Persamaan Islam dan Kristen Memandang Penyimpangan Homoseksual 

Doktrin Islam dan Kristen menyatakan homoseksual adalah menyimpang

EPA
Ilustrasi komunitas LGBT. Doktrin Islam dan Kristen menyatakan homoseksual adalah menyimpang
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Masyarakat Barat pra-Kristen berbeda-beda dalam menetapkan, apakah orientasi seksual non-hetero bisa diterima atau tidak. 

Baca Juga

Ada bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa masyarakat Yunani yang dianggap sebagai moyang peradaban Barat menerima penyimpangan ini. 

Bahkan, istilah lesbian, misalnya, konon di ambil dari nama pulau Lesbos, sebuah pu lau yang pada masa Yunani kuno, masyarakatnya perempuannya mempraktikkan hubungan seksual sejenis. 

Namun, ketika Kekristenan mendominasi seluruh aspek kehidupan masyarakat Barat, maka selaras dengan ajaran Kristen, satu-satunya orientasi yang diterima hanyalah heteroseksual. 

Ketika terjadi pertentangan antara otoritas Gereja Katolik dan Raja Henry VIII, raja Inggris ini mengintegrasikan larangan homoseksual ke dalam hukum sekuler untuk menandingi kekuasaan Paus. Maka homoseksual pun berubah menjadi pelanggaran hukum dan penyimpangan sosial. 

Gelombang revolusi sains mendorong para peneliti untuk mengamati homoseksual dari kacamata ilmu pengetahuan, dalam hal ini psikologi. Penelitan-penelitan itu bermula pada abad ke-19, sebagai upaya untuk mencari penjelasan ilmiah yang lepas dari kontrol agama atas setiap fenomena. 

Pada titik inilah unsur moral tidak lagi dikaitkan dengan orientasi seksual. Ia dilihat murni sebagai fenomena psikologis manusia. 

Proses di atas dapat dikatakan sebagai representasi dari gelombang besar sekularisasi yang menyapu masyarakat Barat dan dunia setelah era pencerahan. Salah satu karakter dari sekularisasi tersebut adalah deconsecration of values, yakni perelatifan nilai-nilai mengikuti karakter evolusioner manusia (al-Attas, 1993). 

Dieliminasinya unsur metafisika, atau lebih jelasnya kehendak Tuhan, dari diskursus moral dan nilai membuat basis moral menjadi relatif. 

Namun, sesungguhnya hal ini bukan berarti terjadi subjektivitas moral, sebab dalam diskursus dominan, tetap ada basis yang dianggap objektif dan harus diterima bersama. 

Standar itu adalah diri manusia sendiri. Di dalam kasus pelecehan seksual RS oleh oknum medis beberapa waktu lalu, misalnya, mereka yang berdiri di atas posisi moral atau nilai sekuler ini menganggap RS jahat dan amoral karena dia telah menginvasi kedaulatan tubuh para korban. 

Persoalan consent yang begitu sentral dalam diskursus kelompok Feminis atau kaum sekuler pada umum nya berakar dari sini (Whisnant, 2017). Dapat dikatakan bahwa dalam pandangan ini, baik dan buruk itu ada untuk melayani manusia, bukan untuk menaati Tuhan. Dari teosentris menuju antroposentris.

Pergeseran nilai dan moralitas dari teosentris menuju antroposentris belum begitu terasa di Tanah Air. Itulah mengapa, di dalam masyarakat yang religius seperti Indonesia, pandangan penerimaan pada orientasi seksual apa pun, meski pun mungkin sedang bertumbuh, masih minoritas. 

Pandangan ini pernah juga dominan di Amerika Serikat, tapi dalam jangka waktu hanya beberapa dekade, terjadi perubahan besar. Dalam survei Gollup, pada 1986 pendukung pernikahan homoseks di Amerika Serikat hanya 32 persen, jumlah ini meningkat signifikan menjadi 64 persen pada 2010. 

Baca juga: Mualaf David Iwanto, Masuk Islam Berkat Ceramah-Ceramah Zakir Naik tentang Agama 

John McGowan (2007) mengaitkan kebangkitan nilai-nilai liberal dengan perubahan besar persepsi masyarakat Amerika terhadap homoseksualitas. Salah satu nilai liberal yang dimaksud adalah pengeliminasian pertimbangan metafisis jika berbicara tentang baik dan buruk. 

Semuanya dikembalikan kepada hak-hak individu, selama ia tidak mengganggu orang lain maka ia bebas melakukan apa saja. Tentu ini sangat bertentangan dengan prinsip moral kaum beragama, di mana prinsipnya adalah selama ia tidak menerobos aturan-aturan Tuhan, maka ia bebas melakukan apa saja.

Dengan demikian, yang berkepentingan dengan isu penyimpangan orientasi seksual ini bukan hanya umat Islam. Ini adalah isu lintas iman yang sesungguhnya menarik perhatian dan menjadi concern para pemeluk agama.

Sebagaimana tercantum di judul tulisan ini, isu penyimpangan orientasi seksual sudah selayaknya menjadi kalimah sawa', yang perlu ada kesesuaian visi dan kesepaduan aksi dari orang-orang beragama.  

 

Khususnya, antara kaum Muslim dan mereka yang mengimani Kekristenan. Persoalan ini sudah begitu gamblang di dalam teks suci kedua agama ini. Penyimpangan orientasi seksual dianggap sebagai sesuatu yang dibenci Tuhan. 

Oleh karena itu, mereka yang menggeser basis moral dari teosentris ke antroposentris, untuk mencari legitimasi moral sesungguhnya sedang menyisihkan Tuhan dari sentralitas pandangan dunia umat manusia. 

Dari perspektif Islam, ini tentu adalah pengkhianatan besar kepada ketauhidan. Dus, hal ini jelas berada di bawah payung besar kalimah sawa' yang disebutkan di dalam QS Ali Imran ayat 64, yakni "Tidak menyembah selain kepada Allah SWT dan tidak menyekutukannya dengan apa pun". 

Menurut Quraisy Shihab, hal ini termasuk "Tidak tunduk dan taat kepada pihak lain demi menghalalkan atau mengharamkan sesuatu dengan meninggalkan hukum Allah yang telah ditetapkan."  

Kesatuan visi terkait penyimpangan seksual antara umat Islam dan umat Kris ten (dan Yahudi) sangat mungkin diwujudkan. Dalam Islam, jelas bahwa ada pembedaan antara orientasi dan tindakan seksual non-hetero. 

Salah satu prinsip penting hukum Islam adalah menghukumi yang zahir, maka liwath dan sihaq yang dibahas di dalam bab-bab fikih adalah perbuatan seksual sejenis sehingga dosa terjadi, dan hukuman bisa dijatuhkan, bukan ketika muncul dorongan seksual sejenis dalam jiwa manusia, tapi ketika dorongan itu kemudian diikuti dan berbuah perbuatan. 

Namun ini tidak berarti bahwa dorongan seksual sejenis boleh dibiarkan begitu saja. Ia jelas-jelas merupakan bagian dari kecenderungan fujur di dalam jiwa manusia yang harus dilawan dengan memperkuat takwa. 

Konsekuensinya, umat Islam harus menerima saudara-saudaranya yang secara jujur mengaku memiliki orientasi ini, membantu mereka melawan dorongan tersebut dengan mengembangkan support group dan metode konseling yang tepat. 

Visi seperti ini sejajar dengan sikap Gereja Katolik Roma, misalnya, yang menganggap inklinasi homoseksual bukanlah pada dirinya sendiri sebuah dosa, melainkan yang bersangkutan harus melawannya. Hal ini disebutkan di dalam Surat Vatikan terkait homoseksualitas yang dikeluarkan pada 1986.

Kesatuan visi ini harus berlanjut menjadi kesepaduan aksi. Pada level yang praktis, salah satu hal yang mendesak menjadi agenda bersama umat beragama adalah pengembangan kajian kejiwaan dan seksualitas yang tidak sekuler secara epistemologis. 

Baca juga: Dulu Anggap Islam Agama Alien, Ini yang Yakinkan Mualaf Chris Skellorn Malah Bersyahadat 

Psikologi modern karena infilterasi pandangan dunia sekuler, telah mendeklasifikasikan homoseksualitas dari daftar gangguan mental. Oleh karena itu, tentu penelitian tidak lagi diarahkan pada pengembangan metode konseling untuk mengubah orientasi seksual. 

Bahkan reparative therapy dipandang sebagai sesuatu yang negatif. Maka itu, ilmuwan-ilmuwan dari kedua rumpun keimanan ini perlu membentuk komunitas epistemik sendiri yang mengembangkan kajian psikologi, psikiatri, dan seksualitas secara umum yang mengakui ketuhanan di dalam basis filsafat keilmuannya. Inilah, menurut hemat kami, manifestasi penting dari kalimah sawa' di dalam persoalan penyimpangan orientasi seksual.

*Naskah cuplikan artikel karya Ayub, Pengurus Yayasan Bentala Tamanddun Nusantara, tayang di Harian Republika    

 
Berita Terpopuler