Jokowi Dinilai Melantik Hakim Mahkamah Konstitusi yang 'Inkonstitusional'

Pencopotan Aswanto oleh DPR lalu diganti oleh Guntur Hamzah dinilai inkonstitusional.

ANTARA/Muhammad Adimaja
Petugas keamanan berjalan di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (3/10/2022). DPR melalui rapat paripurna memutuskan mencopot Hakim Konstitusi Aswanto karena karena menganulir undang-undang produk DPR di Mahkamah Konstitusi, dan menunjuk Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi yang berasal dari DPR.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Rizky Suryarandika

Baca Juga

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu (23/11/2022) resmi melantik Sekretaris Jenderal MK, Muhammad Guntur Hamzah menjadi Hakim Konstitusi di Istana Negara, Jakarta. Pelantikan ini dilakukan berdasarkan Keputusan Presiden No 114/P Tahun 2022 tentang pemberhentian dan pengangkatan Hakim Konstitusi yang diajukan oleh DPR.

Seusai dilantik, Guntur meminta doa agar bisa menjalankan tugas-tugasnya. Penunjukan Guntur Hamzah untuk menggantikan Aswanto oleh DPR ini sebelumnya menuai kritikan dari berbagai kalangan.

"Saya justru mohon doanya saja, mohon doanya teman-teman semua, media para teman-teman jurnalis, mohon doakan semoga saya bisa menjalankan tugas ini dengan sebaik-baiknya," kata Guntur.

Guntur juga mengaku belum mendapatkan informasi terkait adanya Hakim Konstitusi yang akan mundur pascapelantikannya itu. "Saya belum tahu, belum dapat informasi menyangkut itu," kata dia.

Setelah dilantik di Istana Negara, Guntur akan langsung mengikuti persidangan di Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman berharap, Guntur Hamzah bisa melanjutkan kerja Aswanto sebelumnya.

"Tentu saja diharapkan dengan adanya personel baru hakim baru bisa paling tidak meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Prof Aswanto selaku Hakim Konstitusi yang digantikan oleh beliau," kata dia.

Saat ditanya soal pelantikan Guntur yang kontroversial tersebut, Anwar enggan memberikan tanggapannya. Menurut dia, hakim hanya berbicara melalui putusan-putusannya.

"Saya selaku hakim ya tidak boleh mengomentari apa yang terjadi, hakim hanya berbicara melalui putusannya," lanjutnya.

Seperti diketahui, DPR lewat Rapat Paripurna DPR RI pada 29 September lalu, menyetujui pencopotan Aswanto sebagai Hakim Konstitusi yang berasal dari usulan DPR. Padahal, jabatan Aswanto baru akan berakhir pada 2029.

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto mengatakan, Aswanto dicopot karena kerap menganulir undang-undang yang disahkan oleh DPR. Politisi PDIP itu menilai Aswanto tidak menepati komitmennya dengan DPR. 

"Tentu mengecewakan dong. Ya, gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia? Dia wakilnya dari DPR, kan gitu toh,” kata Bambang, Jumat (30/9/2022).

“Kalau kamu usulkan seseorang untuk jadi direksi di perusahaanmu, kamu sebagai owner, itu mewakili owner kemudian kebijakanmu nggak sesuai direksi, owner, ya, gimana. Gitu toh. Kan kita dibikin susah,” kata Bambang, dengan mengumpamakan MK seperti perusahaan swasta.

Merespon pencopotan Aswanto, sembilan mantan hakim MK pun pernah kompak menyatakan pencopotan itu. Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, menyampaikan, pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto melanggar UUD 1945.

Menurut Jimly, DPR tidak punya kewenangan mencopot hakim konstitusi yang sedang menjabat. Ia menjelaskan, UUD 1945 mengatur bahwa DPR hanya bisa mengajukan hakim konstitusi baru. UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada DPR untuk mencopot seorang hakim konstitusi yang sedang menjabat.

"Jadi kesimpulan kami pertama, ini (pencopotan Aswanto oleh DPR) jelas melanggar UUD 1945," kata Jimly.

Selain itu, keputusan DPR itu juga melanggar Undang-Undang (UU) MK, tepatnya Pasal 23 ayat 4. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Adapun ketika DPR melakukan pencopotan, ujar Jimly, MK belum menyerahkan surat permohonan pemberhentian Aswanto kepada Presiden.

“Jadi kalau tidak ada surat dari MK, hakim konstitusi tidak bisa diberhentikan,” kata Jimly menegaskan.

 

 

In Picture: Jokowi Tinjau Lokasi Gempa Cianjur

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meninjau para korban gempa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Selasa (22/11/2022). - (EPA-EFE/Laily Rachev)

Dinilai inkonstitusional

Koalisi Masyarakat Sipil Penyelamat Kemerdekaan Peradilan mengkritik pelantikan Sekjen MK Guntur Hamzah sebagai Hakim Konstitusi meenggantikan Aswanto. Koalisi memandang pelantikan itu sudah melanggar konstitusi. 

Koalisi menegaskan pemberhentian Aswanto tergolong inkonstitusional karena tak terdapat satu pun ketentuan yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk memberhentikan Hakim Konstitusi. Bahkan, pemberhentian di tengah jalan Hakim Konstitusi sebenarnya tidak dibenarkan tanpa ada pemenuhan syarat-syarat yang diatur dan dijelaskan dalam UU MK. 

"Jadi, berpijak pada fakta itu, maka semakin jelas bahwa DPR dan Presiden sengaja untuk melupakan aturan-aturan tersebut untuk memuluskan niat jahat mengintervensi MK," kata peneliti ICW sekaligus anggota Koalisi, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Rabu.

Koalisi menekankan regulasi tidak memberikan keleluasaan DPR untuk menggunakan logika 'ownership' dalam hubungannya dengan MK. Sehingga, DPR tidak dapat mengganti Hakim Konstitusi sebelum masa jabatannya berakhir, walaupun hakim tersebut merupakan usulan DPR. 

"Bila dipaksakan, tindakan DPR yang sewenang-wenang tersebut akan berdampak pada prinsip imparsialitas dan kemandirian MK," ujar Kurnia. 

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas sekaligus anggota Koalisi, Feri Amsari menyinggung penggantian Aswanto akan berujung pada melemahnya komitmen Indonesia terhadap konsep negara hukum. Ia meyakini proses pemberhentian Aswanto pantas dinyatakan sebagai pelanggaran konstitusi.

Feri juga menyayangkan MK secara kelembagaan membiarkan terjadinya keserampangan ini. Padahal, hakim-hakim MK maupun Sekjen MK merupakan negarawan dan ahli hukum tata negara yang memahami urgensi imparsialitas MK. Hal ini diperparah Guntur Hamzah yang tidak terlihat menolak usulan DPR.

"Seharusnya MK bersikap tegas menentang keputusan serampangan DPR dan Presiden, mengingat nilai konstitusi serta masa depan MK sebagai lembaga negara sedang dipertaruhkan, di sini menjadi amat dibutuhkan progresivitas MK dalam menjalankan perannya selaku guardian of the constitution," ucap Feri.  

Selain itu, Koalisi menyinggung perlu bersuaranya Ketua MK Anwar Usman atas hal ini guna menentang keputusan DPR dan Presiden. Sikap ini, menurut Koalisi penting agar kekhawatiran terkait pernikahan Anwar Usman dengan adik Presiden Jokowi yang menghadirkan conflict of interest dapat terbantahkan. 

"Jika tidak ada penyikapan sampai nanti pelantikan Guntur, maka indikasi conflict of interest antara MK dengan Presiden semakin kental terlihat oleh masyarakat," tegas Feri. 

 

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menjelaskan, Presiden tidak bisa mengubah keputusan yang sudah ditetapkan oleh lembaga negara, dalam hal ini DPR, terkait pelantikan Guntur Hamzah.

"Jadi pertama ya dalam sistem ketatanegaraan kita ini kan ada lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan Presiden tidak bisa mengubah keputusan yang sudah ditetapkan lembaga negara yang lain dalam hal ini adalah DPR," ujar Pratikno di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu.

Selain itu, di dalam Undang-Undang MK ada kewajiban administratif dari Presiden untuk menindaklanjuti keputusan DPR ke dalam Keppres.

"Jadi itu adalah kewajiban administratif yang harus dilakukan oleh Presiden," kata dia.

Atas dasar itu, lanjut Pratikno, Presiden menerbitkan Keppres No 114 Tahun 2022 beberapa waktu lalu. Namun, karena kesibukan Presiden untuk menghadiri serangkaian KTT pada awal November, maka pelantikan Guntur Hamzah baru dilaksanakan pada hari ini.

"Jadi Presiden tidak bisa mengubah keputusan yang telah ditetapkan oleh DPR, dalam hal ini adalah pengusulan penggantian hakim MK," ujarnya.

 

Tujuh Hakim Agung Baru di Mahkamah Agung - (Infografis Republika.co.id)

 

 
Berita Terpopuler