Muqtada Al-Sadr, Ulama Syiah Berpengaruh di Irak Ajak Dunia Lawan Komunitas LGBTQ

Kampanye anti-LGBTQ al-Sadr muncul di tengah ajang Piala Dunia

AP/Greg Baker
Ulama Syiah berpengaruh di Irak Muqtada al-Sadr, mengajak dunia melawan kampanye komunitas LGBTQ
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD – Seorang ulama syiah Irak yang berpengaruh, Muqtada al-Sadr meluncurkan kampanye anti-LGBTQ. Dia menyerukan kepada seluruh masyarakat di seluruh dunia untuk bersatu memerangi komunitas LGBTQ.

Baca Juga

"Saya menyerukan kepada pria dan wanita beriman (untuk) bersatu di seluruh dunia untuk memerangi (komunitas LGBTQ), bukan dengan kekerasan, pembunuhan atau ancaman, tetapi dengan pendidikan dan kesadaran, dengan logika dan metode etis," ujar al-Sadr, dilaporkan Alarabiya, Ahad (4/12/2022).

Seruan pemimpin agama tersebut telah memicu ketakutan di komunitas LGBTQ, mengingat pengikut al-Sadr memiliki sejarah kekerasan. 

Al-Sadr mengumumkan pengunduran dirinya dari politik pada Agustus di tengah kebuntuan atas pembentukan pemerintahan. 

Pengunduran diri al-Sadr membuat ratusan loyalisnya marah dan menyerbu gedung-gedung pemerintah di ibu kota, sehingga memicu bentrokan yang menewaskan sedikitnya 30 orang. 

Pada Jumat (2/12/2022), setelah sesi sholat Ashar, ribuan pengikut al-Sadr berbaris di luar masjid di seluruh negeri untuk menandatangani janji kapanye melawan homoseksualitas atau LGBTQ dengan cara etis, damai, dan religius. Mereka juga menuntut penghapusan hukum homoseksualitas.

Irak tidak memiliki undang-undang yang secara eksplisit mengkriminalisasi homoseksualitas. Namun Iran memiliki undang-undang yang melarang "tindakan tidak sopan". 

Baca juga: Pernah Benci Islam hingga Pukul Seorang Muslim, Mualaf Eduardo Akhirnya Bersyahadat 

Human Rights Watch menggambarkan, ketentuan samar dalam undang-undang itu dapat digunakan untuk menargetkan minoritas seksual dan gender.

Kampanye anti-LGBTQ yang digaungkan al-Sadr muncul di tengah ajang Piala Dunia di Qatar yang telah menarik perhatian internasional terhadap hak-hak LGBTQ.

Hubungan seksual sesama jenis di Qatar adalah ilegal. Beberapa penonton dilarang membawa atribut dengan warna pelangi ke stadion, yang merupakan simbol hak LGBTQ. 

Di Kota Kufa ratusan orang berkumpul  untuk menandatangani janji kampanye anti-LGBTQ pada Jumat (2/12/2022). Imam masjid setempat, Kazem al-Husseini membantah bahwa kampanye tersebut dipicu Piala Dunia.  

“Ada ketakutan bahwa Barat menekan rezim Arab dan Islam untuk melegitimasi pernikahan sesama jenis dalam konstitusi dan undang-undang sehingga mereka mencoba menormalkan penyimpangan ini,” kata al-Husseini.

Seorang jurnalis Irak yang telah menulis tentang isu-isu LGBTQ, Sanar Hasan, mencatat bahwa al-Sadr sebelumnya menyalahkan pandemi Covid-19 dan cacar monyet terkait homoseksualitas.  

Dia menyatakan, al-Sadr mencoba untuk kembali mendapatkan dukungan dari jalanan Irak dengan menggunakan isu sosial, setelah kegagalannya membentuk pemerintahan.

Sebuah laporan Human Rights Watch yang dirilis awal tahun ini menuduh kelompok-kelompok bersenjata di Irak menculik, memperkosa, menyiksa, dan membunuh orang-orang lesbian, gay, biseksual, dan transgender tanpa mendapat hukuman. Menurut Human Rights Watch, pemerintah Irak, telah gagal meminta pertanggungjawaban para pelaku.

Laporan yang dirilis organisasi yang berbasis di New York, yang bekerja sama dengan kelompok hak asasi Irak IraQueer, menuduh polisi dan pasukan keamanan Irak sering terlibat dalam memperparah kekerasan anti-LGBTQ. Mereka menangkap individu karena penampilan yang tidak sesuai.

“Serangan terhadap orang-orang LGBT di Irak telah lama menjadi taktik politik. Pidato publik seperti al-Sadr telah merusak hak-hak LGBT dan memicu kekerasan terhadap LGBT yang sudah menghadapi pembunuhan, penculikan, penyiksaan, dan kekerasan seksual oleh kelompok bersenjata tanpa hukuman," ujar seorang peneliti hak-hak LGBTQ, Rasha Younes.

Seorang mahasiswa di Najaf yang diidentifikasi sebagai queer dan berbicara dengan syarat anonim, mengatakan kaum LGBTQ sering dilecehkan di jalan karena mengenakan pakaian dengan warna dan gaya yang tidak sesuai atau sesuai dengan norma konservatif lokal. Dia mengatakan, pidato al-Sadr membuat mereka lebih takut.

 

“Saya berpikir bahwa saya akan menunggu sampai saya lulus dari universitas dan kemudian pergi ke Eropa dengan visa belajar, tetapi sekarang saya berpikir untuk mengambil tindakan pencegahan jika terjadi keadaan darurat jadi saya melarikan diri ke tempat aman terdekat," ujar mahasiswa itu.    

 
Berita Terpopuler