh. Pada musim panas lalu, polisi Israel secara keliru menangkap dua turis Emirati di Tel Aviv saat memburu seorang penjahat yang melakukan penembakan di jalan. Sementara beberapa warga Emirat menyatakan di media sosial tentang pengawasan yang tidak diinginkan dari pejabat keamanan di Bandara Ben-Gurion Israel.

“Jika Anda membawa mereka ke sini dan tidak memperlakukan mereka dengan sensitif, mereka tidak akan pernah kembali dan memberitahu semua temannya untuk menjauh,” kata Hija.

Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang kembali terpilih untuk masa jabatan keenam, telah berjanji untuk memperkuat perjanjian dengan Bahrain, Maroko, UEA, dan Sudan. Hubungan formal dengan Sudan masih sulit setelah kudeta militer dan tidak adanya parlemen untuk meratifikasi kesepakatan normalisasi yang ditengahi AS dengan Israel.

Netanyahu juga berharap dapat mencapai kesepakatan serupa dengan Arab Saudi. Namun, para ahli khawatir pemerintahan baru Netanyahu yang didominasi kelompok ultranasionalis dan konservatif secara religius dapat semakin menghalangi turis Teluk Arab dan membahayakan kesepakatan normalisasi.

Pemerintahan Netanyahu telah berjanji untuk memperluas pemukiman Tepi Barat dan mencaplok seluruh wilayah. “Kami punya alasan untuk khawatir tentang kemunduran hubungan,” kata seorang ahli Teluk Arab di Universitas Haifa di Israel, Moran Zaga. 

 

Fakta di balik normalisasi Maroko dan Israel. - (Aljazirah)

 

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler