30 Tahanan Palestina yang Ditahan Israel Gelar Aksi Mogok Makan

30 tahanan politik Palestina di penjara-penjara Israel memulai aksi mogok makan

Al-Markaz Al-Filistini Lil I'lam
Tahanan Palestina akan menggelar mogok makan di penjara-penjara Israel.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Sebanyak 30 tahanan politik Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel telah memulai aksi mogok makan. Langkah ini diambil sebagai protes atas penahanan administratif yang mereka jalani.

Menurut Samidoun, Jaringan Solidaritas Tahanan Palestina, 30 tahanan tersebut merilis pernyataan yang menyatakan bahwa penahanan kolektif mereka dapat mencapai 200 tahun.

“Ratusan tahun, di mana pendudukan (Israel) menghalangi kami untuk memeluk keluarga kami atau melihat anak-anak kami saat mereka lahir atau tumbuh dewasa.  Kami tidak pernah merayakan ulang tahun mereka, kami tidak menemani mereka di hari pertama sekolah,” kata pernyataan bersama tersebut, dilansir Aljazirah, Senin (26/9/2022).

Penahanan administrarif adalah sebuah kebijakan yang menahan seseorang tanpa tuduhan atau pengadilan. Pihak berwenang Israel telah menggunakan prosedur hukum ini selama lebih dari setengah abad. Israel menetapkan penahanan administratif berdasarkan bukti rahasia, dengan tujuan memenjarakan orang tanpa dakwaan atau pengadilan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.

Israel mengizinkan penahanan warga Palestina untuk jangka waktu yang dapat diperbarui, biasanya berkisar antara tiga hingga enam bulan. Pemenjaraan mereka didasarkan pada bukti yang tidak diungkapkan. Bahkan pengacara tahanan dilarang untuk berkunjung. Israel mengklaim kebijakan itu diperlukan untuk alasan keamanan dan memungkinkan pemerintah menahan "tersangka berbahaya" tanpa mengungkapkan informasi intelijen.

Amnesty International telah menggambarkan kebijakan penahanan administratif Israel sebagai praktik yang kejam dan tidak adil. Kebijakan ini membantu mempertahankan sistem apartheid Israel terhadap Palestina.

Saat ini ada lebih dari 743 tahanan Palestina yang dipenjara di bawah perintah penahanan administratif dari total sekitar 4.650 tahanan Palestina di penjara-penjara Israel. Aksi mogok makan tingkat tinggi terakhir dilakukan oleh Khalil Awawdeh. Dia tidak makan selama 172 hari. Awawdeh mengakhiri mogok makan setelah ada perjanjian tertulis yang ditandatangani dengan otoritas Israel untuk menetapkan batas penahanan administratif, dan dia akan dibebaskan pada 2 Oktober.

Menurut Komisi Palestina untuk Tahanan dan Mantan Tahanan, 80 persen tahanan administratif telah menghabiskan waktu cukup lama di tahanan. Pada 21 September, mantan tahanan administratif Hisham Abu Hawash, dibebaskan pada Februari 2022 setelah mogok makan yang panjang. Namun dia kembali dipenjara oleh otoritas Israel.

Tahanan Palestina lainnya yang menjalani penahanan administratif dan melakukan mogok makan, yaitu Ayman al-Tabeesh dan Adel Hreibat, telah dibebaskan. Namun keduanya kembali ditahan.

Para tahanan yang melakukan mogok makan juga termasuk pengacara Prancis-Palestina dan aktivis hak asasi manusia Salah Hammouri, yang menghadapi pencabutan status tempat tinggal permanennya di Yerusalem berdasarkan pelanggaran kesetiaan kepada Negara Israel.

 

Dia pertama kali ditangkap pada 2001 ketika berusia 16 tahun. Pada tahun 2004, Hammouri kembali ditahan dan menghabiskan lima bulan di penjara di bawah penahanan administratif. Penangkapan ketiga Hammouri berlangsung pada 2005, dan dia dipenjara selama tujuh tahun.  Dia telah ditahan secara administratif sejak 7 Maret 2022.

Ketua Komisi Palestina untuk Urusan Tahanan dan Mantan Tahanan, Qadri Abu Baker, mengatakan kepada kantor baru WAFA bahwa, kelompok baru yang terdiri dari 50 tahanan akan bergabung dalam aksi mogok makan pada Kamis (29/9/2022).  Menurut Addameer, otoritas Israel mengeluarkan 5.728 perintah penahanan administratif terhadap warga Palestina di seluruh wilayah Palestina antara 2017-2021. Pada 2021, ada lonjakan 1.695 tahanan, yang terkait dengan kampanye penangkapan massal oleh otoritas Israel selama kekerasan pada Mei dan Juni.

“Selama beberapa dekade, Israel sengaja menggunakan penahanan administratif untuk menahan individu, termasuk tahanan hati nurani yang ditahan semata-mata karena menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi, berkumpul dan berserikat, untuk menghukum mereka karena pandangan dan aktivisme mereka,” kata Amnesty Internasional.

 
Berita Terpopuler