Perppu Ciptaker dan Partisipasi Bermakna

Makna partisipasi bersama ketika Perppu Ciptaker terbit

Republika/Thoudy Badai
Demorntasri buruk terkait UU CIptaker. (ilustrasi).
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aidul Fitriciada Azhari, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sehari sebelum berakhir tahun 2022, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker). Di dalam konsideransnya disebutkan bahwa perppu tersebut dibentuk sebagai “penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”, yang sebelumnya sudah dinyatakan “inkonstitusional secara bersyarat selama 2 (dua) tahun” berdasarkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Berdasarkan putusan tersebut, ada dua perintah MK yang harus dilakukan oleh pembentuk UU, yakni: (1) melakukan “perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan undang-undang, sebagaimana amanat UU 12/2011, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna”; serta (2) “mengkaji kembali beberapa substansi yang menjadi keberatan dari beberapa kelompok masyarakat”. 

Untuk memenuhi perintah putusan MK tersebut, DPR sebagai badan pembentuk UU mengambil inisiatif untuk membentuk UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), terutama untuk mengakomodasi metode omnibus law dan asas partisipasi bermakna (meaningful participation). Dengan diakomodasinya metode omnibus law dalam UU Nomor 13 Tahun 2022, maka pembentuk UU memiliki landasan hukum untuk membentuk UU dengan metode omnibus law, termasuk untuk perbaikan pembentukan UU Ciptaker.

Namun, alih-alih menempuh pembentukan UU secara prosedur biasa, pemerintah mengambil langkah drastis dengan menerbitkan Perppu Ciptaker untuk mengganti UU Ciptaker. Karena merupakan penggantian, Perppu Ciptaker mencabut UU Ciptaker dan menyatakannya tidak berlaku (vide Pasal 185 Perppu Ciptaker). Konsekuensinya, UU Ciptaker yang menjadi objek pengujian secara formil dalam putusan MK sudah tidak ada lagi dan karenanya, status inkonstitusional secara bersyarat terhadap UU Ciptaker sudah gugur dengan sendirinya karena objeknya sudah tidak ada lagi.

Sekalipun demikian, timbul beragam kritik terhadap tindakan pemerintah mengeluarkan Perppu Ciptaker tersebut. Setidaknya ada dua kritik utama yang muncul di tengah publik.  Pertama, tindakan pemerintah tersebut merupakan bentuk kebijakan otoriter dan pembangkangan terhadap konstitusi. Kedua, penerbitan Perppu Ciptaker bertentangan dengan perintah MK untuk memperbaiki proses pembentukan UU Ciptaker berdasarkan asas partisipasi yang bermakna. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Subjektivitas perppu

Pembentukan perppu memiliki landasan konstitusional pada Pasal 22 UUD 1945. Intinya, Presiden berhak menetapkan perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, tetapi perppu tersebut harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikut.  Jika tidak mendapat persetujuan DPR, perppu tersebut harus dicabut. Putusan Nomor 198/PUU-VII/2009, MK memberikan penafsiran atas frase “hal ihwal kegentingan yang memaksa” tersebut dengan tiga pengertian, yakni: (1) adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; (2) UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU, tetapi tidak memadai; (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan. 

Dengan demikian, sekalipun penetapan perppu sepenuhnya merupakan hak subjektif Presiden, tetapi dengan ketiga syarat tersebut terdapat parameter objektif dalam menetapkan hal ihwal kegentingan yang memaksa. Parameter objektif inilah yang harus menjadi pedoman bagi DPR untuk menyetujui atau menolak perppu yang telah dikeluarkan oleh Presiden. 

Dengan adanya parameter objektif yang ditafsirkan MK dan harus menjadi pedoman bagi DPR untuk menyetujui atau menolaknya, penetapan perppu bukanlah tindakan otoriter karena terdapat pembatasan yang ditetapkan oleh Konstitusi. Secara prosedural, adanya keharusan mendapatkan persetujuan DPR menunjukkan bahwa perppu bukanlah tak terbatas, melainkan tunduk pada pembatasan oleh DPR yang tiada lain adalah instrumen kelembagaan dalam sistem demokrasi perwakilan. 

Pertanyaannya, apakah penerbitan Perppu Ciptaker merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi karena MK memerintahkan perbaikan UU Ciptaker bukan menetapkan Perppu Ciptaker? Untuk menjawab hal harus diingat bahwa perppu pada dasarnya merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU 12/2011, yang materi muatannya sama dengan UU, tetapi dengan perbedaan dalam proses pembentukannya. 

Putusan MK sendiri memerintahkan adanya perbaikan dalam pembentukan UU Ciptaker sesuai dengan cara atau metode yang pasti, baku, dan standar serta memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12/2011. Perbaikan tersebut terutama menyangkut penggunaan metode omnibus law dan asas partisipasi yang bermakna yang keduanya belum diatur dalam UU 12/2011.

Berkenaan dengan penggunaan metode omnibus law, penetapan Perppu Ciptaker telah sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 13/2022 tentang Perubahan atas UU 12/2011, yang telah mengakomodasi metode omnibus law. Artinya, sejauh menyangkut penggunaan metode omnibus law, penetapan Perppu Ciptaker tidak bertentangan dengan Putusan MK, yang menghendaki agar dilakukan perbaikan yang sesuai dengan cara atau metode yang diatur dalam UU yang mengatur Pembentukan Peraturan Perudang-undangan, dalam hal ini UU Nomor 13/2022 yang telah mengakomodasi metode omnibus law. 

 

 

 

 

Partisipasi bermakna

Bagaimana halnya dengan kesesuaian pada asas partisipasi yang bermakna? Berkenaan dengan hal itu, harus dipahami pula bahwa partisipasi yang bermakna merupakan asas yang berlaku secara umum bagi pembentukan semua jenis peraturan perundang-undangan, tidak terkecuali penetapan perppu. Artinya, bukan saja dalam pembentukan UU secara biasa, dalam hal penetapan perppu yang materi muatannya sama dengan UU pun berlaku asas partisipasi yang bermakna. 

Putusan MK Nomor 91-2020  menetapkan bahwa partisipasi yang bermakna paling tidak dilakukan pada tahap: (1) pengajuan rancangan undang-undang; (2) pembahasan bersama antara DPR dan Presiden, serta pembahasan bersama antara DPR, Presiden, dan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (3) persetujuan bersama antara DPR dan Presiden (Par. 3.17.8). 

Dalam konteks perppu, tahap pengajuan rancangan perppu memang berbeda dengan pengajuan RUU. Rancangan perppu diajukan oleh menteri yang hanya dikoordinasikan dengan menteri terkait atau pimpinan Lembaga Pemerintahan Non-Kementrian (LPNK), sehingga ada kemungkinan tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara kuat. Namun, selain merancang perppu, terdapat juga RUU tentang Penetapan Perppu yang dipersiapkan untuk persidangan DPR berupa RUU tentang Penetapan Perppu menjadi UU jika mendapatkan persetujuan dari DPR dan RUU tentang Pencabutan Perppu yang dipersiapkan jika DPR menolak Perppu tersebut (Pasal 71 UU 12/2011).  Artinya, masih terdapat ruang bagi partisipasi yang bermakna pada tahap pengajuan RUU tentang Penetapan Perppu yang kurang lebih berlangsung dalam tenggat sejak dikeluarkannya Perppu oleh Presiden dan persidangan DPR, yang membahas tentang persetujuan atas perppu. 

Jika menengok sejarah, partisipasi masyarakat pernah terjadi penetapan Perppu Nomor 1/2014 yang dilakukan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pada bagian konsiderans perppu itu disebutkan bahwa “UU Nomor 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur mekanisme pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan persoalan serta kegentingan yang memaksa sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.”

Jelas sekali dalam penetapan perppu pada era Presiden SBY tersebut terdapat partisipasi masyarakat yang kuat untuk mencabut UU Nomor 22/2024 dan menerbitkan Perppu Nomor 1/2014. Dan, dalam persidangan berikutnya, DPR memberikan persetujuan terhadap perppu tersebut. 

Sementara itu, ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 12/2011 menyebutkan bahwa Pembahasan RUU tentang Penetapan Perppu dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan RUU. Artinya, sejalan dengan Putusan MK, maka partisipasi yang bermakna pun dapat dilakukan pada tahap pembahasan RUU tentang Penetapan Perppu. Demikian pula, halnya partisipasi yang bermakna pun dapat dilakukan pada tahap persetujuan antara DPR dan Presiden. 

Kondisi yang sama juga berlaku untuk Perppu Ciptaker yang sesuai dengan Putusan MK, maka partisipasi yang bermakna sedikitnya pada tahap pengajuan RUU tentang Penetapan Perppu Ciptaker, pembahasannya di DPR, dan persetujuan antara DPR dan Presiden mengenai UU tentang Penetapan Perppu Ciptaker. Pada tahap-tahap itulah masyarakat dapat berpartisipasi secara bermakna untuk menguji secara objektif atas penilaian subjektif Presiden tentang kegentingan yang memaksa berdasarkan tiga syarat, yang telah ditentukan oleh MK dalam Putusan 138/PUU-VII/2009. 

 

 

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler