Meninjau Ulang Kewajiban Spin-off UUS untuk Kebaikan Industri Syariah

Dilema industri perbankan syariah di Indonesia.

Antara/Syifa Yulinnas
Karyawan Bank Syariah sebuah melayani nasabah. (ilustrasi)
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Dr Hurriyah El Islamy,  Anggota BPKH, Penerima Penghargaan BI Award 2018 sebagai Tokoh Penggiat Ekonomi Syariah, Kelompok Penguatan Sektor Keuangan Syariah, dan Penggiat dan Professional Keuangan Syariah Nasional dan Internasional 

Indonesia kini tengah menghadapi dilema, khususnya dalam menentukan masa depan industri perbankan syariah. Apakah akan tetap memaksa industri perbankan Syariah, khususnya Unit Usaha Syariah (UUS) untuk spin off dari Bank Induknya pada 2023 sesuai UU Perbankan Syariah dengan segala keterbatasan yang ada. Atau mengizinkan UUS tumbuh ke potensi yang sesungguhnya dan mengambil keputusan berdasarkan kondisi bisnis bukan sekedar kebijakan regulasi.

Ibarat game show “Wheel of Fortune”, di mana peserta harus berhati-hati menentukan apakah akan “spin the wheel”atau membeli huruf vokal atau menyelesaikan puzzle. Keputusan untuk ‘spin the wheel’ sangat menentukan apakah peserta dapat melanjutkan permainan atau justru akan terhenti langkahnya bahkan tidak jarang gagal total dan mengalami kebangkrutan. Demikian halnya keputusan untuk spin off UUS atau tidak, akan sangat menentukan masa depan industri perbankan syariah di Indonesia.

Untuk menganalisis dan menentukan pendekatan yang tepat, adil, dan berkesinambungan, kiranya penting untuk memastikan dulu apa sejatinya tujuan dari ide kewajiban spin-off. Apakah untuk mendorong industri berkembang dan mencapai potensi yang diharapkan atau sekedar memaksakan hal tersebut meskipun keadaan dan kondisi yang ada belum mendukung.

Refleksi

Dalam Islam, sekiranya kita menyatakan berencana melakukan sesuatu esok hari, kita dianjurkan untuk menyatakan Insha Allah. Empat belas tahun lalu, ketika Undang-Undang Perbankan Syariah dibuat, diharapkan industri perbankan Syariah yang dilahirkan akan berkembang pesat dalam jangka waktu lima belas tahun. Sehingga dapat mandiri bersanding secara kompetitif dengan industri perbankan konvensional yang sudah sangat berkembang. Harapan tersebut dituangkan dalam ketentuan transisi yang menghendaki unit-unit Syariah di bank konvensional untuk spin offdi tahun 2023. Namun, ketika harapan tidak menjadi kenyataan, apakah masih perlu keinginan tersebut dipaksakan? 

 Memang, pada tahun 2011, Financial Times membuat prediksi, apabila tingkat pertumbuhan industri perbankan Syariah di Indonesia menyamai tingkat pertumbuhan industri perbankan Syariah di Malaysia pada saat itu, maka pada tahun 2023 nilai aset perbankan Syariah di Indonesia akan mencapai hampir US$1,6 triliun. Pada tahun 2014, pihak Otoritas juga menyampaikan aspirasi agar Perbankan Syariah di Indonesia memiliki sekurangnya 15% market share pada tahun 2023. Faktanya, baik prediksi maupun harapan tersebut tidak terpenuhi. Bahkan separuh dari nilai yang diharapkan pun belum tercapai. 

Maka, ketika pangsa pasar masih terlalu kecil, bahkan tidak mencapai 7%, memaksakan industri perbankan Syariah untuk melakukan spin off sama artinya dengan menyapu bersih industri ini dari persaingan. Dengan kondisi pasar, regulasi, dan faktor lainnya yang masih berlaku saat ini, memaksakan UUS untuk berdikari hanya akan mendorong munculnya Bank-Bank Syariah dengan capital base yang terbatas. Akibatnya transaksi-transaksi besar hanya akan menjadi segmen ekslusif bank-bank konvensional semata. Apalagi saat spin off, kenyataannya modal yang disetorkan shareholder tersebut akan tergerus untuk kebutuhan capex dan operasional.

Apabila waktu, fokus dan dana tersedot untuk tujuan tersebut, dalam proses spin off, bagaimana kita bisa mengharapkan perbankan Syariah untuk fokus dalam peningkatan kualitas produk dan jasa agar dapat menjadi lebih menarik. Termasuk dari aspek harga/pricing untuk dapat bersaing dengan industri perbankan konvensional yang menguasai lebih dari 93% pangsa pasar?

Ketika fakta industri perbankan Syariah saat ini tidak sesuai dengan harapan semula saat undang-undang tersebut diperkenalkan, sebaiknya tidak harus terpaku dengan teks undang-undang tersebut. Apalagi tujuan dari ketentuan perundangan tersebut tidak tercapai dan masih jauh dari kenyataan. Karena itu, hal tersebut selayaknya menjadi indikasi agar undang-undang tersebut direvisi. Undang-undang tersebut perlu dikaji kembali dan diperbaiki agar dapat menetapkan peraturan-peraturan yang memfasilitasi terpenuhinya tujuan semula dari adanya UU Perbankan Syariah. Yaitu untuk mengatur dan memfasilitasi pertumbuhan industri perbankan Syariah, agar industri ini dapat lebih kompetitif.

Saat tujuan tersebut belum tercapai, apakah ini adalah waktu yang tepat untuk mengambil risiko, seolah sedang bermain ‘wheel of fortune’ dan memaksa industri untuk melakukan spin off. Sedangkan data dan fakta jelas menunjukkan bahwa apabila hal tersebut kita lakukan, konsekuensinya membuat industri perbankan Syariah semakin tidak berdaya. Selain itu, akan semakin tidak mampu berkompetisi dengan counterpart konvensional yang sedemikian besar bahkan dibandingkan dengan kondisi saat ini?

 

 

 

 

Isu penting

Sejatinya, keputusan apakah perlu melakukan spin off sekarang atau tidak, bukanlah perkara yang seharusnya menjadi isu dan fokus perbankan Syariah saat ini. Karena Indonesia masih belum sepenuhnya keluar dari kondisi pandemi COVID-19. Kondisi geopolitik global juga belum stabil diiringi inflasi dan stagflasi yang menghampiri dan menyelimuti hampir semua sisi dunia.

Hemat penulis, sebaliknya, kita seharusnya fokus kepada apa yang menjadi obyektif dari undang-undang perbankan Syariah, yaitu agar perbankan Syariah Indonesia dapat tumbuh di tingkat nasional hingga hingga memasuki dunia global dan turut berpartisipasi secara aktif di tingkat internasional. 

Perlu diingat, dalam konteks ini hal yang dibicarakan tidak mengenai aspek agama atau untuk mengubah pandangan religi siapa pun. Hal yang yang menjadi perhatian adalah sepenuhnya mengenai industri perbankan di mana industri perbankan Syariah di Indonesia merupakan blue ocean yang ukurannya saat ini masih sangat kecil. Sungguh ironis mengingat negeri ini merupakan negara yang memiliki potensi tertinggi untuk kemajuan ekonomi halal dan perbankan Syariah di dunia. 

 Ini adalah soal  ekonomi, keberlanjutan, dan potensi yang sedemikian besar yang belum dapat diraup Indonesia sekian lama. Dikarenakan kenyataannya industri perbankan Syariah seolah menghadapi tembok yang tidak terlihat (glass ceiling) dan seolah menjadi kutukan permanen di negeri ini. Apabila spin off merupakan jawabannya? Jika ya, seharusnya tembok ini sudah tidak ada saat beberapa bank daerah melakukan spin off dan bahkan beberapa BUS sudah melakukan merger beberapa saat lalu.

Kenyataannya, glass ceiling hanya terlampaui sesaat dan glass ceilingbaru tetap ada meskipun berbagai usaha dalam keterbatasan regulasi dan peraturan sudah dilakukan. Hal tersebut seharusnya membangunkan kita pada kenyataan, spin off atau usaha memperbesar sisi ‘supply’ bukanlah jawaban dan hal tersebut tidak menghilangkan glass ceiling yang industri hadapi sudah lebih dari satu dekade lamanya. 

 Kenyataannya, bahkan saat ini ada dana-dana yang terparkir di perbankan Syariah belum dapat dioptimalkan dikarenakan keterbatasan aktifitas yang diizinkan regulasi. Hal tersebut sewajarnya membuat kita menyadari bahwa sisi ‘demand’ yang perlu dikejar dan sisi demand ini bukan berarti kita dapat menambah jumlah penduduk Indonesia atau meningkatkan segmen khusus yang religi, karena kenyataannya, ketika kita berbicara tentang bisnis, tentang ekonomi, “rupiah sense” (value proposition) lebih dominan berbicara, bukan masalah agama. 

Artinya, produk dan jasa Syariah harus lebih berkualitas, lebih menarik, lebih dapat diakses dan yang paling utama lebih menarik untuk nasabah dari segi harga (pricing). Apabila kita fokus di sisi ini maka menjadi jelas ada beberapa faktor yang menjadi penghambat, yang mempersulit perbankan Syariah untuk menjadi optimal di sisi tersebut termasuk, antara lain, dikarenakan intensitas pasar (market intensity) dan lingkungan yang belum memadai (non-supportive environment).   

Dari segi intensitas pasar (market intensity) di Indonesia, meskipun sudah dimulai sejak lebih dari 14 tahun yang lalu, Industri perbankan Syariah masih terlalu kecil sehingga tidak mempunyai kapasitas kompetisi yang memadai di pasaran Indonesia yang sudah didominan perbankan konvensional. Kondisi pasar untuk industri perbankan Syariah menjadi lebih menantang dengan adanya ketentuan-ketentuan pembatas atau tidak dikenalnya prinsip-prinsip pendukung yang menyebabkan bisnis dan penawaran produk dan jasa Syariah menjadi lebih mahal berbanding pola bisnis konvensional.

Selain itu terdapat ketentuan yang turut mempersulit industri perbankan untuk dapat bersaing di pasaran global. Dikarenakan faktor-faktor tersebut, adalah tidak mungkin bagi industri perbankan Syariah untuk dapat tumbuh pesat dan menjadi kompetitor setara bank-bank konvensional di tanah air tanpa adanya peran serta serta dukungan dari pihak otoritas dan pemerintah yang menumbuhkan pemberdayaan dan kemampuan kompetisi perbankan Syariah NKRI termasuk, perlunya dilakukan perbaikan atas peraturan perundangan terkait. 

 

 

 

Rekomendasi

Terdapat kesenjangan (gap) yang begitu besar antara industri perbankan Syariah dan konvensional. Sementara kondisi tidak memungkinkan terciptanya, dalam waktu singkat, pangsa pasar baru atau pembesaran segmen khusus untuk industri perbankan Syariah.  Maka, pendekatan berbasis ‘spin off’ bukanlah pilihan yang tepat saat ini dengan memperhitungkan seluruh aspek dan faktor yang sudah dibahas sebelumnya. Sisi yang perlu diperbesar adalah sisi permintaan (demand size) dan untuk menciptakan hal tersebut kita perlu memperbesar pangsa pasar untuk industri perbankan Syariah dari total pangsa pasar perbankan yang sudah sedia ada. 

Untuk dapat melakukan hal tersebut, perbankan Syariah harus dapat menawarkan produk dan jasa yang lebih kompetitif dalam segala aspek termasuk kualitas (termasuk nilai penawaran, fitur, ketersediaan/accessibility), kapasitas (termasuk kemampuan untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek berskala mega) dan keberlanjutan (jangan sampai dana yang disetorkan shareholder tergerus untuk overheads dan operasional bank semata). 

Harga yang kompetitif (competitive pricing) berarti perbankan Syariah dapat menawarkan produk dan jasa yang lebih baik dengan harga serupa atau lebih baik lagi atau menawarkan produk dan jasa yang serupa dengan harga yang lebih baik lagi. Spin off akan menyebabkan meningkatnya biaya yang seharusnya dapat dihindari sehingga pilihan ini justru dapat menyebabkan produk dan jasa perbankan Syariah menjadi semakin kurang kompetitif. Agar industri ini dapat menawarkan produk dan jasa yang kompetitif, peraturan dan regulasi yang mengatur perbankan Syariah sewajarnya mengizinkan bisnis perbankan yang bersifat universal mengingat hal tersebut adalah sejalan dengan sifat dan karakter sejati dari prinsip Syariah. 

Selain itu pelaksanaan operasional bisnis berdasarkan konsep ‘dual banking leveraging model’ sebaiknya digalakkan untuk memungkinkan industri perbankan Syariah menawarkan jasa pelayanan yang setara diiringi penawaran produk-produk yang lebih beraneka. 

Memperluas sumber funding dan target financing untuk perbankan Syariah baik melalui aktifitas treasury placement, interbank financing (termasuk dengan pihak perbankan konvensional dengan memenuhi persyaratan tertentu), club deal dan sindikasi bersama dengan pemegang ijin konvensional perlu diperbolehkan selama transaksi yang dilakukan sesuai prinsip Syariah dan dijaga aspek governancenya. 

Menjaga kapasitas industri adalah tidak kalah penting. Hal ini akan otomatis tergoyahkan apabila spin off dilakukan. Hal tersebut akan berdampak kepada hampir seluruh pemegang ijin perbankan Syariah tidak akan mampu untuk mendapatkan proyek-proyek berskala mega. Apabila kita serius mengenai niat kita untuk membesarkan industri, sebaliknya yang perlu kita lakukan adalah mengizinkan pelaku perbankan Syariah untuk turut berpartisipasi dalam proyek-proyek berskala mega bersama institusi konvensional selama transaksi yang dilakukan adalah transaksi Syariah. Hal ini akan mempercepat pertumbuhan tanpa mengkompromikan aspek prudensial dan kepatuhan atas Syariah governance dalam transaksi yang dimaksud.

 

 

Arah Pengembangan  

Tindakan nyata dari pemerintah dan pihak otoritas sangat diperlukan. Pihak otoritas dan pembuat kebijakan perlu berkerja sama untuk memperbaiki peraturan perundangan dan memastikan bahwa peraturan revisi mengandung ketentuan-ketentuan yang akan memfasilitasi dan mempercepat pertumbuhan industri keuangan Syariah.  

Industri keuangan Syariah perlu diberikan infrastruktur termasuk sarana dan prasarana yang mendukung untuk memfasilitasi bisnis dan proses di perbankan Syariah. Hal tersebut terutama mengingat pembatasan kegiatan perbankan Syariah sekadar melakukan penerimaan dana dari masyarakat dalam bentuk deposit (tabungan, giro, deposito) dan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan merupakan inti masalahnya karena riba adalah diharamkan dan sekadar mengambil selisih margin dari kedua kegiatan tersebut adalah hal yang justru perlu dihindari. Bisnis perbankan universal dapat menjadi jawaban bagi isu ini.

Telah tersedianya infrastruktur perbankan konvensional dengan cukup intensif di NKRI dapat turut menjadi pendukung pengembangan Industri perbankan Syariah apabila Indonesia menerapkan full leveraging model, bukan sekedar sinergi perbankan yang telah diiizinkan saat ini. 

Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memastikan percepatan pertumbuhan industri keuangan Syariah di tanah air adalah dengan memberikan fokus atas bisnis Syariah di sisi Otoritas. Tanpa kehadiran ADK dengan fokus khusus di Syariah sementara kondisi di NKRI saat ini bisnis Syariah menempati skala yang begitu kecil berbanding bisnis kaunterpart konvensional akan berimbas kepada proporsi yang tetap kecil untuk industri Syariah baik dari segi strategi, alokasi sumberdaya, anggaran, prioritas dan lain sebagainya. Untuk negara dengan jumlah umat Islam terbanyak di dunia dan sebagai target pasar halal terbesar secara global, adanya pemfokusan ke bisnis Syariah di sisi Otoritas akan mendorong Indonesia untuk fokus ke prioritas memperbesar kapasitas dan intensitas industri Syariah agar tumbuh pesat di NKRI dan menjadi lebih kompetitif di pasar global.   

Perubahan dan amendemen atas perundangan perbankan Syariah serta perundangan dan regulasi lainnya yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang ramah dan mendukung pertumbuhan industri Syariah, atau paling tidak memberikan peluang yang sama besarnya (level playing field). Peraturan perundangan perlu diperbaiki untuk mengakomodir konsep-konsep Syariah yang fundamental untuk transaksi berbasis Syariah termasuk prinsip hak/kepemilikan benefisial dan trust sesuai konsep yang sesungguhnya.   

Literasi dan kesadaran masyarakat, untuk menciptakan skalabilitas dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat atas produk-produk dan jasa perbankan Syariah juga perlu lebih intensif dilakukan oleh OJK. 

Pada akhirnya, untuk melengkapi ekosistem halal, pemerintah harus mengaktifkan industri keuangan Syariah sebagai katalisator industri halal. Sudah saatnya pemerintah menjadikan keuangan Syariah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bisnis halal dengan menetapkan agar semua pelaku bisnis syariah dan usaha halal harus memiliki dan menjalankan usahanya dengan menggunakan produk dan jasa perbankan Syariah. Karena, ketika kita berbicara tentang keuangan Syariah, kita tidak berbicara tentang agama; kita berbicara tentang USD1,6 triliun yang seharusnya dapat diraup Indonesia jika Industri perbankan Syariah dikembangkan sebagaimana mestinya  

 

*Tulisan ini disadur dari Special Report “to Spin or not to Spin” dalam Islamic Finance News (IFN) Volume 19 Issue 34 tanggal 24 Agustus 2022.

 

 

 
Berita Terpopuler