Ini Karakter Pemimpin yang Disukai Pemilih Muda di Pilpres 2024

Menurut survei CSIS, sebanyak 60 persen pemilih pada Pemilu 2024 adalah pemilih muda.

republika/mgrol100
Ilustrasi Pemilu
Rep: Nawir Arsyad Akbar, Febryan A Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS) melalui survei terbarunya menyatakan, pemilihan umum (Pemilu) 2024 akan memasuki era baru. Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes mengatakan, era baru itu ditandai oleh banyaknya pemilih muda di rentang usia 17-39 tahun yang diprediksi mencapai 60 persen.

Baca Juga

"Indonesia masuki era baru dalam Pemilu 2024 yang ditandai dengan karakter pemilih muda yang dinamis, adaptif, dan perhatian pada isu-isu domestik dan global, seperti kesehatan, lingkungan, ketenagakerjaan, demokrasi, dan pemberantasan korupsi," ujar Arya dalam rilis daringnya, Senin (26/9).

Era baru tersebut juga akan menandai perubahan arah kebijakan politik pascapemilu 2024. Dengan pemilih muda yang lebih responsif terhadap berbagai kebijakan pemerintah, seperti di sektor kesehatan, lingkungan, dan ketenagakerjaan.

Hal tersebut akan membuat proses pembuatan kebijakan harus kolaboratif dan mendengarkan aspirasi eksternal. Era baru tersebut juga akan memunculkan animo pemilih muda untuk aktif dalam politik formal, seperti mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif.

"Namun, belum tersedia mekanisme politik di internal partai yang memungkinkan mereka berpartisipasi aktif. Seperti masih rendahnya ketertarikan mereka menjadi kader atau anggota partai," ujar Arya.

Di samping itu, persepsi pemilih muda terhadap kepemimpinan nasional juga mengalami perubahan yang besar dibandingkan dua pemilu sebelumnya. Dalam Pemilu 2024, pemilih muda menyukai pemimpin yang bersih, antikorupsi, inovatif, dan mampu memimpin dalam situasi krisis.

"Ke depan, visi pemimpin 2024 soal isu-isu kesehatan, lingkungan, ketenagakerjaan, demokrasi, dan pemberantasan korupsi akan mempengaruhi arah dukungan atau pilihan anak muda," ujar Arya.

Karakter pemimpin disukai pemilih muda:

Jujur dan tidak korupsi (34,8 persen)

Merakyat dan sederhana (15,9 persen)

Ketegasan atau berwibawa (12,4 persen)

Prestasi atau kinerja saat memimpin (11,6 persen)

Pengalaman memimpin (10,1 persen) 

Kecakapan memimpin (6,7 persen) 

Taat beragama (4,1 persen)

Cerdas atau pintar (3,6 persen)

 

 

 

Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Daniel Johan mengatakan bahwa partainya kini berisikan banyak generasi muda. Kendati demikian, komunikasi partainya akan terus diefektifkan untuk menggaet pemilih muda yang diprediksi sebanyak 60 persen pada Pemilu 2024.

"Hasil survei ini akan menjadi dorongan kami untuk semakin mengefektifkan gaya komunikasi dengan konstituen. Meskipun dari popularitas PKB masih cukup rendah, masih 60 persen dibandingkan PDIP dan Golkar tinggi untuk dikenal oleh kaum muda," ujar Daniel, Senin.

Ia mengatakan, generasi muda di masa depan akan menghadapi tantangan dalam isu ketenagakerjaan. Hal tersebutlah yang harus diantisipasi pula oleh partai politik, mengingat 60 persen pemilih pada 2024 adalah generasi muda.

"Beberapa hal yang penting menyangkut tenaga kerja, bagaimana kita juga partai harus mengantisipasi memikirkan kecenderungan harga pangan, itu menjadi penting," sambungnya.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Puteri Anetta Komarudin mengatakan, bahwa pihaknya juga fokus pada isu-isu strategis yang dikemukakan oleh para pemilih muda. Beberapa di antaranya seperti isu lapangan kerja, demokrasi, kemiskinan, hingga lingkungan.

"Hal-hal yang ingin kita capai tentunya, salah satunya kita ingin Indonesia menjadi negara yang berpendapatan tinggi. Kita keluar dari middle income trap yang sekarang menjadi salah satu fokusnya," ujar Puteri.

"Jadi pembangunan Indonesia yang tidak java sentris, tapi merata sampai dengan ke daerah terpencil dan terluar," sambungnya.

Di samping itu, ia berharap agar Presiden di periode berikutnya dapat memanfaatkan bonus demografi. Jika kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, tentu akan sulit bagi Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan di bidang lapangan kerja, demokrasi, kemiskinan, hingga lingkungan.

 

"Jadi kalau permasalahan lapangan kerja, ekonomi yang produktif, penggunaan anggaran yang tepat sasaran, itu tidak kita selesaikan dan masalah terkait data bantuan sosial yang sekarang banyak menimbulkan dinamika itu tidak terselesaikan, 10 tahun lagi kita akan mengalami kesulitan untuk mengambil potensi maksimum dari bonus demografi ini," ujar anggota Komisi XI DPR  itu.

 
Berita Terpopuler