Muslim Rohingya, Terjebak Antara Junta Militer Myanmar dan Tentara Arakan

Muslim Rohingya mengalami penderitaan dan penindasan selama puluhan tahun.

ANTARA FOTO/Rahmad
Sejumlah etnis Rohingya berjalan menunju tempat istirahat setelah dievakuasi warga di Desa Bluka Teubai, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, Aceh, Rabu (16/11/2022). Sebanyak 119 imigran etnis Rohingya, terdiri dari 61 orang laki-laki, 37 orang perempuan, dan 22 anak-anak terdampar di pesisir laut Dewantara pukul 05.00 WIB pada Rabu (16/11/) dini hari, pasca satu hari sebelumnya sebanyak 110 orang etnis Rohingya terdampar di pesisir Krueng Mane Aceh Utara, Aceh. Muslim Rohingya, Terjebak Antara Junta Militer Myanmar dan Tentara Arakan
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Muslim Rohingya di Myanmar mengalami penderitaan dan penindasan selama puluhan tahun. Kini, aktivis lokal Arakan menyebut mereka masih harus mengalami permasalahan karena terjebak di antara dua tembakan, dari junta militer negara yang represif dan Tentara Arakan Budha yang memberontak.

Baca Juga

PBB dan organisasi hak asasi manusia internasional lainnya menyebut kekerasan terhadap Rohingya di negara itu sebagai "pembersihan etnis" atau "genosida". Mereka juga mengatakan kelompok Muslim tersebut sebagai minoritas yang paling teraniaya di dunia.

Perwakilan dari Aktivis Arakan, Mohammed Rafik dan Nay San Lwin, membagikan informasi tentang pelanggaran hak yang dihadapi Muslim Rohingya sejak kudeta militer Februari 2021. Mereka menyebut apa yang telah dilakukan terhadap masyarakat Arakan bukanlah hal baru.

“Selain pelanggaran hak asasi manusia, banyak kampanye militer dilakukan untuk menghilangkan dan membuat Muslim Arakan tidak memiliki kewarganegaraan di negara mereka sendiri dan di negara tetangga, di mana mereka menemukan tempat berlindung," ucap Rafik dikutip di Anadolu Agency, Selasa (29/11/2022).

Menyebut Muslim Rohingya dengan predikat 'paling teraniaya' tidak menyelesaikan masalah. Rafik pun menyebut PBB telah gagal dalam menangani masalah masyarakat Arakan.

“Dengan pengecualian beberapa 'kekhawatiran' yang sampai ke telinga tuli dari para penindas di Myanmar, keadilan belum tercapai untuk komunitas ini,” lanjutnya.

Ia menyampaikan, sekitar 300 ribu Muslim Rohingya dideportasi ke Bangladesh dengan Operasi Raja Naga (Nagamin) pada 1978. Sementara pada 1982, undang-undang kewarganegaraan disahkan dan kewarganegaraan Muslim Rohingya dicabut dalam semalam.

Tidak hanya itu, hak-hak dasar seperti layanan kesehatan, pendidikan dan hak atas properti turut dicabut. Muslim Rohingya juga dibiarkan rentan terhadap penyiksaan dan pelecehan.

 

Jenderal Than Shwe juga disebut memaksa lebih dari 200 ribu Rohingya, termasuk Rafik dan keluarganya, untuk meninggalkan negara itu dengan Operasi Clean and Beautiful Nation pada 1991-1992. Rafik menggarisbawahi Presiden Thein Sein, yang menjabat dari 2011 hingga 2016 setelah pemilihan yang diadakan oleh tentara, juga menggusur 120 ribu Muslim Rohingya dengan kebijakan sistematis.

“Sekitar 100 ribu dari mereka tinggal di kamp-kamp pengungsi internal. Hak-hak Muslim Arakan, yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih dari kemerdekaan pada 1948 hingga 2015, dicabut seluruhnya,” kata dia.

Antara 2016 dan 2017, ia menyebut dua operasi genosida besar kembali dilakukan. Karena dua operasi ini, 75 persen populasi Arakan (negara bagian Rakhine) mengungsi dan menjadi pencari suaka di Bangladesh.

Lalu yang terbaru pada November 2022, tentara menyatakan desa-desa Arakan yang kosong milik pasukan perbatasan. Rohingya, yang pernah menjadi warga negara Myanmar yang setara, sekarang dicabut kewarganegaraannya, rumah mereka dan hak asasi manusia.

Ia lantas menyebut Muslim Rohingya masih merupakan komunitas Muslim terbesar di Myanmar dan satu-satunya yang telah dicabut kewarganegaraannya. Salah satu kebijakan pemerintah berturut-turut sejak 1962 adalah menolak memberikan kewarganegaraan kepada Muslim Rohingya.

“Muslim lain yang tinggal di berbagai bagian Myanmar memiliki kewarganegaraan dan hak asasi manusia. Mereka juga menjadi sasaran karena kampanye kebencian yang disebarkan oleh biksu Buddha ekstremis di awal tahun 2000-an, tetapi kewarganegaraan mereka tidak pernah dicabut," ujar Rafik.

Selama bentrokan antara Tentara Buddha Arakan dan pasukan pemerintah, desa Arakan di negara bagian Rakhine telah menjadi medan perang. Sebagian besar desa Muslim Rohingya telah dikosongkan, sementara mereka yang semula masih tinggal di desa-desa yang kini menjadi medan pertempuran juga terpaksa mengungsi.

 

Tentara Arakan, yang merupakan kelompok militan Buddha, saat ini menguasai sebagian besar negara bagian Arakan dan sering bentrok dengan tentara Myanmar. Tentara disebut telah melakukan kekejaman terhadap Muslim di wilayah tersebut sejak didirikan pada 2009.

“Muslim Rohingya terpaksa melarikan diri dari desa dan rumah mereka untuk menyelamatkan orang yang mereka cintai dalam perang antara tentara Myanmar dan Tentara Budha Rohingya,” katanya.

Aktivis tersebut juga menekankan Tentara Arakan dengan cepat merebut provinsi tersebut dan mendeklarasikan badan legislatif, yudikatif dan administrasinya sendiri. Mereka mulai mengumpulkan pajak dari Muslim Arakan, yang juga harus membayar pajak kepada pemerintah yang dikendalikan militer. Hal ini menunjukkan ada pajak berganda untuk masyarakat Arakan.

Menambahkan cerita dari Rafik, Nay San Lwin juga mengatakan rezim junta Myanmar melanggar putusan Mahkamah Internasional di Den Haag. Menyusul keputusan ini, pemerintah memang berhenti menghukum Muslim Rohingya yang melarikan diri, tetapi junta mulai menghukum orang-orang Muslim ini setelah kudeta militer.

"Hukuman penjara yang dimulai dengan enam bulan ditingkatkan menjadi dua tahun dan kemudian menjadi lima tahun. Jadi, efek dari kudeta militer itu adalah penindasan yang lebih besar terhadap warga Arakan,” kritiknya.

Tentara juga disebut melakukan kejahatan genosida dan bertujuan menghancurkan semua Muslim Rohingya. Otoritas yang ada saat ini berbicara tentang membawa Muslim Rohingya kembali ke negara itu, tetapi tentara telah menciptakan lingkungan yang tidak aman.

Pada 1 Februari 2021, pemerintahan Aung San Suu Kyi digulingkan dalam kudeta militer setelah kemenangan partai Liga Nasional untuk Demokrasi dalam pemilihan nasional pada November sebelumnya. Kudeta itu disambut dengan kerusuhan sipil yang meluas, karena orang-orang mengecam pemecatannya dan pemerintahan militer.

 

Junta menekan protes dengan keras, dengan peringatan PBB bahwa negara itu telah jatuh ke dalam perang saudara. Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok pemantau lokal, pasukan junta sejak itu telah membunuh lebih dari 1.500 orang dalam tindakan keras terhadap perbedaan pendapat.

 
Berita Terpopuler