Kenaikan Harga Mi Instan yang tak Terhindari

Enam bulan terakhir pelaku usaha sudah menahan penyesuaian harga mi instan.

Republika/Wihdan Hidayat
Serangan Rusia ke Ukraina berdampak ke pasokan gandum. Diperkirakan harga mi instan yang berbahan baku gandum akan naik hingga tiga kali lipat akibat efek perang Rusia-Ukraina.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Haura Hafizhah, Dedy Darmawan Nasution

Serangan Rusia ke Ukraina memicu krisis pangan di banyak negara lain. Salah satu efeknya adalah kemungkinan kenaikan harga mi instan hingga tiga kali lipat. Penyebabnya karena bahan baku mi instan dipasok dari Ukraina yang saat ini terganggu negaranya akibat perang.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai kenaikan harga tidak bisa dihindari. Bahkan harga akan mengalami peningkatan secara bertahap.

"Kenaikan harga mi instan tidak bisa dihindari. Karena selama enam bulan terakhir pelaku usaha sudah menahan penyesuaian harga jual," katanya, saat dihubungi Republika, Selasa (9/8/2022).

Kemudian, ia menjelaskan inflasi di sisi produsen termasuk industri makanan dan minuman dilaporkan mencapai 11 persen pada kuartal ke II 2022. Biaya bahan baku mi instan, gandum naiknya 9,79 persen di pasar spot selama satu tahun terakhir.

Belum ditambah rantai pasok gandum dari Ukraina yang terganggu akibat perang. Sementara produsen makanan dan minuman ada di posisi dilema, tidak menaikkan harga maka marjin menipis. Kalau harga naik, khawatir konsumen dari kelas menengah bawah akan kurangi konsumsi.

"Diperkirakan kenaikan harga akan berlanjut secara bertahap. Belum ada tanda-tanda pasar gandum akan alami normalisasi pasokan," kata dia.

Meskipun, lanjut dia, Ukraina sudah berhasil mengirim gandum lewat pelabuhan Laut Hitam sebesar 26 ribu ton. Tapi itu masih sangat terbatas. "Masih ada estimasi 20 juta ton gandum yang terperangkap di Ukraina tidak bisa diekspor," kata dia.

Total impor gandum Indonesia pada tahun 2021 tembus hingga 11,7 juta ton. Impor mengalami kenaikan dari 2020 yang masih 10,5 juta ton. Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa mengatakan, kecenderungan konsumsi gandum yang semakin tinggi cukup mengkhawatirkan.

Ia mencatat, pada tahun 1970 lalu, proporsi pangan berbasis gandum hampir 0 persen. Proporsi melonjak hingga 18,3 persen di tahun 2010 dan menjadi 26,6 persen pada tahun 2020.

"Bila kecenderungan ini terus terjadi, maka saat 100 tahun RI merdeka, saya khawatir 50 persen kebutuhan pokok tergandukan gandum, bukan sorgum, jagung, tapi gandum," kata dia.

Kenaikan harga mi instan yang dipicu seretnya pasokan gandum membuka wacana akan krisis pangan di tahun depan. Faktor iklim juga diperkirakan akan menyebabkan krisis pangan terjadi.

Andreas namun optimistis krisis pangan global yang diprediksi terjadi pada tahun ini hingga 2023 tidak akan terjadi. Pasalnya, tren harga komoditas yang berperan penting pada ketahanan pangan global sudah mengalami penurunan.

"Krisis pangan global tidak akan terjadi, meski demikian kita perlu menjaga kesiapan Indonesia kalau terjadi sesuatu," kata Andreas dalam webinar Pataka, Selasa (9/8/2022).

Ia menyampaikan, penyebab utama terjadinya krisis pangan dunia jika terdapat masalah pada suplai dan harga komoditas serealia. Ia memaparkan, produksi serealia dunia tahun ini memang diperkirakan turun 0,6 persen dari tahun lalu menjadi 2.791 juta ton.

Turunnya serealia akibat penurunan produksi gandum sekitar 1 persen menjadi 770 juta ton akibat kekeringan di Uni Eropa. Namun ada peningkatan produksi di Kanada dan Australia karena iklim yang mendukung.

Selain itu, produksi beras dunia kemungkinan turun 0,4 persen menjadi 520,5 juta ton imbas turunnya produksi di Vietnam. Namun, hingga saat ini tren harga serealia dunia justru tidak mengalami lonjakan tinggi.

"Jadi saya tidak percaya krisis pangan dunia akan terjadi di 2022 dan 2023 karena komponen terbesar komoditas utama yang mempengaruhi krisis pangan adalah serealia dan saat ini baik-baik saja," ujarnya.

Ia juga berkaca pada peringatan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) pada 2020 lalu yang mengatakan bakal ada krisis pangan. Saat itu, Indonesia langsung mencanangkan berbagai program besar, termasuk food estate. Namun, Andreas pun meyakini krisis tidak akan terjadi.

"Dan betul, setelah itu ada laporan pergerakan harga pangan dunia justru turun. Lalu tahun 2021 apakah ada? Ternyata tidak juga," kata dia.







Baca Juga

Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, kemarin mengingatkan masyarakat yang gemar mengonsumsi mi instan soal harus merogoh kocek lebih dalam. Pasalnya, harga mi diyakini akan semakin mahal imbas kenaikan harga gandum dunia yang menjadi bahan baku pembuatan mi.

Syahrul menuturkan, perang Rusia-Ukraina menyebabkan adanya pasokan gandum Ukraina yang tertahan hingga 180 juta ton. Pasokan itu tak bisa keluar akibat blokade Rusia.

"Jadi, hati-hati yang makan mi banyak dari gandum, besok harga (naik) tiga kali lipat itu. Mohon maaf saya bicara ekstrem saja ini," kata Syahrul.

Syahrul mengatakan, akibat gangguan rantai pasok global, harga gandum melonjak tinggi. Sementara, Indonesia terus melakukan impor gandum karena besarnya kebutuhan masyarakat.

Kementerian Pertanian (Kementan) menyiapkan alternatif untuk mensubtitusi gandum impor. Pemerintah akan fokus mengembangkan sorgum sebagai pengganti gandum.

"Tahun ini Kementan mengembangkan 15 ribu hektare (ha), tahun 2023 kami akan tambah 40 ribu ha menjadi 55 ribu ha," kata Direktur Serealia Kementan, Ismail Wahab.

Ia mengatakan, komoditas sorgum merupakan satu famili tanaman dengan gandum. Sorgum namun memiliki kelemahan karena produk olahan tidak dapat mengembang seperti gandum. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi industri makanan di Indonesia.

Menurutnya, komoditas lokal Indonesia memang tidak dapat 100 persen menggantikan gandum. Potensi sorgum sebagai alternatif namun sangat besar.

Upaya itu tentunya membutuhkan peran serta industri makanan yang lebih mengerti hal teknis dalam pengolahan. Menurut Ismail, saat ini menjadi momentum yang tepat bagi sorgum di tengah ketergantungan gandum yang semakin meningkat dan tingginya harga global.

"Bagaimana kita mau mengakses gandum jika semua negara tidak mau ekspor, karena itu kita coba dengan beberapa komoditas kita. Jangan sampai kita tidak bisa akan mi atau roti," katanya.

Kepala Biro Kepala Biro Perencanaan Kerja Sama dan Humas, Badan Pangan Nasional (NFA), Risfaheri menuturkan, pangan lokal berpotensi untuk mensubstitusi 10 hingga 30 persen kebutuhan gandum untuk terigu. Khusus untuk produk olahan makanan yang tidak butuh sifat mengembang, sorgum bisa mensubsitusi hingga 100 persen.

NFA mendorong Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) agar bisa menciptakan sifat dari pangan lokal yang dapat mendekati gandum. "Apa perlu komponen enzim dan sebagainya, jadi bahan pangan lokal yang tidak punya sifat mengembang bisa mensubsitusi terigu gandum sampai 100 persen, ini tantangan ke depan," kata dia.

Hingga 2021 lalu, total impor gandum tembus hingga 11,7 juta ton, naik signifikan dari 2020 yang masih 10,5 juta ton. Meskipun, sebagian kecil impor gandum kini digunakan sebagai bahan baku pakan unggas.

Pada tahun 1970 lalu, proporsi pangan berbasis gandum hampir 0 persen. Proporsi melonjak hingga 18,3 persen di tahun 2010 dan menjadi 26,6 persen pada tahun 2020.

"Bila kecenderungan ini terus terjadi, maka saat 100 tahun RI merdeka, saya khawatir 50 persen kebutuhan pokok tergandukan gandum, bukan sorgum, jagung, tapi gandum. Ini perlu jadi perhatian bersama," kata Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa.

Selain gandum, Andreas pun mencatat tingginya impor pangan lain. Hingga 2021, total impor pangan Indonesia tembus 27,7 juta ton. Pada 2011 lalu, total impor pangan nasional masih berkisar 16,9 juta ton.

Adapun komoditas terbesar yang diimpor yakni beras khusus, jagung untuk industri makanan, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, hingga kacang tanah. Komoditas itu rata-rata diimpor lebih dari 300 ribu ton per tahun.

Infografis Cara Makan Mi Instan - (republika.co.id)

 
Berita Terpopuler