Cegah Bayi Stunting, Jam Berapa Ibu Hamil Harus Berjemur?

Ibu hamil juga perlu beri jeda waktu makan usai minum teh, susu, cokelat, dan kopi.

Pixabay
Ibu hamil sedang berjemur (ilustrasi). Ibu hamil perlu berjemur 15 menit setiap harinya untuk mengoptimalkan pengaktifan vitamin D dalam tubuh agar bayi di dalam kandungannya tidak mengalami tengkes (stunting).
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli gizi Aanisah Ardiyanti menyarankan ibu hamil rutin berjemur untuk mengoptimalkan pengaktifan vitamin D dalam tubuh agar bayi di dalam kandungannya tidak mengalami tengkes (stunting). Dia merekomendasikan berjemur mulai pukul 09.00 pagi hari.

"Cukup 15 menit per hari," kata Aanisah di stan pameran inovasi Balai Kota Jakarta, Selasa (27/9/2022).

Menurut Aanisah yang merupakan ahli gizi dari Puskesmas Kebayoran Baru itu, banyak ibu hamil di Tanah Air yang kekurangan asupan vitamin D. Selain soal paparan sinar matahari, ia juga mendorong agar ibu hamil memahami jeda waktu makan setelah meminum teh, susu, cokelat, dan kopi.

Meski tidak dilarang, lanjut Aanisah, perlu ada jeda waktu satu hingga dua jam setelah makan baru dianjurkan meminum di antara empat jenis minuman itu. Apa sebab?

"Bagi ibu hamil, empat minuman itu ada proses interaksi zat gizi yang bisa menghambat penyerapan zat besi, terutama yang ada di protein hewani, kacang-kacangan dan sayur warna hijau," ucapnya.

Adapun asupan makanan yang disarankan kepada ibu hamil untuk mencegah tengkes di antaranya protein hewani, asam folat, zat besi, vitamin B12, dan vitamin C. Stunting merupakan kondisi balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan usia.

Baca Juga

Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Kementerian Kesehatan mencatat tengkes memiliki efek jangka pendek hingga jangka panjang, salah satunya peningkatan angka kematian dan kesakitan.

Selain itu, tengkes juga dapat berefek pada perkembangan anak yang buruk dan gangguan kapasitas belajar, peningkatan risiko infeksi serta penyakit tidak menular. Sementara itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 di DKI Jakarta, persentase balita sangat pendek mencapai 6,1 persen.

Capaian itu lebih baik dibandingkan pada 2017 mencapai 7,2 persen. Secara nasional, balita sangat pendek pada 2018 persentasenya mencapai 11,5 persen dan Provinsi Bali menduduki posisi pertama untuk capaian lebih baik dengan persentase balita sangat pendek mencapai 5,6 persen.

 
Berita Terpopuler