Benarkah Ada Lobi Yahudi di Amerika Serikat? Fakta Ini Menjawabnya  

Lobi Yahudi di Amerika Serikat mempengaruhi kebijakan terhadap Israel

nleresource.com
Orang Yahudi dan bendera AS.ilustrasi. Lobi Yahudi di Amerika Serikat mempengaruhi kebijakan terhadap Israel
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Kita tentu sering mendengar tentang lobi Yahudi, yang bagi sebagian orang, kabar tersebut hanya dianggap desas-desus. Padahal fakta berbicara lain. 

Baca Juga

Banyak kejadian-kejadian yang menguatkan bukti cengkeraman lobi Yahudi di Amerika Serikat. 

Ingat misalnya kisah Paul Findley, mantan anggota Kongres, yang mengalami intimidasi sampai akhirnya tidak terpilih lagi gara-gara menyuarakan sikap yang pro-Arab. 

Kisah yang hampir sama juga terjadi pada Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB di masa pemerintahan Presiden Carter. Karena tekanan-tekanan kelompok Yahudi, ia kemudian dipecat ketika diketahui menjalin hubungan dengan wakil PLO di PBB. 

Tekanan dan pengaruh lobi Yahudi juga dirasakan, atau tetap diperhitungkan dalam penyusunan kabinet Clinton sekarang ini.

Beberapa jam setelah Bill Clinton mengumumkan pencalonan Warren M  Christopher sebagai calon Menteri Luar Negeri 3 Januari 1993, Clinton segera menemui sejumlah senator-senator keturunan Yahudi, dan meminta mereka untuk membujuk pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok Yahudi agar mendukung pencalonan tersebut.

Sudah bukan rahasia umum Christopher tidak disukai karena politik luar negerinya semasa Carter. 

Walaupun persentase minoritas tersebut lebih kecil dari kelompok wanita, hitam ataupun Spanyol, namun kelompok Yahudi menyumbangkan dana sebanyak 60 persen dari dana kampanye non institusional Clinton. 

Di samping itu, sekitar 80 persen pemilih Yahudi memberikan suaranya kepada Partai Demokrat. Ketidaksenangan kelompok-kelompok Yahudi semakin bertambah ketika Clinton memilih veteran-veteran dari pemerintahan Jimmy Carter untuk jabatan puncak politik luar negeri.

Di masa lalu, banyak organisasi-organisasi Yahudi memandang pemerintahan Carter bersikap sangat keras terhadap Israel, di pihak lain bersikap naif terhadap Arab. 

Lebih dari itu, kelompok tersebut sebenarnya menginginkan Clinton untuk mengangkat Peter Tarnoff, orang yang dekat dengan mereka, sebagai Pembantu Menteri Luar Negeri di bidang politik, posisi nomor tiga di Departemen Luar Negeri yang bertanggung jawab terhadap urusan sehari-hari dan biro-biro regional.

Taroff sekarang diplot sebagai Presiden Dewan Hubungan Luar Negeri. Semasa Carter, ia menjabat sekretaris eksekutif Menteri Luar Negeri Cyrus R Vanve. 

"Saya mengetahui ada hal-hal yang mengganjal. Saya mengetahui saya punya problem dalam masalah itu," demikian Clinton saat berbicara dengan sejumlah tokoh-tokoh Kongres keturunan Yahudi beberapa waktu lalu. Anggota-anggota Kongres tersebut ketika itu berharap agar Clinton berjanji pada mereka agar ia memilih sejumlah anggota-anggota yahudi yang dikenal pro Israel ke dalam jabatan-jabatan sub-kabinet. 

Prof Arief: Derajat Orang Beradab Lebih Utama Dibandingkan Orang Berpendidikan

 

Terhadap manuver kelompok Yahudi, seorang pemimpin organisasi Amerika yang tak mau disebut namanya berkomentar panjang. "Itu boleh-boleh saja," katanya.

"Tapi mengapa ketika berhadapan dengan masalah-masalah wanita, Clinton tidak mengatakan 'jangan khawatir'. Bukankah Hillary akan berada di samping saya mewakili anda? Dan mengapa ketika dihadapkan pada pengangkatan orang-orang hitam dia tidak mengatakan 'jangan khawatir' mengenai jabatan-jabatan kabinet? Ya itulah. Setiap kita dihadapkan pada masalah Yahudi, ya itulah yang kita dengar."  

Para pembantu masa transisi mengatakan, sebenarnya ada dua orang Yahudi telah dicalonkan untuk menduduki jabatan dalam kabinet. Mereka Robert R  Reich sebagai Menteri Perburuhan dan Zoe Baird sebagai Jaksa Agung. 

 

Zoe Baird hari ini telah mengumumkan pengunduran dirinya sebagai calon Jaksa Agung karena pelanggaran hukum yang dibuatnya, saat ia menyewa sepasang suami isteri berkebangsaan Peru yang berstatus imigran gelap. Dan ia tidak membayar pajak jaminan sosial mereka. 

Namun kelompok Yahudi menekan terus secara khusus. Mereka mengeluh bahwa tidak ada orang yang dapat diidentifikasikan sebagai pro Israel dalam kabinet Clinton. 

Sebenarnya, kalau diteliti, kekhawatiran kelompok-kelompok Yahudi itu terletak pada hilangnya monopoli mereka dalam mewakili kepentingan Yahudi.

Demikian para pejabat yang menangani masa transisi mengatakan. Banyak di antara para pembantu top Clinton, seperti Sara Ehrman, Peter Edelman, dan Eli Segal, kepala staf kampanye, berasal dari kelompik-kelompok Yahudi liberal, misalnya Americans for Peace Now yang sering berlawanan dengan kelompok-kelompok tradisional yang kurang mau mengritik politik Israel.

Sejauh ini rupanya kelompok tradisional menganggap kelompok Yahudi liberal tidak mewakili kepentingan Israel dan bersikap kritis terhadap negara Zionis itu. 

Dalam rangka meredakan ketegangan, Clinton mempertimbangkan pengangkatan Richar Schifter, mantan Pembantu Menlu urusan Hak Asasi Manusia dalam pemerintahan Bush, dan Stuart E Eizenstat, penasehat urusan dalam negeri Presiden Carter pada jabatan senior di Deparlu.

Lync Cutler, wakil ketua Komite Nasional partai demokrat juga dipertimbangkan untuk jabatan sub-kabinet. Ketiganya diidentifikasikan punya hubungan dekat dengan kelompok-kelompok Yahudi utama. 

Eizenstat dipertimbangkan untuk menduduki jabatan sebagai Pembantu Menlu urusan Keamanan Internasional. S

chifter diplot untuk jabatan baru sebagai Pembantu Menlu urusan Promosi Demokrasi, yang akan membawahi USAID dan USIS.

Pengangkatan Schifter juga dimaksudkan untuk memuaskan kelompok Partai Republik Reagan yang mengaluh karena tidak ada satu pun di antara mereka yang diangkat menduduki jabatan top sebagaimana dijanjikan.

Baca juga: Dulu Pembenci Adzan dan Alquran, Mualaf Andreanes Kini Berbalik Jadi Pembela Keduanya

Abraham Foxman, yang saat itu menjabat direktur eksekutif Liga Anti Penghinaan (Anti-Defamation Leagus) menyatakan, masuknya orang-orang Carter pada posisi puncak politik luar negeri membuat keprihatinan yang terus melekat tentang Carterism.

Masyarakat Yahudi merasa terganggu dan menderita dengan politik Timur Tengah semasa Carter. Carter, yang dikenal simpatik, sering mengkotbahkan keterlibatan Israel pada standar-standar yang 'tidak masuk akal',  suatu ungkapan sebal kelompok garis tradisional terhadap Carter.

"Hingga saat ini masih terdapat keresahan kalangan Yahudi terhadap politik luar negeri Clinton," kata Foxman.

Walaupun demikian masyarakat Yahudi merasa cukup bernapas lega karena orang-orang tersebut akan harus bekerja sama dengan Menteri Pertahanan Les Aspin dan Wapres Albert Core. Dua orang ini secara terbuka dikenal sangat pro Israel. 

 

 

* Naskah ini merupakan elaborasi artikel A Rifai Hasan yang terbit pada 1993  , dokumentasi Harian Republika.     

 
Berita Terpopuler