Karena Emas di Papua: Kenangan Indah Novel Tahun 1947 yang Tak Kunjung Terwujud

Papua yang indah sudah di tulis dalam novel di Indonesia tahun 1947

network /Muhammad Subarkah
.
Rep: Muhammad Subarkah Red: Partner

Novel Karena Emas di Pulau Papua, penerbit Djambatan Jakarta, 1947.

Novel 'Karena Emas Di Pulau Papua' menemani masa kecil indah saya. Buku ini karya penulis Belanda yang diterbitkan Penerbit Djambatan Jakarta 1947. Beberapa tahun lalu, novel ini saya temukan lagi di sebuah toko buku di Kuala Lumpur. Dan ini punya seseorang yang baik hati menyerahkannya. Orangnya cantik lagi ha ha ha.

Buku ini bererita tentang kisah orang Belanda yang bekerja di Kalimantan dan anaknya yang sekolah di Bandung yang berpetualangan di Papua. Tujuan utama adalah mencari emas dan menjadi bahan tambang lainnya. Mereka membawa orang Dayak yang kuat untuk menjaganya selama mengembara melawati lembah, hutan, rawa, dan gunung di negeri Papua itu. Setingnya adalah masa sebelum kemerdekaan Indonesia.

Kisah buku ini berkelok-kelok indah menghayutkan. Ada cerita soal dukun Papua, suasana pedalaman, menangkap burung Balam tanpa suara, Mumi yang diasapkan, Pegunungan bersalju, suasana perang suku, panah beracun, hingga ditemukan berbagai batuan tambang.

Novel 'Karena Emas Di Pulau Papua' menemani masa kecil indah saya. Buku ini karya penulis Belanda yang diterbitkan Penerbit Djambatan Jakarta 1947. Beberapa tahun lalu, novel ini saya temukan lagi di sebuah toko buku di Kuala Lumpur. Dan ini punya seseorang yang baik hati menyerahkannya. Orangnya cantik lagi ha ha ha.

Buku ini bererita tentang kisah orang Belanda yang bekerja di Kalimantan dan anaknya yang sekolah di Bandung yang berpetualangan di Papua. Tujuan utama adalah mencari emas dan menjadi bahan tambang lainnya. Mereka membawa orang Dayak yang kuat untuk menjaganya selama mengembara melawati lembah, hutan, rawa, dan gunung di negeri Papua itu. Setingnya adalah masa sebelum kemerdekaan Indonesia.

Kisah buku ini berkelok-kelok indah menghayutkan. Ada cerita soal dukun Papua, suasana pedalaman, menangkap burung Balam tanpa suara, Mumi yang diasapkan, Pegunungan bersalju, suasana perang suku, panah beracun, hingga ditemukan berbagai batuan tambang.

Keterangan Foto:Novel Karena Emas Di Pulau PapuaTentu saja karena setingnya soal petualangan orang Belanda, kesan 'supremasi kulit putih' terlihat kentara. Dan ini menjadi bumbu karena ekspedisi yang dikisahkan tersebut juga bercerita mengenai pembebasan anak perempuan berkulit putih yang bernama Anie yang hidup bersama penduduk asli setelah rumah orang tuanya di jarah. Heroik sekali memang ceritanya, ala kisah petualangan Karl May tentang perjumpaan dan konflik Cowboy (peternak sapi) dengan para penduduk benua Amerika yang berkulit kemerahan.


Namun, imbas dari membaca kembali buku ini saya jadi teringat sahabat saya yang kini tinggal tanah yang tengah dilanda rusuh akibat soal ras itu. Di sana ada sahabat, Frans Maniagasi (Si penggemar nasi pecel pinggir selokan Mataram kala kuliah di Yogyakarta). Dan juga ipar wartawan top 'Kaka' Wolaz Krenak, Dulu sih tinggal di kampung Cigombong, dekat Jayapura. Kaka ini teramat baik hati dan Jenaka. Isteri saya kagum sekali padanya.''Kaka Wolaz yang sangat pintar, periang, dan menyenangkan,'' kata isteriku ketika kami bertemu di Terminal Blok M Jakarta.

Dan ini terbukti ketika Kaka Wolaz kemudian terbukti punya 'hubungan persahabatan spesial' dengan Presiden Megawati. Di Istana Negara dia selalu memanggil Presiden Megawati dengan sebutan 'Kaka Presiden'. Dan ibu Megawati selalu berpaling dan menjawab setiap ada lengkingan suara Wolaz memanggilnya. Ibu Megawati pun hampir selalu mengajak bicara dengan Kaka Wolaz ketika bertemu meski hanya sejenak. Itu yang membuat iri wartawan lain, karena khusus hanya Wolaz yang diperhatikan beliau dengan begitu rupa diantara sekian banyak wartawan yang bertugas di Istana Negara.

''Ah saya nggak ada hebatnya. Saya cuma beda dengan kalian. Ini mungkin yang menarik ibu Megawati. Saya kriting dan hitam to,'' kata Wolaz setiap kali ditanya mengapa ibu Megawati akrab dengan dirinya.''Ingat kalau orang berambut lurus dan berkulit tak sepekat saya itu jadi wartawan itu banyak sekali. Tapi kalau kayak saya kan jarang sekali,'' ujar Wolaz sambil tertawa terkekeh-kekeh.


Dan kehebetan Wolaz tak hanya sebatas itu. Pada suatu kunjungan Presiden Nelson Mandela di Istana Negara, Wolaz dengan gagah berani mengangkat tangan di kala rekan wartawan lain ragu bertanya. Tak cukup angkat tangan dan bertanya, dengan bahasa yang teratur dia mengenalkan asal usulnya dari Papua. ''Saya seperti bapak berkulit hitam dan keriting,'' katanya dalam bahasa Inggris yang lancar. Nelson pun tertawa, dan Wolaz tentu membalasnya dengan tawa yang bahagia.

Nah, sekarang 'Kaka' Wolaz bermukim di Manokwari. Ketika situasi rusuh kemarin saya menelpon dia. Dia terkesan santai saja.''Kerusuhan sudah ditangani. Orang Jakarta jangan khawatir. Semua tokoh adat dan agama sudah turun. Cuma suasana masih mencekam karena warga belum berani ke luar rumah. Jalanan masih ditutup aparat keamanan,'' kata Wolaz Senin siang kemarin. Mendengar ini saya pun lega. Ketenangan dan keberanian Wolaz inilah yang telah membuatnya sempat terpilih menjadi Ketua Majelis Rakyat Papua. Wolaz membuktikan diri sebaga juru bicara atau diplomat ulung.

Dan khusus Untuk Kaka Frans Manaigasi saya masih menyimpan tanya: Masihkah 'ipar' ingat ketika kita berhari-hari menginap di hotel yang indah di pinggir pantai pantai Biak. Pantai dengan pasir putih dan hutan serta pepohonan nyiur melambai-lambai membuat saya betah tidur semalaman di tepinya. Kita turun dari pesawat dam menginjakan kaki di bandara peninggalan jendral Mc Arthur yang legendaris. Run way bandara itu terlihat kokoh sekali karena terhampar di atas batuan karang.

Saya juga jadi teringat kepada 'maha guru politik' abangda Simon Patrice Morin yang katanya asal Pulau Serui (pulau yang diseberang Biak). Dia bercerita begini:''Bung kalau air laut lagi surut, kami bisa jalan kaki menyeberangi laut ke Serui dari Biak,'' kata Om Simon sembari menunjuk lokasi selat yang terlihat keputihan dari kejauhan.

Pendek kata, apakah masih ada keindagan Papua yang saya bayangkan melalui novel tahun 1947 itu? Bagaimana nasibnya setelah dipecah dalam banyak provinsi baru?

 
Berita Terpopuler