Rokok Dilarang Dijual Ketengan demi Tekan Prevalensi Konsumsi Secara Signifikan

Angka konsumsi rokok bisa berkurang signifikan jika ada larangan penjualan ketengan.

ANTARA FOTO/Novrian Arbi
Warga berkonsultasi untuk berhenti merokok melalui Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Bandung di Bandung, Jawa Barat, Kamis (24/11/2022). Pemerintah berencana melarang penjualan rokok secara ketengan mulai tahun depan demi mengurangi angka prevalensi konsumsi rokok di kalangan masyarakat. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Fauziah Mursid, Novita Intan

Baca Juga

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengonfirmasi rencana pemerintah melarang penjualan rokok batangan atau ketengan. Aturan ini termuat dalam Keputusan Presiden RI Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.

Menurut Jokowi, aturan larangan penjualan rokok secara ketengan tersebut disusun untuk menjaga kesehatan masyarakat. Menurut dia, penjualan rokok batangan di beberapa negara pun sudah dilarang.

“Itu kan untuk menjaga kesehatan masyarakat kita semuanya. Di beberapa negara justru sudah dilarang tidak boleh. Kita kan masih tapi untuk yang batangan tidak,” kata Jokowi saat memberikan keterangan pers di Pasar Pujasera, Subang, Jawa Barat, Selasa (27/12/2022).

Dalam Keputusan Presiden yang sudah diteken pada 23 Desember itu memuat aturan larangan penjualan rokok batangan di bagian nomor 6. Dalam beleid itu disebutkan bahwa pemerintah berencana menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Ada tujuh pokok materi muatan dalam rancangan aturan tersebut, yakni:

  1. Penambahan luas persentase gambar dan tulisan peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau;
  2. Ketentuan rokok elektronik;
  3. Pelarangan iklan, promosi, dan sponsorship produk tembakau di media teknologi informasi;
  4. Pelarangan penjualan rokok batangan;
  5. Pengawasan iklan, promosi, sponsorship produk tembakau di media penyiaran, media dalam dan luar ruang, dan media teknologi informasi;
  6. Penegakan dan penindakan; dan
  7. Media teknologi informasi serta penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

 

Wakil Presiden Ma'ruf Amin menjelaskan rencana pemerintah ini bagian dari bagian pengawasan penjualan rokok.

"Menurut apa yang saya pernah dengar, itu terkait kalau yang batangan itu banyak membeli itu anak-anak, jadi ini menyangkut masalah kesehatan, jadi untuk mencegah, saya kira itu," ujar Ma'ruf dalam keterangan persnya usai meresmikan PLUT KUMKM di Semarang, Jawa Tengah, Selasa.

Ma'ruf mengatakan, dasar penetapan Keppres 25/2022 ini juga merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tentang pengaturan mengenai bahan mengandung zat adiktif diatur melalui Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah yang diinisiasi Kementerian Kesehatan ini terdapat aturan pelarangan penjualan rokok batangan.

"Itu ada turunannya itu ya diantaranya turunannya itu melarang penjualan, itu UU tentang kesehatan, ya jadi dikaitkan dengan kesehatan," ujarnya.

Karena itu, kata Ma'ruf, adanya poin tersebut di undang-undang maka aturan turunannya perlu dilaksanakan. "Jadi itu merupakan turunan dari undang-undang sehingga masalahnya sudah menjadi undang-undang sehingga harus dilaksanakan," ujar Ma'ruf.

 

In Picture: Aksi Tolak Rokok, Cegah Remaja dari Bahaya Rokok

Polisi berjaga ketika massa dari Koalisi Masyarakat Peduli Kesehatan (KOMPAK) melakukan aksi kreatif parade mural hari kesehatan Nasional di Kawasan Taman Patung Kuda, Jakarta, Rabu (17/11). Aksi tersebut merupakan bentuk komitmen untuk terus mendorong pemerintah membuat kebijakan yang lebih kuat guna melindungi kesehatan masyarakat khususnya anak dan remaja dari dampak rokok yang berbahaya.Prayogi/Republika - (Prayogi/Republika.)

 

 

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengapresiasi rencana pemerintah melarang penjualan rokok secara ketengan. Larangan ini diyakini bisa menurunkan jumlah perokok aktif di Indonesia.

"Larangan penjualan rokok secara ketengan adalah kebijakan yang patut diapresiasi. Ini karena merupakan salah satu cara pengendalian yang efektif untuk menurunkan prevalensi merokok di Indonesia, khususnya di kalangan rumah tangga miskin, anak-anak, dan remaja," ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi seperti dalam keterangannya yang diterima Republika, Senin (26/12/2022).

Ia menambahkan, larangan penjualan ketengan juga efektif dibandingkan kenaikan cukai rokok. Selama ini, menurutnya, kenaikan cukai tidak efektif untuk menurunkan prevalensi dan konsumsi rokok, karena rokok masih dijual secara ketengan, diobral seperti permen, sehingga harganya terjangkau.

Tulus menambahkan, larangan penjualan rokok secara ketengan juga sejalan dengan spirit yang diatur dalam undang-undang (UU) No. 39 Tahun 2007  tentang Cukai. Dalam UU Cukai disebutkan bahwa barang yang menimbulkan kecanduan dan berdampak negatif terhadap penggunanya dan lingkungan, maka distribusinya dibatasi.

"Sementara itu, yang harus diawasi adalah praktik di lapangan seperti apa, dan apa sanksinya bagi yang melanggar. Jangan sampai larangan penjualan ketengan ini menjadi macan ompong," katanya.

Konsultan Hematologi-Ontologi Prof Zubairi Djoerban mengatakan, larangan terkait penjualan rokok ketengan memerlukan evaluasi lebih lanjut terkait penekanannya atau pantauan yang berkelanjutan terhadap dampaknya di masyarakat.

"Jadi maksudnya bagaimana? Dilarang menjual rokok batangan tetapi maksudnya kalau beli banyak atau packing boleh begitu?" kata Zubairi, di Jakarta, Selasa.

Menanggapi adanya wacana pelarangan penjualan rokok ketengan yang sedang disiapkan pemerintah, Zubairi meminta pemerintah agar mempertegas maksud dari larangan tersebut utamanya siapa yang menjadi target sasaran dalam masyarakat. Dalam rencana yang dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 25 Tahun 2022 itu, juga harus dijabarkan secara lebih mendetail terkait dengan maksud dari dilarangnya penjualan rokok ketengan.

Termasuk evaluasi lebih lanjut, karena tujuan sebenarnya adalah agar dapat mengetahui program tersebut bisa berhasil mengurangi prevalensi konsumsi rokok terutamanya pada kelompok miskin dan anak-anak atau tidak.

"Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kepentingan dari setiap pihak. Meski dalam pandangan kesehatan rokok lebih banyak memberikan dampak buruk pada masyarakat, misalnya seperti mempermudah terkena stroke dan memicu kanker, aspek lain juga harus diperhatikan agar program menjadi efektif dan tidak merugikan salah satu pihak," kata mantan Ketua Satgas Covid-19 IDI tersebut.

Ia memberikan contoh kebijakan yang ideal adalah kebijakan yang diterapkan oleh Selandia Baru, di mana pemerintahnya membuat aturan pelarangan merokok pada usia tertentu, yang jika dilanggar bisa dikatakan melanggar hukum. Hanya saja jika ikut menerapkannya di Indonesia, kebijakan itu akan sulit karena masih banyak sekali anak di usia muda yang sudah merokok.

Jumlah tersebut tercatat dalam data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) setiap tahunnya yang disusun oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Kebijakan tersebut juga sulit dilakukan karena banyak pertimbangan kepentingan terutama sisi industri.

"Kalau kita jadi presiden mungkin mudah, cara seperti itu banyak sekali (bisa dilakukan). Tetapi kita juga harus mengayomi kepentingan umum," kata Zubairi.

 

 

 

Rencana Presiden Jokowi melarang penjualan rokok secara ketengan pada tahun depan langsung mendapat penolakan keras dari pelaku usaha. “Kenyataannya, isu ini sengaja didorong sedemikian rupa oleh kelompok anti tembakau. Padahal pelarangan penjualan rokok eceran baru sebatas usul Kementerian Kesehatan kepada presiden, bukan keputusan seperti yang beredar di belakangan ini,” ujar Koordinator Komite Pelestarian Kretek Badruddin, Selasa.

Badruddin menjelaskan, masuknya rencana revisi PP 109/2012 yang diprakarsai oleh Kementerian Kesehatan sejatinya juga masih menjadi perdebatan dan belum meraih kesepakatan antar kementerian. Dia bilang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perindustrian, termasuk para pelaku usaha tembakau, telah menolak rencana revisi. 

 

“PP 109/2012 sudah mengatur ketat regulasi pengendalian tembakau. Implementasinya masih memberikan ruang dapat dioptimalkan, sehingga sejatinya tidak perlu ada usulan revisi. Sebab aturan tersebut telah menyeluruh, termasuk mengatur larangan jual beli rokok kepada anak. Ini repotnya kalau kebijakan didorong oleh kepentingan-kepentingan dan titipan-titipan tertentu di balik usulan revisi tersebut,” ucapnya.

Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Budidoyo menambahkan rencana revisi PP 109/2012 akan mengganggu ekosistem pertembakauan nasional dari hulu hingga hilir. Sebabnya, industri telah berada dalam tekanan situasi ekonomi dan tantangan yang bertubi-tubi.

 

“Yang saat ini tengah didorong sangat tidak adil, saat ini kondisi ekosistem tembakau bahkan belum pulih, tapi sudah mau dihantam berbagai regulasi termasuk kenaikan cukai. Karena regulasi di tembakau ini tidak hanya cukai, ada yang nonfiskal, seperti ada Perda Kawasan Tanpa Rokok dan PP 109/2012. Ini semua menghimpit ekosistem industri hasil tembakau,” ucapnya.

“Kalau tetap digerus kebijakan yang tidak berpihak, justru akan menjadi kontraproduktif. Apalagi, perekonomian saat ini baru pulih dari pandemi, dan sektor UMKM memiliki peran yang besar dalam menjaga ketahanan ekonomi pasca pandemi kini. Kami ingin pemerintah juga realistis melihat kondisi ini, bagaimana UMKM, pedagang asongan sekarang perlu didorong pertumbuhannya,” ucapnya, menambahkan.

 

Harga jual rokok eceran per 1 Januari 2023 mengalami kenaikan. - (Tim Infografis Republika.co.id)

 

 
Berita Terpopuler