Lembaga Falakiyah NU Tegaskan Kembali Posisi Hilal dan Waktu Subuh

Menegaskan kembali Subuh dimulai ketika matahari berada di ketinggian -20 derajat.

Antara/Rahmad
Lembaga Falakiyah NU Tegaskan Kembali Posisi Hilal dan Waktu Subuh
Rep: Muhyiddin Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di STMIK/AMIK Bandung, Jawa Barat pada 9-11 Desember 2022. Dalam Rakernas ini, para ahli falak dan ahli fikih menegaskan kembali posisi hilal dan awal waktu Subuh. 

Baca Juga

"Memang sebenarnya yang diusung pada Rakernas ini lebih menegaskan kembali reposisi hilal pascamuktamar di Lampung dan waktu Subuh," ujar Ketua LF PBNU KH Sirril Wafa saat dihubungi Republika.co.id, Senin (12/12/2022).

Saat NU melaksanakan Muktamar ke-34 di Lampung, menurut dia, ada beberapa keputusan dari forum Bahtsul Masail yang terkait dengan reposisi hilal. Kemudian, hal itu disosialisasikan kembali ke seluruh PWNU dan PCNU yang hadir dalam Rakernas. 

"Yakni pertama, menegaskan kembali kalau posisi hilal di bawah ufuk pada saat ijtima. Artinya, pada tengah hari ijtima, itu ketika Maghrib itu posisi hilal di bawah ufuk, maka tidak ada instruksi rukyah dari LF PBNU atau Kemenag," ucap dia. 

Kedua, menurut dia, kalau posisi hilal setelah Ijtima pada saat Maghrib sudah terlalu tinggi, yang sekiranya kalau diikmalkan (digenapkan) malam itu tanggal 30, maka bulan berikutnya nantinya hanya berumur 28 hari. 

"Maka, malam itu meskipun tidak ada hasil rukyah, maka tetap diisbatkan. Nah, itu adalah hasil yang diputuskan pada saat Bahtsul Masail di Lampung,"  kata Kiai Sirril.  

Lalu berapa ukuran elongasinya? 

Saat Muktamar di Lampung, menurut Kiai Sirril, forum Bahtsul Masail menyerahkan masalah ini kepada Lembaga Falakiyah PBNU. Setelah dilakukan studi dengan simulasi 1.000 tahun ke depan, akhirnya dalam Rakernas ini LF PBNU menetapkan angka yang paling aman adalah elongasi 9,9 derajat. 

"Jadi kalau elongasi pada saat Maghrib, setelah Ijtima itu elongasinya nilainya 9,9 derajat, maka itu sudah dijadikan sebagai kriteria baru namanya Qath'iy Rukyah Nahdlatul Ulama (QRNU)," jelas Kiai Sirril.

Saat kriteria tersebut tercapai, maka memiliki konsekuensi tidak memberlakukan istikmal (nafyul ikmal). Artinya, ketika hilal tidak terlihat, tidak digenapkan menjadi 30 hari melainkan tetap 29 hari dan esoknya sudah masuk bulan baru.

Selain menyepakati pemberlakuan kriteria QRNU berupa elongasi minimal 9,9 derajat, Rakernas juga menegaskan kembali awal waktu Subuh. Dalam mengkaji ini, LF PBNU sudah membuat tim. Sejak 2019 lalu, menurut Kiai Sirril, sudah banyak data-data yang dikumpulkan. 

"Khususnya saat WFH kita zooming waktu itu, kita membuat kegiatan yang sangat intensif tentang kajian waktu subuh, bukan hanya dari segi Falakiyah saja, tapi juga dari Fiqhiyyah," kata Kiai Sirril.

Akhirnya, dalam Rakernas ini LF PBNU menetapkan dan menegaskan kembali bahwa waktu Subuh dimulai ketika matahari berada di ketinggian -20 derajat. Kriteria -20 derajat untuk waktu Subuh ini didasarkan pada kajian fikih dan ilmu falak yang kuat dengan uji pengamatan di seluruh Indonesia.

"Hasil yang ditemukan adalah memang angka pasnya itu 19 koma sekian. Artinya, Subuh itu ketika matahari di bawah ufuk itu angkanya 19 koma sekian. Maka dibulatkan menjadi -20 derajat," jelas Kiai Sirril.

Dia menambahkan, LF PBNU mengambil data analisisnya itu dari beberapa jalur. Menurut dia, jalur yang diambil ini kalau dari fiqhiyyah sesuai dengan riwayat hadits yang ada, kemudian memperhatikan pendapat para ulama.  

"Ini ada tiga pendapat, pendapat jumhur ulama, pendapat Al-Ghazali, dan ketiga pendapat lainnya yang dinilai kurang dipilih," ujar Kiai Sirril.

Menurut dia, LF PBNU mengambil pendapat jumhur ulama yang menyatakan waktu Subuh itu ketika masih gelap. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Aisyah.  “Dari Aisyah ra. bahwasanya Rasulullah saw. melaksanakan shalat Shubuh di waktu yang masih gelap, sehingga wanita-wanita yang beriman berlalu pergi tidak ada yang dapat mengenalinya, atau sebagian mereka tidak bisa mengetahui sebagian yang lain.” (HR Al-Bukhari)

"Kita mengambil jalur yang dari Jumhur, kemudian dilakukan peneletian di berbagai tempat, di Jawa maupun di Luar Jawa, dan segera dilakukan olah citra. Kurva-kurvanya itu menunjukkan posisi matahari di bawah ufuk, menjelang -20. Jadi kemudian dibulatkan -20," jelas Kiai Sirril.

"Jadi ini sebenarnya sudah dihasilkan melalui penelitian yg intensif dan juga kajian fiqhiyyah," ujarnya.

 
Berita Terpopuler