UEA Minta Dunia Berhenti Sebut ISIS Sebagai Negara Islam

Teroris ISIS menggunakan Islam untuk membenarkan kekerasan mereka.

EPA
Kelompok bersenjata ISIS. (ilustrasi). UEA Minta Dunia Berhenti Sebut ISIS Sebagai Negara Islam
Rep: Mabruroh Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Diplomat UEA Mohamed Abushahab telah meminta PBB dan negara-negara anggotanya berhenti menggunakan "Negara Islam" ketika merujuk pada kelompok teroris ISIS. Hal tersebut disampaikan UEA dalam pertemuan dewan keamanan PBB pada Selasa (8/8/2022) tentang ancaman berkelanjutan yang ditimbulkan oleh ISIS dan afiliasinya terhadap keamanan internasional.

Baca Juga

Wakil Tetap UEA untuk PBB Abushahab mengatakan para ekstremis telah menggunakan Islam untuk membenarkan kampanye kekerasan mereka. Pada kesempatan itu, ia ingin meluruskan agar tidak lagi menyebut Negara Islam terhadap kelompok teroris untuk membenarkan tindakan kekerasan dan kebencian mereka.

“Kita tidak boleh mengizinkan Daesh (nama lain untuk ISIS) dan kelompok lain untuk membajak agama toleransi dan memberikan kepercayaan pada kepura-puraan mereka. Saya ingin tegaskan, tidak ada yang Islami tentang terorisme,” ujarnya, dilansir dari The National News, Kamis (11/8/2022).

"Oleh karena itu, kami menyerukan negara-negara anggota dan sistem PBB untuk mengakhiri penggunaan ISIS dalam referensi mereka ke Daesh dan menerapkan prinsip yang sama untuk mencegah eksploitasi agama oleh kelompok teroris lainnya,” ujarnya.

Kepala kontra-terorisme PBB Vladimir Voronkov menyampaikan laporan ke-15 Sekretaris Jenderal Antonio Guterres tentang ancaman yang ditimbulkan oleh ISIS terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Ia mengatakan ancaman yang ditimbulkan oleh kelompok dan afiliasi ISIS tetap global dan berkembang.

Dia mengatakan puluhan ribu orang termasuk lebih dari 27 ribu anak-anak dari Irak dan 60 negara lain tetap kehilangan hak-hak dasar dan berisiko radikalisasi dan perekrutan. “Daesh dan afiliasinya terus mengeksploitasi dinamika konflik, kerentanan pemerintahan, dan ketidaksetaraan untuk menghasut, merencanakan, dan mengatur serangan teroris,” katanya.

Mereka terus mengeksploitasi pembatasan terkait pandemi dan menyalahgunakan ruang digital untuk mengintensifkan upaya merekrut simpatisan dan menarik sumber daya. “Kelompok ini juga secara signifikan meningkatkan penggunaan sistem udara tak berawak pada tahun lalu,” ujar Voronkov.

Voronkov mengatakan perbatasan antara Irak dan Suriah tetap sangat rentan, dengan sekitar 10 ribu pejuang beroperasi di daerah tersebut. Di Afghanistan, meskipun jumlah serangan yang diklaim atau dikaitkan dengan ISIS telah menurun sejak Taliban mengambil alih kekuasaan, kehadirannya telah meluas ke timur laut dan timur negara itu.

Voronkov mengulangi seruan Guterres untuk negara-negara anggota untuk bekerja untuk pemulangan yang aman, dari semua orang yang tetap terjebak di kamp-kamp dan pusat-pusat lainnya. “Jika kita ingin melepaskan diri dari momok ini, kita juga harus mengatasi kerentanan, keluhan masyarakat dan ketidaksetaraan yang dieksploitasi oleh kelompok tersebut, serta mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan supremasi hukum,” katanya.

Voronkov mengatakan, sementara kepemimpinan Daesh masih mengelola antara 25 juta dolar dan 50 juta dolar aset, jumlah ini secara signifikan kurang dari perkiraan tiga tahun lalu.

Risiko yang tumpang tindih

Pejabat direktur eksekutif Direktorat Eksekutif Komite Kontra-Terorisme Weixiong Chen mengatakan eksploitasi kerapuhan terkait konflik tetap menjadi jantung strategi ISIS, khususnya di Irak, Suriah, dan di seluruh Afrika. Kemudian krisis pangan global dapat mendorong penyebaran terorisme dan ekstremisme kekerasan.

Terorisme tidak ada dalam ruang hampa. Kami menghadapi berbagai tantangan global yang tumpang tindih yang berisiko memperumit respons kontra-terorisme kami dan memperburuk ancaman yang ditimbulkan oleh ISIS dan kelompok teroris lainnya.

"Peningkatan multilateralisme, kerja sama internasional, dan solidaritas global adalah satu-satunya cara untuk melawan ancaman teroris global seperti ISIS,” ujarnya.

Peneliti senior di Institute for Security Studies, Martin Ewi mengatakan Afrika, tempat ISIS telah berkembang di seluruh bagian tengah, selatan dan barat benua itu, tidak hanya menjadi pusat aktivitasnya tetapi juga bisa menjadi masa depan Khalifah.

Dia mengatakan setidaknya 20 negara Afrika telah secara langsung mengalami aktivitas ISIS, dan lebih dari 20 lainnya digunakan untuk logistik, dan untuk memobilisasi dana dan sumber daya lainnya. Ewi mengatakan penelitian telah menunjukkan bukti banyak anak muda bergabung dengan ISIS dan kelompok teroris lainnya karena kemiskinan dan pengangguran.

Solusinya terletak di tingkat masyarakat, karenanya ia menyerukan Dewan Keamanan untuk bekerja lebih erat dengan Uni Afrika, komunitas ekonomi regional dan masyarakat sipil.

 
Berita Terpopuler