Abu-Abu Frasa 'Tunjangan Profesi Guru' di RUU Sisdiknas

Kalangan guru meminta tunjangan guru dinyatakan secara tegas di RUU Sisdiknas.

Republika/Edwin Dwi Putranto
Guru mengajar (ilustrasi). Kalangan guru saat ini mengkritisi RUU Sisdiknas yang tidak mencantumkan lagi frasa 'tunjangan profesi guru'.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro

Baca Juga

Tunjangan profesi guru menjadi salah satu hal yang menjadi bahan perdebatan dalam Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) menilai, frasa "tunjangan profesi guru" tidak dinyatakan secara tegas dalam revisi UU Sisdiknas.

"PB PGRI meminta agar tunjangan profesi guru tetap diberikan kepada guru dan dinyatakan secara tegas dalam UU Sisdiknas," ujar Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi, melalui keterangannya, Kamis (15/9/2022).

Unifah mengatakan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memang menyatakan secara lisan pemberian tunjangan untuk guru aparatur sipil negara (ASN) akan mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN berupa tunjangan fungsional. Namun, pihaknya menilai ketentuan itu tak tercantum secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas.

"Ketentuan ini tidak tercantum secara eksplisit dalam RUU Sisdiknas. Hanya disampaikan secara lisan. Selain itu mesti disadari, tunjangan profesi berbeda dengan tunjangan fungsional yang melekat dalam jabatan atau kepangkatan seseorang," jelas dia.

Padahal, kata dia, landasan hukum tunjangan profesi guru sebelumnya sangat kuat, yakni Pasal 16 Ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Dalam pasal itu dijelaskan, pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik.

Kemudian pada Pasal 16 Ayat (2) UU itu juga kembali ditegaskan, tunjangan profesi diberikan setara dengan satu kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja dan kualifikasi yang sama.

"Karena tidak dinyatakan secara tertulis, menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru apakah Kemendikbudristek bersungguh-sungguh akan memberikan tunjangan 'fungsional' untuk guru?" kata Unifah.

Unifah menilai, selama ini tidak pernah ada penjelasan dari Kemendikbudristek terkait hal itu, termasuk tidak dinyatakan secara tegas dalam UU sehingga menimbulkan kekhawatiran di kalangan guru. Menurut dia, kekhawatiran itu bisa dipahami karena ketentuan yang sudah tertulis secara tegas dalam UU pun tidak dilaksanakan.

Dia juga menerangkan, PGRI sangat setuju dan berkomitmen untuk mendukung Kemendikbudristek dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru. Karena itu pendidikan profesi guru (PPG) tidak dilakukan dengan metode yang rumit, namun melihat kompetensi dan profesionalisme guru di kelas. Sertifikasi harus merupakan bagian integral dari pengembangan profesi guru.

"Guru harus terus-menerus mendapat pelatihan terstruktur yang diselenggararakan oleh lembaga khusus dan professional. Jadi untuk meningkatkan kesejahteraan guru, sudah selayaknya tunjangan profesi guru tidak dihapuskan. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas guru, sistem pembinaan profesi yang harus diperbaiki," kata dia.

Melalui kedua langkah tersebut, pihaknya berharap akan tercipta guru-guru yang sejahtera dan berkualitas sehingga akan membawa kemajuan bagi Indonesia. Patut diingat oleh pemerintah, kata dia, PGRI akan terus berjuang demi kemaslahatan guru. Sebab PGRI memiliki berbagai argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara historis, filosofis, akademis, dan empiris mengenai urgensi TPG bagi keberlangsungan profesi guru.

Karikatur polemik Sisdiknas - (republika/daan yahya)

 

Perhimpunan dan Pendidikan Guru (P2G) pun mempertanyakan keberadaan pasal yang menyebutkan peningkatan kesejahteraan 1,6 juta guru yang belum sertifikasi di dalam RUU Sisdiknas. P2G ingin agar hal itu disebutkan dalam RUU Sisdiknas secara eksplisit.

"Kami hanya ingin ada payung hukum yang jelas, tertulis secara eksplisit disebutkan dalam RUU Sisdiknas tentang klausul tunjangan profesi, lengkap sebagaimana tertera dalam UU Guru dan Dosen, sebagai dasar dalam membuat kebijakan turunannya nanti," ujar Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, kepada Republika, Selasa (13/9/2022).

Menurut Satriwan, hal itu penting untuk dilakukan demi asas kepastian hukum. Sebab, dasar hukum itu merupakan yang tertulis, bukan hanya sekadar pernyataan belaka. Dia juga mempertanyakan keputusan melimpahkan peningkatan kesejahteraan guru ke UU ASN dan UU Ketenagakerjaan.

"Kenapa tidak diatur sendiri di RUU Sisdiknas agar regulasinya harmonis. Jika menyerahkan ke UU ASN dan UU Ketenagakerjaan atau Cipta Kerja, justru ini bentuk ketidakharmonisan UU dan melahirkan regulasi yang tumpang tindih," kata dia.

Dia mengatakan, cara Mendikbudristek mengatur tata kelola guru swasta di bawah UU Ketenagakerjaan saja sudah keliru. Dia menilai hal itu terkesan pemerintah melakukan pendekatan dengan sangat ekonomis industri. Itu, kata dua, sangat menyalahi filosofi pendidikan dan filosofi guru itu sendiri.

"Sebab hubungan guru dengan yayasan bukan seperti relasi industri seperti halnya buruh dengan perusahaan pemberi kerja, melainkan relasi pedagogis dan budaya. Apalagi keberadaan tayasan itu selama ini diatur berada di bawah naungan UU Yayasan, bukan UU Perseroan Terbatas. Jadi mana mungkin guru dan yayasan tunduk pada UU Ketenagakerjaan yang bukan bagian dari dirinya," terang Satriwan.

Menjawab kritik dari kalangan guru, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, mengatakan, emosi guru dapat dengan sangat mudah terpancing dengan membahas penghapusan tunjangan profesi. Padahal, kata dia, penghapusan frasa itu dalam RUU Sisdiknas diperlukan agar antrean guru yang belum mendapatkan tunjangan dapat terulur.

"Sangat mudah memancing emosi guru dengan headline tunjangan profesi dihapus," ujar Nadiem dalam diskusi yang digelar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang disiarkan secara daring, dikutip Kamis (15/9/2022).

Menurut Nadiem, frasa yang dipersoalkan itulah yang sebenarnya membuat guru-guru yang belum mendapat sertifikasi pendidikan profesi guru (PPG) tidak bisa memperoleh tunjangan. Di RUU Sisdiknas, kata dia, frasa "tunjangan profesi guru" dihilangkan dan diubah dengan pemberian tunjangan mengikuti UU ASN bagi guru ASN dan UU Ketenagakerjaan bagi guru non ASN.

"Jauh lebih mudah kita mengerti kata tunjangan profesi dihilangkan. Padahal itulah yang membuat guru tidak mendapat tunjangan," jelas Nadiem. 

Nadiem menjelaskan, UU Guru dan Dosen yang ada saat ini mengunci tunjangan profesi guru dengan sertifikasi. Sertifikasi itu dikunci dengan PPG. Dalam proses pelaksanaannya, guru harus mengantre PPG begitu panjang untuk dapat lulus hingga bisa memperoleh tunjangan profesi guru.

"Jadi bagi guru-guru yang sedang membela kata tunjangan profesi ketahuilah, kata-kata itulah yang mengunci Anda kenapa Anda tidak bisa mendapat tunjangan sekarang juga," kata dia.

Lebih lanjut Nadiem menyampaikan alasan mengapa terjadi antrean panjang dalam proses PPG. Dia mengatakan, hal itu terjadi karena kapasitas PPG secara nasional hanya sekitar 60-70 ribu dalam saru tahun. Hal itu, kata Nadiem, tidak mencukupi kebutuhan guru baru yang setiap tahun selalu ada.

"Ternyata ada jalannya (untuk meningkatkan kesejahteraan guru tanpa kewajiban sertifikasi), masukkan mereka, selaraskan dengan UU ASN bagi yang ASN. Yang non ASN selaraskan dengan UU ketenagaakerjaan," jelas dia.

 

 

 
Berita Terpopuler