Krisis Energi, Toko Roti Keluarga Schlechtrimen Tutup Setelah 90 Tahun Beroperasi

Toko roti Schlechtrimen tidak mampu lagi menanggung kenaikan harga energi

AP Photo/Vahid Salemi
Toko roti menjadi salah satu korban krisis energi Eropa yang didorong oleh pengurangan gas alam Rusia.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, Selama 90 tahun, keluarga Engelbert Schlechtrimen telah menggeluti bisnis roti buatan rumahan. Mereka memproduksi roti gulung gandum, roti gandum hitam, dan kue cokelat di Kota Cologne, Jerman.

Namun pada Oktober mendatang, keluarga Schlechtrimen akan mematikan oven mereka untuk selamanya. Mereka tidak mampu lagi menanggung kenaikan harga energi akibat perang Rusia di Ukraina.

Keluarga Schlechtrimen mendirikan toko roti di Cologne sebelum Perang Dunia II. Engelbert (58 tahun) mengambil alih bisnis toko roti dari ayahnya pada 28 tahun lalu. Engelbert kemudian mengubahnya toko rotinya menjadi toko organik yang menggunakan resep tradisional. Dia sama sekali tidak menggunakan bahan kimia tambahan dalam produk rotinya.

Namun, inovasi ini tidak dapat menyelamatkan bisnis toko roti keluarga tersebut setelah beroperasi selama hampir satu abad. Toko roti Schlechtrimen menjadi salah satu  korban krisis energi Eropa yang didorong oleh pengurangan gas alam Rusia.

Baca juga : Tim PPHAM Respons Nama-Nama Kontroversial di dalam Tim

Jerman menggunakan gas alam untuk memanaskan rumah, menghasilkan listrik, dan pembangkit listrik. Kenaikan harga energi dan listrik telah menekan bisnis yang sudah susah payah bertahan dengan kenaikan biaya lain karena kenaikan inflasi.

"Kami telah menghadapi beberapa krisis pada saat yang berbarengan, yaitu lowongan pekerjaan, kekurangan sumber daya manusia, penutupan karena pandemi virus corona, kenaikan biaya bahan baku yang ekstrem, dan sekarang ledakan biaya energi," kata Engelbert.

Engelbert mengatakan, dia sudah menghadapi biaya bahan baku yang naik 50 persen. Sekarang dia juga harus menghadapi krisis energi. Dia berusaha menghemat energi sebisa mungkin. Tetapi penghematan ini tidak cukup untuk menutupi biaya pengeluaran yang membengkak.

"Sejauh ini, kami melihat peningkatan (harga energi) sekitar 70 persen, karena kami memanaskan tungku dengan minyak diesel. Kenaikan harga empat kali lipat harus diwaspadai," kata Engelbert.

Baca juga : Presiden Jokowi Sebut Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tertinggi di G20

Engelbert juga menaikkan harga produknya untuk menutupi lonjakan biaya pengeluaran. Tetapi pelanggan justru semakin sepi dan beralih ke penjual makanan siap saji yang diproduksi secara industri dengan harga lebih murah. Di tengah krisis ekonomi dan meningkatnya inflasi masyarakat memilih untuk menahan pengeluaran. Akibatnya toki roti keluarga Engelbert tidak sanggup mempertahankan bisnisnya.

Schlechtrimen bukan satu-satunya produsen roti yang berjuang mempertahankan bisnisnya di Jerman. Hampir semua toko roti kecil milik keluarga di seluruh Jerman mengalami kesulitan menutupi ongkos pengeluaran mereka.

“Banyak bisnis di perdagangan roti khawatir tentang bagaimana mereka akan melewati beberapa bulan ke depan. Mereka menghadapi tsunami kenaikan biaya," kata Direktur Pelaksana Konfederasi Roti Jerman, Friedemann Berg.

"Kami ingin melihat bailout keuangan untuk toko roti kami, dengan pemerintah federal memberikan bantuan untuk membantu bisnis kami secara efektif, cepat dan tidak birokratis," kata Berg.

Pemerintah Jerman bulan ini mengumumkan investasi tambahan sebesar 65 miliar euro, sebagai langkah  untuk mengurangi dampak inflasi dan harga energi yang tinggi bagi konsumen.
Tetapi bagi orang-orang seperti Schlechtrimen, bantuan itu mungkin datang terlambat.

Baca juga : Jokowi: Pemerintah akan Pertahankan Defisit APBN di Bawah 3 Persen

Negara dengan ekonomi terbesar Eropa, Jerman, mengirimkan sinyal resesi. Survei kepercayaan bisnis IFO menunjukkan penurunan ekonomi Jerman selama empat bulan berturut-turut karena inflasi tinggi yang dipicu oleh kenaikan harga gas alam.

Indeks pertumbuhan ekonomi yang disusun oleh institut IFO yang berbasis di Munich turun menjadi 84,3 pada September dari 88,5 pada Agustus. Indeks tersebut turun ke level terendah sejak krisis keuangan global lebih dari satu dekade lalu.

"Harga energi dan komoditas yang tinggi membebani permintaan dan memberi tekanan pada margin keuntungan. Perusahaan tidak lagi dapat membebankan biaya yang lebih tinggi kepada konsumen seperti di bulan-bulan pertama tahun ini," kata Kepala Ekonom Zona Euro di Bank ING, Carsten Brzeski.

Buku pesanan perusahaan menyusut, sementara bisnis yang menggunakan banyak energi, seperti toko roti, menghadapi biaya yang tinggi karena kenaikan harga gas. Tingginya harga energi membuat para pedagang pesimis terhadap kelangsungan bisnis mereka.


Jerman sangat bergantung pada gas alam murah dari Rusia. Moskow telah mengurangi pasokan gas alam sejak sebelum invasi ke Ukraina pada 24 Februari.  Gas digunakan untuk menghangatkan rumah, menjalankan pabrik, dan menghasilkan listrik.

Para pejabat Eropa mengatakan, pemotongan pasokan gas tersebut merupakan upaya untuk menekan pemerintah agar tidak memberikan dukungan kuat mereka untuk Ukraina. Pemotongan pasokan gas juga merupakan tindakan balasan atas sanksi ekonomi yang dijatuhkan Barat terhadap Rusia.

Para pejabat telah menyiapkan pasokan baru gas cair yang lebih mahal. Pasokan baru ini diangkut dengan sejumlah kapal dari Amerika Serikat (AS). Namun para ahli mengatakan, Eropa masih perlu melakukan upaya serius menjelang musim dingin untuk menghemat gas.
Kanselir Jerman Olaf Scholz berada di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar selama akhir pekan dan menandatangani beberapa kesepakatan energi.

Perusahaan utilitas Jerman RWE pada Ahad (25/9/2022) mengumumkan, mereka akan menerima pengiriman pertama gas alam cair dari Perusahaan Minyak Nasional Abu Dhabi tahun ini.  Dalam kesepakatan terpisah, RWE akan bermitra dengan Masdar yang berbasis di UEA untuk mengeksplorasi proyek energi angin lepas pantai lebih lanjut.

Krisis energi juga dirasakan oleh Slovakia. Perdana Menteri Slovakia, Eduard Heger, mengatakan, melonjaknya biaya listrik telah membuat ekonomi negara itu berisiko runtuh.

Dalam wawancara dengan Financial Times, Heger mengatakan bahwa kenaikan harga energi setelah invasi Rusia ke Ukraina akan "membunuh" ekonomi negara itu, kecuali jika mereka menerima bantuan senilai miliaran euro dukungan dari Komisi Uni Eropa. Heger juga memperingatkan, dia terpaksa akan mengambil langkah untuk menasionalisasi pasokan listrik negara itu, jika bantuan tidak datang.

 
Berita Terpopuler