Ketangguhan Pertanian Indonesia Menghadapi Krisis Global

Dunia mengalami krisis ekonomi, krisis energi, krisis pangan dan krisis keuangan.

dok pribadi
Abiyadun, Humas Kementerian Pertanian
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abiyadun, Humas Kementerian Pertanian

Pandemi Covid-19 telah membuat ekonomi di semua negara terseok-seok. Pascapandemi Covid-19 hingga saat ini dan ke depannya, semua negara berharap bisa bangkit untuk segera melakukan pemulihan ekonomi. Namun harapan ini sangat berat diwujudkan karena dunia saat ini sedang tidak baik alias bersoal, bahkan tahun 2023 diprediksi dunia mengalami resesi ekonomi.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva, Rabu (13/7/2022) dalam sebuah postingan blog menjelang pertemuan menteri keuangan dunia dan gubernur bank sentral di G20, Bali mengatakan prospek ekonomi global “Dark significant” bahkan dapat memburuk lebih lanjut. Menurut Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, kondisi ini mengakibatkan segalanya tak bisa diprediksi (unpredictable), bahkan berbagai teori yang ada tak mampu mengungkapnya.

Mengapa demikian? Karena alam tidak seperti sebelumnya, sangat tak bersahabat. Usai dunia dilanda Covid-19, kini dilanda climate change ekstrim. Kondisi ini tak bisa dikendalikan bahkan teknologi artificial intelligence sebagai teknologi yang sangat mutahir pun tak mampu mengantisipasinya dengan baik.

Presiden Jokowi baru-baru ini membeberkan dampak buruk climate change ini telah dirasakan di beberapa negara, terdapat 300 juta penduduk berada pada situasi kekurangan pangan akut dan kelaparan. Jika tidak ada solusi untuk mengatasi hal tersebut, Jokowi meramalkan jumlah orang yang terdampak bisa bertambah mencapai 800 juta orang.

Selain cuaca ektrim, tantangan global yang menyulitkan perekonomian suatu negara saat ini adalah perang Rusia dan Ukraina serta melambungnya inflasi yang mengancam kelaparan dan kemiskinan meluas. Karena itu adanya tantangan global ini membuat dunia mengalami krisis ekonomi, krisis energi, krisis pangan dan krisis keuangan, sehingga dunia diprediksi mengalami resesi di tahun 2023.

Mampukah Indonesia
Indonesia sebagai negeri Gemah Ripah Loh Jinawi, yakni memiliki tanah yang subur dan beragam pangan lokal apakah mampu menjalani kondisi sulit di atas? Ini adalah pertanyaan sederhana tapi faktanya memang diharapkan agar Indonesia dan masyarakat tidak ikut mengalami kegelapan akibat ancaman krisis global.

Untuk mengukur kemampuan Indonesia, tentunya kita harus merujuk pada data dan pengalaman ketika Indonesia bisa tangguh di masa pandemi Covid-19. Berkaca dari kondisi ini, dalam kurun waktu 2,5 tahun terakhir ini, Indonesia salah satu negara yang tangguh menghadapi dampak Covid-19. Mengapa bisa terjadi? Ini karena memiliki sektor pertanian yang tangguh, menjadi bantalan pertumbuhan ekonomi di saat sektor tak berdaya akibat dihantam Covid-19.

BPS mencatatkan, produksi beras domestik selama kurun waktu 2019-2021 mampu memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat, bahkan mengalami surplus, yaitu 54,42 hingga 54,65 juta ton gabah kering giling. Surplus ini merupakan kondisi yang stabil dan pada periode ini Indonesia mampu menghasilkan stok beras 10,2 juta ton dan juga selama 3 tahun tidak impor beras medium (konsumsi). Pada periode ini pun diikuti fluktuasi harga beras medium di tingkat konsumen yang relatif kecil, berkisar antara Rp11.575/kg hingga 11.875/kg dengan koefisien variasi kurang dari 1 persen.

Pencapaian di masa pandemi corona ini tidaklah mudah. Sebab terjadi penurunan luas panen dan pasokan input produksi yang bersoal. Namun dengan terobosan peningkatan produktivitas, stok beras justru pengalami peningkatan bahkan surplus.

Produktivitas padi per hektar, pada tahun 2020 dan 2021 masing-masing sebesar 0,29% dan 1,9%. Tak ayal, BPS pun memperkirakan produksi beras sampai Oktober 2022 mencapai 28,70 juta ton dan surplus 3,44 juta ton.

Selanjutnya, sektor pertanian menjadi penyelamat ekonomi nasional pada tahun 2020. Walaupun di tahun tersebut Indonesia mengalami resesi ekonomi, tetapi resisinya tidak lebih dalam karena diselamatkan pertumbuhan sektor pertanian.

Melansir data BPS, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor pertanian tahun 2020 dan 2021 masing-masing sebesar 1,75% dan 1,90%. Sementara itu, pertumbuhan PDB nasional pada dua tahun tersebut masing-masing sebesar -2,07% dan 3,69%.

Kinerja sektor pertanian pada masa pandemi Covid-19 juga ditunjukkan dari kinerja ekspor pertanian yang meningkat sebesar 15,79% pada tahun 2020 dengan nilai Rp 451,77 trilun dibandingkan tahun 2019. Pada 2021 nilai ekspor pertanian Rp 625,04 trilun, sehingga tumbuh 38,68% dibanding tahun 2020.

Setidaknya ketangguhan pertanian Indonesia dapat disimpulkan dari data dan fakta di atas. Presisi capaian ini pun didukung oleh hasil riset Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI). Lembaga pangan dunia ini pada bulan Agustus 2022, memberikan penghargaan kepada pemerintah Indonesia karena memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras pada periode 2019-2021.

Tindakan Afirmatif
Presiden Jokowi baru-baru ini di berbagai kesempatan selalu mengingatkan ancaman krisis global tahun ini dan 2023 lebih mengerikan. Pada 2023 adalah tahun kegelapan sehingga dunia diprediksi mengalami resesi ekonomi, tak terkecuali Indonesia.

Kalau begitu, pengelolaan dan pengembangan pangan perlu menghadirkan strategi cerdas yang maju, mandiri dan modern. Sebab, handarnya krisis global tidak hanya memorak-porandakan alam, namun juga menggerus kualitas kesejahteraan manusia.

Lalu bagaimana strategi menghadapinya? Penulis sangat sepakat dengan terobosan yang didengungkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Strategi menghadapi krisis global yaitu mitigasi, adaptif dan penguatan jejaring kerja (network) dan kolaborasi.

Pertama, langkah mitigasi merupakan sebuah fondasi ketangguhan sektor pertanian sebagai bantalan perekonomian. Indonesia memiliki beragam pangan lokal yang tentu dalam kondisi eksisting, jika mampu diselamatkan, minimal mengurangi dampak kerugianya akibat cuaca ekstrim, maka stok pangan nasional dalam kondisi yang tangguh. Tak hanya mencukupi kebutuhan dalam negeri, bahkan jika ada lebihnya perlu dilakukan ekspor untuk menguatkan pertumbuhan ekonomi makro.

Kedua, mendorong tumbuhnya peningkatan kemampuan adaptasi, tentu tidak hanya elemen perintah tapi juga masyarakat. Peningkatan adaptasi artinya penerapan pertanian tidak lagi menggunakan cara-cara lama, tapi harus menghadirkan inovasi dan teknologi baru yang lebih maju sehingga mampu mengurai tantangan.

Teknologi pertanian harus dihadirkan secara komprehensif dari hulu hingga hilir. Ancaman cuaca ekstrim global tidak hanya untuk menyelamatkan aktivitas hulu, namun juga harus memajukan kegiatan hilirisasi hingga mampu melakukan ekspor pangan. Dengan begitu, pondasi ekonomi suatu negara di tengah terpaan badai besar itu tetap tangguh karena ekonomi di tingkat masyarakat bergairah, apalagi ditopang adanya ekspor.

Ketiga, penguatan jejaring kerja (network) dengan pemangku kepentingan. Agenda ini sangat penting sebab pembangunan pertanian tidak bisa dikerjakan sendiri-sendiri apalagi untuk menghadapi tantangan global yang sangat mengerikan.

Karena itu, penulis menilai apa yang dilakukan Kementerian Pertanian di bawah komando Syahrul Yasin Limpo saat ini sangat tepat. Di mana, melibatkan semua komponen antara lain pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota), swasta, BUMN, UMKM, pelaku usaha pangan dan pertanian lainnya bahkan lembaga pembiayaan dan lembaga pendidikan, baik secara vertikal maupun horizontal.

Agenda implementasi dari membangun network dan kolaborasi ini adalah mendorong terbuka dan terciptanya bisnis pertanian, sehingga Badan Usaha Pertanian harus dihadirkan di semua elemen. Kemudian mendukung wirausaha muda di bidang pertanian, melakukan pendampingan bagi usaha-usaha pertanian untuk ekspor dan usaha menengah dan besar, melakukan pelatihan-pelatihan dan bantuan untuk pengembangan usaha-usaha pertanian digital dan melindungi produk dan usaha pertanian nasional serta membentuk Badan Usaha Pertanian Daerah dan Badan Usaha Pertanian Kampus.

Penulis optimistis, beberapa langkah-langkah sederhana ini mampu menguatkan sektor pertanian menghadapi tantangan global. Kita harus optimistis juga bahwa apa yang dikhawatirkan terjadi pada dunia akibat krisis global, belum tentu menimpa Indonesia. Apalagi kita benar-benar menyiapkan diri dengan berbagai inovasi dan teknologi modern yang adaptif, menguatkan kolabarasi dan kelembagaan berbasis kearifan lokal, dan memperkuat kegiatan industrialisasi dari pedesaan hingga skala besar.

 
Berita Terpopuler