Jumlah Penduduk Miskin Secara Nasional Menurun, Mengapa di Jakarta Meningkat?

Menurut BPS, penurunan jumlah penduduk miskin dampak dari pemulihan ekonomi.

ANTARA/Hafidz Mubarak Ahmad
Anak-anak bermain di rel kereta api di api di kawasan Pejompongan, Jakarta, Jumat (15/7/2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2022 berjumlah 26,16 juta orang atau menurun 1,38 juta orang (0,60 persen) dibandingkan Maret 2021.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Deddy Darmawan Nasution, Antara

Baca Juga

Jumlah penduduk miskin secara nasional menurun per Maret 2022 berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat (15/7/202). Penurunan kemiskinan itu dinilai BPS sebagai dampak dari pemulihan ekonomi nasional yang masih terus berlanjut.

Kepala BPS, Margo Yuwono memaparkan, garis kemiskinan pada Maret 2022 sebesar Rp 505.469 per kapita per bulan. Itu mengalami kenaikan 3,97 persen. Peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan komoditas bukan makanan.

Dengan tingkat garis kemiskinan itu, BPS mencatat, total jumlah penduduk miskin per Maret 2022 sebanyak 26,16 juta orang. Angka itu mengalami penurunan sekitar 340 ribu orang dari posisi September 2021 lalu dan turun 1,38 juta orang jika dibandingkan Maret 2021 lalu.

"Persentase penduduk miskin sebesar 9,54 persen, turun 0,17 persen poin dari September 2021 atau 0,6 persen poin terhadap Maret tahun lalu," kata Margo dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.

Lebih lanjut, Margo memaparkan, penurunan kemiskinan terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan. Tingkat kemiskinan di kota pada Maret lalu sebesar 7,5 persen, atau turun dari posisi September 2021 yang sebesar 7,6 persen. Adapun di perdesaan, tingat kemiskinan mencapai 12,29 persen, turun dari sebelumnya 12,53 persen.

Meski begitu, Margo menuturkan, disparitas alias ketimpangan kemiskinan antara perkotaan dan perdesaan masih tinggi. Namun, sejauh ini BPS menilai kecepatan penurunan kemiskinan di perdesaan lebih cepat dari perkotan.

"Tingkat kemiskinan di perdesaan sudah kembali ke level sebelum pandemi, sedangkan di perkotaan masih lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi," kata Margo.

Sementara itu, kedalaman dan keparahan kemiskinan juga tercatat menurun. Rara-rata Indeks Kedalamam Kemiskinan (P1) di perkotaan maupun perdesaan pada Maret 2021 tercatat 1,586 poin turun dari posisi September 2021 sebesar 1,668 poin.

Sementara itu Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) tercatat 0,401 poin, lebih rendah dari sebelumnya 0,418 poin.

Margo juga mengungkapkan, tingkat gini ratio per Maret 2022 mencapai 0,384 poin, naik dari posisi September 2021 sebesar 0,381 poin. Semakin tinggi nilai gini ratio maka semakin tinggi pula ketimpangan yang terjadi antar penduduk.

"Kemiskinan memang menurun dan terjadi di seluruh pulau, namun gini ratio menunjukkan arah berbeda," kata Margo.

Ia menuturkan, kenaikan gini ratio utamanya terjadi di perkotaan. Tercatat per Maret 2022, gini ratio perkotaan mencapai 0,403 poin naik dibandingkan September 2021 yang masih di level 0,398 poin.

Sementara itu, tingkat gini ratio di perkotaan cenderung bertahan di level 0,314 poin. "Jadi, gini ratio secara total mengalami peningkatan karena adanya pergerakan (kenaikan) gini ratio di perkotaan," katanya.

 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah mengatakan, inflasi pangan dan energi menjadi titik persoalan yang bisa mempengaruhi angka kemiskinan ke depan. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan kemungkinan akan ditempuh Bank Indonesia dan bisa berdampak pada peningkatan pengeluaran modal pelaku usaha dalam berinvestasi.

Rusli menambahkan, untuk saat ini masyarakat perdesaan setidaknya lebih tahan terhadap tekanan inflasi pangan. Sebab, desa menjadi lumbung pangan sehingga harga-harga kebutuhan pokok cenderung lebih murah. Pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan dengan mengalokasikan 40 persen Dana Desa untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT).

"Itu diwajibkan, jadi sudah ada langkah di desa. Hanya saja di kota belum ada (kebijakan)," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, menilai tangan kenaikan harga-harga barang dipastikan menggerus daya beli masyarakat, khususnya lapisan bawah. Belum lagi jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar bersubsidi. 

Mobilitas masyarakat kemungkinan terus dilonggarkan seiring laju penularan Covid-19 yang terkendali. Langkah itu secara langsung memang akan meningkatkan upah masyarakat secara nominal. 

"Namun pendapatan secara riil kemungkinan stagnan karena harga-harga, oleh karena itu inflasi pangan yang harus menjadi fokus ke depan demi meneruskan pemulihan ekonomi," ujarnya.

 

Data BPS yang menyatakan jumlah penduduk miskin secara nasional menurun berbanding terbalik dengan data BPS DKI Jakarta yang mengungkapkan jumlah penduduk miskin di Ibu Kota bertambah 3.750 orang. Sehingga total penduduk miskin di Jakarta sebanyak 502,04 ribu orang atau sekitar 4,69 persen dari total jumlah penduduk Jakarta.

"Bertambahnya jumlah penduduk miskin ini di antaranya disebabkan penurunan daya beli masyarakat karena dampak pandemi Covid-19," kata Kepala BPS DKI Anggoro Dwitjahyono di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, penurunan daya beli tersebut salah satunya dipicu tingginya inflasi secara umum pada periode September 2021 hingga Maret 2022 mencapai 1,78 persen. Sedangkan pada kelompok bahan makanan pada periode yang sama juga tercatat mengalami kenaikan harga mencapai 3,51 persen.

Apabila dibandingkan pada posisi September 2021, angka kemiskinan di Jakarta itu naik 0,02 persen yang saat itu mencapai 498,29 ribu orang. Adapun BPS melakukan survei kemiskinan selama dua kali dalam satu tahun yakni periode Maret dan September.

BPS DKI juga mencatat secara khusus penduduk sangat miskin bertambah 2.000 orang yakni dari 144,3 ribu orang pada September 2021 menjadi 146,3 orang pada Maret 2022. Selain penduduk miskin bertambah, tingkat ketimpangan di Jakarta juga naik.

Indeks gini dari 0,411 pada September 2021 menjadi 0,423 pada Maret 2022. Ketimpangan pada kelompok pengeluaran terendah lebih tinggi dibandingkan kelompok kelompok pengeluaran atas.

Pengeluaran penduduk pada kelompok 40 persen terendah berkurang dari 17,02 persen pada September 2021 menjadi 16,60 persen pada Maret 2022. Sebaliknya, pengeluaran kelompok 20 persen teratas meningkat dari 47,78 persen menjadi 50,18 persen.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebutkan tingkat kemiskinan di Ibu Kota bertambah akibat lebih dua tahun pandemi Covid-19. "Jadi peningkatan kemiskinan tidak hanya di DKI tetapi seluruh Indonesia itu disebabkan karena pandemi Covid-19 yang lebih dari dua tahun," kata Riza Patria di Balai Kota Jakarta, Jumat.

Riza menjelaskan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI bersama pemerintah pusat mengupayakan berbagai program dan solusi yang dibuat untuk mendorong ekonomi masyarakat. Selain itu, program mengurangi inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta membuka lapangan pekerja.

Tak hanya itu, Pemprov DKI juga memastikan ketersediaan pasokan pangan dengan harga yang bisa dijangkau masyarakat. Upaya berkolaborasi dengan pemerintah pusat tersebut, kata dia, mampu mengendalikan Covid-19 dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta tingkat inflasi yang lebih rendah dibandingkan negara lain.

"Kita menjadi negara yang baik dalam rangka mengatasi dan mengendalikan Covid-19 dan juga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi," katanya.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah meminta pembangunan Jakarta lebih diarahkan ke pemberdayaan masyarakat. Dia menilai, berbagai megaproyek seperti pembangunan Jakarta International Stadium (JIS), pembangunan Sirkuit Formula E dan lainnya, belum terasa efeknya bagi masyarakat miskin.

"Untuk mengatasi tingkat kemiskinan di Jakarta yang meningkat belakangan, saya melihat Pemprov DKI harusnya mengalihkan pembangunan yang mengeluarkan anggaran cukup besar pada berbagai megaproyek untuk dialihkan ke penanganan ketahanan dan pemberdayaan masyarakat miskin," kata Trubus saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

Termasuk, kata Trubus, adalah dana penanganan Covid-19 yang terbuka untuk penanganan masyarakat kategori miskin seperti gizi buruk. Langkah selanjutnya untuk menyelesaikan kemiskinan, kata dia, diperlukan kebijakan politik (political will) yang mendukung mengingat sampai saat ini ada pembangunan yang kurang tepat sasaran.

Selain itu, kebijakan yang tidak tepat juga akhirnya membuat gagal usaha pengendalian harga-harga di masyarakat yang terus meningkat. Jakarta saat ini selalu menekankan pembangunan pada yang berbau 'smart city' tetapi lupa kepada masyarakat yang seharusnya diperhatikan juga.

"Dengan cara pembangunan diciptakan untuk membuka lapangan pekerjaan," katanya.

 

Tokoh Betawi Jadi Nama Jalan Jakarta - (infografis republika)

 

 
Berita Terpopuler