Agenda Setting Pemerintah DKI Jakarta Dalam Kebijakan Pengelolaan Sampah di TPST Bantar Gebang

Masalah pengoperasian sampah di DKI Jakarta merupakan masalah yang selalu terjadi setiap kali pemimpin di DKI Jakarta. Persoalan Operasi Sampah belum selesai karena belum ada tanggapan serius untuk menuntaskan operasi sampah di lingkungan Pemkot DKI

retizen /nurul qomariyah fatekhul zanah
.
Rep: nurul qomariyah fatekhul zanah Red: Retizen

Selama ini pengelolaan sampah di DKI Jakarta masih menggunakan sistem konvensional (kumpul-angkut-buang). Cara konvensional menambah volume sampah di TPST Bantargebang. Pemprov DKI Jakarta menggunakan lahan di Kota Bekasi karena lahan di DKI Jakarta tidak sembarang orang bisa menopang dan memuat berton-ton sampah, data dari Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta peningkatan jumlah ton sampah sebanyak 7,2 ton/hari. Pemerintah Kota Bekasi melihat peningkatan volume sampah yang diantarkan setiap hari ke Kota Bekasi, menjadi persoalan baru, karena meningkatnya kemacetan di rute perjalanan truk sampah yang sudah ada dalam kesepakatan antara Pemerintah Kota Bekasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Pengelolaan sampah setelah berada di TPST Bantargebang, juga mengakibatkan meningkatnya perkembangan penyakit bagi masyarakat yang yang tinggal berdekatan dengan TPST Bantargebang serta yang bergantung pada perekonomian sebagai pemulung di TPST Bantargebang.

Hal ini yang menjadi persoalan baru juga untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, karena harus menganggarkan biaya yang terus bertambah setiap tahun untuk pengelolaan sampah dalam kota DKI Jakarta.Tahun 2019, Pemerintah dan DPRD DKI Jakarta telah sepakat untuk menganggarkan biaya sebesar Rp 3,7 Trilliun yang termasuk untuk dana kompenasi, dana hibah, dan termasuk dalam pembangunan fly over Cipendawa dan Rawa Panjang.

Permasalahan pengelolaan sampah DKI Jakarta juga sudah mengakar rumput di masyarakat itu sendiri. Sampah berasalh dari manusia dalam arti manusia tersebut harus mengelola sampah itu sendiri, tapi tidak di DKI Jakarta. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta memiliki program 3R (Reuse, Reduce, dan Recyle). Program Bank Sampah adalah salah satu program yang akan membuat masyarakat menjadi memiki perhatian khusus dalam memilah sampah, dan hasil pemilahan yang telah masyarkat lakukan akan menjadi bahan pembuatan kerajinan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Kurang masif pengawasan dan pencerdasan masyarakat tentang pemilahan sampah berdampak bagi pengelolaan sampah DKI Jakarta.

Pengelolaan sampah di hulu (masyarakat) yang menjadikan lahan TPST Bantargebang setiap hari harus menerima sampah dari DKI Jakarta 7,2 ton/hari, hal tersebut mengakibatkan gunungan sampah yang tidak wajar. Batas wajar tumpukan sampah setinggi 10-15 meter, tetapi pada tahun 2020 tumpukan sampah itu sudah mencapai 30-40 meter. Begitu juga pengelolaan sampah dengan open dumping sudah melampaui ketinggian 35 meter. Jarak efektif polusi udara (bau) mencapai 10 km dari titik TPST. Permasalahan daya tampung TPST, bisa didekati dengan dua acara yaitu melalui program intensifikasi, seperti program yang dijalankan dengan menggunakan teknologi yang dapat mereduksi sampah; dan ekstensifikasi, misalnya perluasan lahan TPST Bantargebang eksisting dengan lahan baru di sekitar lahan yang sudah ada.

Menyikapi persoalan kondisi di atas, Pemprov DKI Jakarta telah merealisasikan sebagian dari rencana tiga paket kebijakan strategis penanganan sampah, yaitu :

1. Menekan atau mengurangi sampah dari sumber hulunya, baik dari rumah, kantor, pasar hingga hotel dan sebagiannya.

2. Menyediakan intermediate treatment facility (ITF) atau fasilitas pengolahan sampah di dalam wilayah DKI Jakarta.

3. Membangun pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSA)

Dengan adanya kebijakan strategis dalam penanganan sampah ini diharapkan kepada pemprov DKI Jakrta dapat mengelola sampah dengan baik bahkan bisa mengurangi volume sampah. Keberhasilan metode inovatif pengelolaan sampah oleh pemprov DKI Jakarta sangat penting dan menjadi harapan kita semua. Untuk itu, dibutuhkan kesadaran seluruh stakeholder agar terlibat dalam pengurangan sampah secara mandiri baik di daerah pemukiman, kawasan komersial dan tempat lainnya. Upaya pengurangan sampah dengan pendekatan 3R (reduce, reuse, recycle) terus dikembangkan meskipun masih terbatas dan memerlukan upaya berkelanjutan. Oleh karena itu pemerintah perlu mendorong dan mengoptimalkan bisnis daur ulang memperbaikan sistem teknologi pengolahan sampah yang berkelanjutan. Tantangan lainnya adalah belum optimalnya kelembagaan pengelola sampah, baik sebagai regulator maupun sebagai operator.

Keberadaan TPST Bantargebang masih dinilai tetap menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Untuk menyikapi hal ini, Pemprov DKI Jakarta mengubah kebijakan, bahwa TPST tidak lagi hanya berfungsi untuk melayani kebutuhan masyarakat (service center) dalam hal pengolahan sampah. Namun kini, peran TPST sudah diperhitungkan manfaat atau nilai tambah (added value) yang dapat dihasilkan dari sampah.

Dalam pengelolaan sampah, TPST Bantargebang menerapkan konsep yang lebih ramah lingkungan, terpadu, dan berkelanjutan. Namun di lain sisi, persepsi negatif sebagian masyarakat dan pemangku kepentingan (stakeholder) terkait isu lingkungan dan sosial dari masih ada. Untuk itu, perlu dilakukan sebuah kajian terkait model keberlanjutan pengelolaan sampah terpadu oleh pemprov DKI Jakarta di TPST Bantargebang Bekasi. Pada studi ini, ada enam aspek sebagai dimensi keberlanjutan, yaitu: dimensi teknik pengolahan, ekonomi dan bisnis, kesejahteraan sosial, regulasi dan kelembagaan, manajemen lingkungan, dan produsi bersih. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi status keberlanjutan pengelolaan sampah terpadu di TPST Bantargebang.

 
Berita Terpopuler