Swing Voters di Pemilu 2024 dan Elektabilitas Terkini Parpol-Parpol

Ada partai raihan suaranya stabil, ada partai yang terancam tak lolos ke Senayan.

ANTARA/M Risyal Hidayat
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari (kanan) menerima cenderamata dari Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto saat pendaftaran peserta Pemilu 2024, beberapa waktu lalu. Menurut survei SMRC, PDIP menjadi salah satu partai yang stabil raihan suaranya dalam pemilu. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah, Antara

Baca Juga

Fenomena swing voters atau pemilih yang bisa berpindah dari satu partai ke partai lain masih cukup besar terjadi di Pemilu 2024 mendatang. Pemilih mengambang ini bisa mengubah komposisi dukungan partai-partai politik di Indonesia.

Namun, pakar politik Saiful Mujani menyebut ada dua partai yang memiliki pemilih loyal dan tidak mudah pindah, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat. Sementara lima partai memiliki pemilih dinamis yakni Partai Gerindra, Golkar, PKB, PKS dan Nasdem. Dan dua partai yang terancam kehilangan kesempatan bertahan di Senayan, yakni PAN dan PPP.

"Dari pemilu ke pemilu, partai yang mendapatkan suara terbanyak bisa berganti-ganti secara ekstrem. Ini disebut sebagai fenomena swing voters. Tapi dalam dua pemilu terakhir, komposisi perolehan suara partai relatif stabil. Hanya saja, ada partai yang hilang, juga ada partai yang melemah," kata Saiful Mujani, Kamis (1/9/2022).

Hal ini ia sampaikan dalam program Bedah Politik bertajuk ”Pergeseran Pemilih Partai Menjelang Pemilu 2024” pada Kamis, (1/9/2022). Saiful menjelaskan, PDIP misalnya, naik sekitar 1 persen dibanding Pemilu 2014. Artinya, pasti ada partai yang jadi korban, walaupun itu hanya 1 persen. Bisa dilihat bahwa partai yang cukup besar turun suaranya adalah partai Golkar.

"Bersamaan dengan naiknya PDIP, juga bisa dilihat kenaikan yang cukup signifikan pada partai Gerindra. Dilihat dari total suara, pemilih Gerindra lebih banyak dibanding Golkar, walaupun kursi Golkar di parlemen lebih banyak dari kursi Gerindra, karena nilai suara di basis-basis Golkar lebih murah dibanding Gerindra," paparnya.

Hal yang sama juga ada kenaikan suara pada Nasdem, dari 7 persen menjadi sekitar 9 persen. Pada saat yang sama, ada penurunan cukup tajam pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Artinya, menurut Saiful, ada perubahan-perubahan pemilih. Yang tadinya, misalnya, memilih PPP menjadi tidak memilih partai tersebut, pindah ke partai yang lain.

Untuk melihat partai mana yang memiliki pemilih yang loyal dan tidak, SMRC melakukan survei opini publik secara nasional dengan mengajukan pertanyaan pada para pemilih yang ikut Pemilu 2019: “Kalau bapak atau ibu memilih sekarang, partai mana yang akan dipilih?”

"Hasilnya adalah pemilih PDIP di 2019 yang menyatakan akan kembali memilih PDIP sekarang sebanyak 73,9 persen," katanya.

Apakah artinya pemilih PDIP yang lain tidak loyal? Saiful menyatakan belum tentu karena untuk kasus PDIP, tidak ada angka yang signifikan yang pindah ke partai yang lain. Ditemukan ada 2,7 persen pemilih PDIP yang pindah ke Golkar, tapi menurut Saiful, angka itu tidak signifikan secara statistik.

"Pada kasus pemilih PDIP yang tidak menyatakan akan memilih kembali PDIP ini justru lebih banyak masuk ke kelompok yang belum menentukan pilihan atau wait and see, sekitar 16,7 persen. Dibanding dengan partai yang lain, pemilih PDIP relatif stabil,” kata pendiri SMRC tersebut.

Dalam kondisi ini, kata Saiful, jika PDIP berhasil merebut dan menampung perpindahan pemilih dari partai lain, partai berlambang banteng dengan moncong putih ini memiliki potensi untuk mengalami kenaikan suara. Alasannya adalah karena yang menyatakan akan pindah ke partai yang lain sangat tidak signifikan.

Sementara yang menyatakan tidak tahu atau tidak jawab juga relatif normal atau tidak terlalu besar dibanding dengan partai-partai lain, sekitar 16,7 persen. Kemudian, partai kedua yang memilih pemilih yang relatif solid adalah Partai Demokrat.

"Ada 73,6 persen pemilih Demokrat 2019 yang menyatakan akan kembali memilih Demokrat. Yang belum menentukan pilihan cukup kecil, 7,7 persen," terangnya.

Pada 2004, ketika Partai Demokrat muncul dan mendapatkan suara 7 persen, PDIP mengalami penurunan suara yang cukup tajam menjadi sekitar 18 persen. Artinya ada irisan antara pemilih PDIP dan Demokrat. Selain itu, keluarga tokoh utama kedua partai juga berasal dari wilayah yang sama, Jawa Timur. SBY orang Pacitan dan keluarga Soekarno berasal dari Blitar.

In Picture: Komisi II DPR Gelar RDP Persiapan Pemilu 2024

Ketua KPU Hasyim Asyari memberikan paparan saat mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/8/2022). Rapat tersebut membahas mengenai tindak lanjut pasca terbitnya empat undang-undang tentang pembentukan provinsi di wilayah provinsi Papua/Papua Barat dan implikasinya terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024. Prayogi/Republika - (Prayogi/Republika)

 

 

Selain PDIP dan Demokrat, Saiful Mujani juga menjelaskan ada partai-partai lain mengalami perubahan komposisi suara yang dinamis. Ada 9,6 persen pemilih Gerindra yang pindah ke Golkar pada survei ini. Yang pindah ke PDIP 4,8 persen dan PKS 3,9 persen.

"Sementara yang tetap akan memilih Gerindra sebesar 62,7 persen. Ada 13,5 persen yang belum menjawab. Sedangkan di Golkar, PDIP, dan PKS mengganggu stabilitas suara partai Gerindra," ujarnya.

Mengapa Golkar potensial menarik sebagian suara Gerindra? Saiful menjelaskan,  dalam banyak hal, pemilih kedua partai tersebut beririsan. Prabowo sendiri, awalnya adalah orang Golkar dan pernah maju menjadi bakal calon presiden dari Golkar.

"Dia adalah mantan tokoh Golkar. Jadi logis kalau kadang-kadang pemilihnya ke Gerindra dan kadang-kadang pindah ke Golkar. Mereka (Gerindra dan Golkar) berada di dalam ceruk pemilih yang sama,” kata Saiful. 

Sementara alasan pindah ke PDIP karena Gerindra dan PDIP juga memiliki kemiripan ideologis. Sama-sama partai nasionalis. Dan dalam beberapa hal, Prabowo juga sering meniru sosok Soekarno. Ada simbol-simbol tentang politik kerakyatan dan nasionalisme yang kuat yang ditunjukkan oleh Gerindra.

Hal yang sama terjadi pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Pemilih PKB paling potensial pindah ke PDIP. Dalam survei ini, ada 8,5 persen suara PKB di 2019 yang pindah ke PDIP. Ada 10,4 persen yang belum menentukan pilihan. “PDIP banyak mengambil dan menampung pemilih dari partai-partai lain,” tuturnya.

Saiful melihat perpindahan suara PDIP dan PKB relatif bisa terjadi karena kedua partai ini memiliki basis wilayah yang mirip, keduanya kuat di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Karena itu kalau ada pemilih yang kadang masuk ke PKB dan di lain kesempatan masuk ke PDIP, itu logis.

Kemudian yang mengancam suara partai Nasdem juga adalah PDIP. Survei ini menunjukkan ada 20 persen pemilih Nasdem di 2019 yang sekarang pindah ke PDIP. Sementara, yang belum menjawab sebanyak 14,8 persen. 

“Yang sangat signifikan yang bisa mengancam Nasdem adalah PDIP,” kata Saiful.

Adapun, swing voters PKS lebih banyak pindah ke partai Demokrat, sebesar 10,5 persen. Partai kedua yang bisa menarik pemilih PKS adalah Gerindra (7 persen) dan Golkar (5,2 persen). Hanya saja, masih cukup banyak pemilih PKS yang belum menentukan pilihan, 20,3 persen. Sementara yang stabil akan tetap memilih PKS sekitar 52,5 persen.

Selanjutnya PAN. Yang menarik dari partai ini adalah karena cukup besar pemilihnya pada Pemilu 2019 yang sekarang belum menentukan pilihan atau wait and see, sebesar 31,2 persen. Suara yang stabil PAN sekitar 54,2 persen.

Saiful menganalisis, karena suara PAN pada Pemilu 2019 terakhir sebesar 6,8 persen, yang akan kembali memilih partai ini hanya separuhnya. Besarnya angka swing voters PAN, kata Saiful, lantaran masih menunggu partai baru yang didirikan oleh Amien Rais, Partai Ummat.

“Begitu Pak Amien Rais tidak ada di situ, dan karena mereka loyal pada Pak Amin Rais, mereka akan hijrah juga,” jelas Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta tersebut.

Sementara, PPP memiliki 56,7 persen pemilih pada 2019 yang akan kembali memilih partai belambang Ka'bah itu. Sisanya, 22,5 persen menyatakan memilih Partai Demokrat dan PDIP 8,3 persen. Yang mengkhawatirkan bagi PPP, kata Saiful, adalah karena pemilih PPP yang belum menentukan pilihan atau wait and see cenderung sedikit, 11 persen.

“Ini berbahaya. Kalau tidak ada upaya yang ekstra, mungkin partai yang akan mengikuti Hanura yang tidak lolos, padahal pernah ada di Senayan, adalah PPP,” kata Saiful.

 

 

Tidak hanya SMRC, Poltracking Indonesia juga sudah mengumumkan hasil surveinya. Berdasarkan hasil survei Poltracking, PDIP menempati urutan pertama atau teratas partai yang dipilih responden.

"Pertama, tetap PDI Perjuangan teratas dengan 20,4 persen, jadi melampaui 20 persen, stabil. Perolehan PDIP ini dua kali lipat dari perolehan runner up, yaitu Partai Gerindra nomor dua dengan 10,5 persen," kata Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda AR saat Rilis Survei Nasional Poltracking Indonesia "Proyeksi Peta Koalisi Pilpres 2024", di Jakarta, Rabu (31/8/2022).

Kemudian urutan ketiga Partai Golkar 9,5 Persen, Partai Demokrat naik 8,6 persen, PKB 8,0 persen, Partai Nasdem 6,7 persen, PKS 5,2 persen, PAN 4,1 persen, PPP 3,1 persen, dan Perindo 1, 9 persen. Survei dilakukan pada 1-7 Agustus 2022 dengan metode stratified multistage random sampling.

"Yang saya sebutkan itu adalah 10 partai terbesar di Indonesia saat ini berdasarkan survei bulan Agustus 2022. Urutannya adalah PDI Perjuangan, Partai Gerindra Partai Golkar, Partai Demokrat, PKB, Partai Nasdem, PKS, PAN, PPP, dan Perindo," ujar Hanta.

Merespons hasil survei, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, melalui hasil survei ini elektabilitas PDI Perjuangan masih tinggi dan harus disyukuri.

"Hasil survei ini disyukuri untuk membangun optimisme. Ini menunjukkan apa yang dilakukan partai selama ini diterima masyarakat," kata Hasto.

Namun, PDIP menyikapi setiap hasil survei sebagai suatu instrumen dinamis dalam melakukan sebuah analisis strategis atas persepsi yang muncul dari responden.

"Partai terus bekerja turun ke bawah. Melakukan berbagai konsolidasi. Dan tidak boleh terlena. Demikian yang selalu diamanatkan Ketua Umum Ibu Megawati Soekarnoputri," tutur Hasto.

 

Empat Tantangan Partai Islam - (infografis republika)

 
Berita Terpopuler