Makna Ash-Shamad, Kata yang Hanya Disebutkan Sekali dalam Alquran

Allah tidak menciptakan makhluk untuk memperkaya-Nya atau memberdayakan-Nya.

Republika/Putra M. Akbar
Bagian kubah dan menara Masjid At-Thohir di kawasan Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Jumat (11/2/2022). Makna Ash-Shamad, Kata yang Hanya Disebutkan Sekali dalam Alquran
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kata Ash-Shamad adalah salah satu nama dan sifat Allah yang Agung. Nama Allah ini hanya disebutkan satu kali dalam Alquran, yakni dalam ayat kedua surat al-Ikhlas.

Baca Juga

اللَّهُ الصَّمَدُ

Pada ayat tersebut, kata ash-shamad memiliki arti "Allah Yang Hidup Sendiri, atau Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, atau satu-satunya tempat meminta segala sesuatu."

Seorang ulama yang juga anggota Persatuan Internasional untuk Cendekiawan Muslim, Al-Ouda, dalam artikel di laman About Islam, menyebutkan bahwa kata ash-Shamad muncul dalam hadits Nabi Muhammad Saw pada beberapa kesempatan, khususnya dalam hadits yang berkaitan dengan nama Allah yang agung.

Buraidah ibn al-Husayb meriwayatkan bahwa Nabi Saw mendengar seorang pria memohon kepada Tuhannya dengan kata-kata berikut:

"Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan menegaskan bahwa Engkau adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Engkau, Yang Esa, Yang Hidup Sendiri (ada dengan sendirinya), yang tidak beranak dan tidak diperanakan, dan yang tidak menyerupai siapa pun dalam hal apapun."

Setelah Nabi Saw mendengar itu, beliau berkata:

"Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, orang ini memohon kepada Allah dengan menyebut nama-Nya yang paling agung, yang jika ada yang berdo'a dengannya, maka do'anya akan diterima, dan jika ada yang meminta dengannya, maka akan dikabulkan." (At-Tirmidzi; Ibnu Majah)

 

Al-Ouda menjelaskan, nama ash-Shamad memiliki banyak aspek makna. Kata ash-Shamad mengacu pada satu-satunya yang merupakan Tuhan, yang memiliki dan mengatur semua urusan, satu-satunya tempat di mana orang-orang datang kepada-Nya untuk memohon atau meminta atas kebutuhan mereka, tetapi pada saat yang sama melengkapi dan mencukupi, diperlukan dan tidak bergantung pada yang lain.

Sahabat Rasulullah Saw, Ibn 'Abbas, mendefinisikan kata ash-Shamad sebagai berikut:

"Seorang pemimpin yang kepemimpinan dan keunggulannya mutlak; seorang yang mulia yang keluhurannya lengkap dan sempurna; seseorang yang perkasa, memiliki kekuatan absolut, tetapi maha tinggi; seseorang yang kaya tanpa batas, mampu memaksakan sekehendak-Nya; dengan penuh pengetahuan dan kebijaksanaan."

Al-Ouda mengatakan, hanya Allah yang memiliki kemuliaan dan kekuasaan penuh, dan atribut dari ash-Shamad itu hanya milik-Nya. Sehingga, tidak ada orang lain yang layak untuk kata ini.

Kata ash-Shamad juga didefinisikan sebagai berikut:

"Satu-satunya yang setiap orang bergantung untuk memenuhi kebutuhan mereka, tetapi yang tidak membutuhkan siapapun dan tidak bergantung pada yang lain."

Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allsh dalam surat al-An'am ayat 14:

"Katakanlah (Muhammad), 'Apakah aku akan menjadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?"

 

Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa Allah menyediakan segala sesuatu untuk makhluk-Nya, tetapi Dia tidak bergantung pada mereka untuk apapun. "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan." (Alquran, 51: 56-57).

Dari ayat tersebut dijelaskan, bahwa Allah tidak menciptakan makhluk untuk memperkaya-Nya atau memberdayakan-Nya. Dia menciptakan kita hanya untuk menyembah-Nya. Selain itu, Allah bebas dari segala kekurangan dan ketergantungan. Dia tidak melahirkan, dan juga tidak diperanakkan.

Apa makna atau manfaat dari mengetahui nama Allah ini?

Al-Ouda mengatakan, ketika manusia percaya dalam hatinya bahwa Tuhan Maha Hidup, tidak membutuhkan siapa pun selain mampu memenuhi kebutuhan semua, menjadi wajar jika manusia berpaling kepada Allah dan menggantungkan harapan hanya kepada-Nya.Ibnu Abbas meriwayatkan:

"Aku bersama Rasulullah suatu hari, ketika dia berkata kepadaku: "Anak muda, aku akan mengajarimu sesuatu: Ingatlah Allah dan Dia akan mengingatmu. Simpan Dia di dalam hatimu dan kamu akan menemukan Dia bersamamu. Jika kamu mempunyai permintaan, mintalah kepada Allah. Jika kamu membutuhkan pertolongan, minta tolonglah kepada Allah.

Ketahuilah, seandainya seluruh manusia bersatu untuk memberi manfaat dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu; dan jika mereka bersatu untuk mencelakakanmu dengan sesuatu, mereka tidak akan dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering" (HR At Turmudzi).

Dengan demikian, kata Al-Ouda, hendaklah kita menghadap Allah dengan segala harapan dan ketakutan kita, dengan keprihatinan duniawi serta aspirasi spiritual kita, dalam segala urusan baik besar maupun kecil.

 

Al-Ouda juga mengingatkan, hendaknya keimanan pada nama-nama dan sifat-sifat Allah tidak boleh direduksi menjadi sekedar hafalan kata-kata, akan tetapi harus menjadi sesuatu yang secara aktif mendorong dan membentuk pendekatan kita terhadap kehidupan.

Dengan demikian, manusia menjadi diberdayakan oleh keimanan dan lebih mandiri dalam pandangannya. Pada saat yang sama, keimanan demikian memberikan semangat pada upaya kita dan memberi kita keberanian dengan keyakinan ketika kita secara aktif berusaya untuk mencapai tujuan kita. Keyakinan itulah yang seharusnya membuat kita lebih produktif serta lebih sabar dalam mewujudkan hal-hal dalam hidup yang ingin dicapai.

Hal itu pula yang seharusnya memudahkan kita untuk mengatasi kesulitan dan mengatasi rintangan yang menghadang. Sehingga, menjauhkan diri dari keputusasaan ketika kita telah berikhtiyar semaksimal mungkin.

Karena itulah, Al-Ouda menekankan manusia hendaknya merenungkan fakta bahwa Allah Maha Hidup. Sementara itu, manusia diberkati dengan akal dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keyakinan dan tindakannya.

Al-Ouda menambahkan, manusia seyogyanya memiliki kesadaran akan Allah. Di samping itu, manusia hendaknya mengetahui kelemahannya dan keterbatasannya sendiri, sehingga ia menyadari betapa kecilnya ia di hadapan luasnya ciptaan Allah dan menyadari kebesaran Allah.

"Ketika kita memiliki kesadaran akan Allah ini, percaya kepada-Nya, dan membaca kitab-kitab-Nya, kita terus mengingat Allah. Ini adalah suatu kehormatan besar yang telah Allah berikan kepada kita," kata Al-Ouda.

 
Berita Terpopuler