Pluralisme Kampanye Politik DKI Jakarta 2012 dalam Kajian Islam

Pluralisme Kampanye Politik DKI Jakarta 2012 dalam Kajian Islam

retizen /Nova Ellisa
.
Rep: Nova Ellisa Red: Retizen

Oleh : Nova Ellisa

Kegiatan kampanye politik yang demokratis mengharapkan terjadinya perpindahan kekuasaan secara damai, antara lain dengan melaksanakan aktivitas kampanye dengan tidak memunculkan nuansa permusuhan dan persaingan tak sehat apalagi hingga mengakibatkan konflik/pertikaian dengan kekerasan akibat perbedaan politik. Perebutan posisi pada pelaku politik kadang menyebabkan saling curiga dan dapat menimbulkan fitnah. Yang pada akhirnya akan terjadi propaganda dan agitasi dalam bentuk perang isu. Munculnya perang isu sebagai dampak perjuangan elit politik untuk mencari posisi terbaik dalam percaturan politik demikian intens.

Kampanye politik yang damai, tidak memunculkan kerusuhan sosial dan korban jiwa karena adanya perbedaan politik mencerminkan nuansa politis yang kondusif dan adil, yang merupakan bearometer kehidupan politik yang demokratis, tanpa adanya kecurangan, misalnya money politics dan penajakan melalui tokoh tokoh penting yang terselubung . Salah satu peristiwa yang pernah terjadi terkait dengan hal tersebut adalah kasus yang terjadi pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2012. Setelah pemilihan putaran pertama yang dimenangkan oleh pasangan Joko widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahya Permana (Ahok) yang disusul oleh incumbent Fauzi Bowo (Foke) dan pasangannya Nachrowi Ramli, muncul pemberitaan di media massa bahwa penyanyi dangdut Rhoma Irama menyisipkan pesan – pesan politik bermuatan SARA dalam salah satu materi ceramahnya pada sebuah pengajian. Pesan Rhoma Irama dianggap menyudutkan pasangan Jokowi – Ahok dan mencoba menggalang dukungan bagi pasangan Foke - Nachrowi.

Tulisan ini merupakan paparan suatu kajian awal terkait dengan penggunaan isu SARA dalam kampanye poltik. Kajian prapenelitian ini adalah analisis terhadap konstruksi pemahaman para juru kampanye politik pada pilkada DKI 2012 tentang pluralisme yang menjadi latar pemikiran mereka dalam menyikapi penggunaan isu SARA pada kampanye politik. Kajian awal ini dilakukan dengan menelusuri kasus ceramah tarawih yang disampaikan H. Rhoma Irama di Masjid Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat, pada tanggal 29 Juli 2012. Analisis dilakukan berdasarkan kajian pustaka tentang Teori Konstruksi Realitas Sosial (Peter Berger dan homas Luckmann), kajian tentang pluralisme dan kajian tentang berbagai varian pemikiran tentang pluralisme.

Secara bahasa, pluralisme berarti jamak atau lebih. Namun secara istilah, tentu banyak sudut pandang yang menyebabkan pluralisme dipahami beragam oleh para ilmuwan sosial dan agama, termasuk para pemikir agama Islam. Anis Malik Toha menguraikan bahwa pemikiran tentang pluralisme agama dapat dibagi atas tiga variasi pemikiran, yaitu teologi global, humanisme dan sinkretisme. Teologi global adalah sebuah paham yang melihat bahwa setiap agama, khususnya agama samawi (agama yang bersumber dari wahyu melalui perantara nabi, antara lain Yahudi, Kristen dan Islam) memiliki sejarah dan sumber wahyu yang sama, dan kemudian memiliki nilai-nilai substansi yang sama. Pemikiran ini menyatakan. bahwa ketika agama berkembang menjadi suatu sistem keyakinan, sistem ritual dan norma, maka agama-agama ini memiliki sistem masing – masing yang berbeda dan tak bisa dicampur adukan. Varian kedua dalam pemikiran tentang pluralisme adalah humanisme. Pemikiran ini lebih melihat manusia sebagai pusat dari berkembangnya agama. Manusia dilihat sebagai sosok utama, dan agama adalah suatu hal yang dikembangkan untuk mengangkat nilai-nilai kemanusiaan. Maka kebenaran agama akan dilihat sejauh mana agama tersebut memberikan kontribusi bagi pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Maka perbedaan agama menurut pemikiran ini tidak menjadi suatu persoalan pokok selama nilai-nilai kemanusiaan tetap menjadi tujuan dan pusat perhatian ajaran agama tersebut. Sedangkan sinkretisme berpandangan lebih ekstrim tentang pluralisme. Sinkretisme tidak hanya mengakui bahwa ada nilai-nilai substansi yang sama dalam setiap agama, tapi juga menyatakan bahwa kesamaan itu dapat diwujudkan dengan kebersamaan dalam satu sistem keyakinan, sistem ritual dan sistem norma. Pemikiran ini mendukung berbagai bentuk pelaksanaan yang mencampur adukan berbagai sistem agama di dalamnya. Kajian tentang varian pemikiran Islam yang dikaitkan dengan pluralisme menjadi penting dan relevan ketika kajian ini digunakan sebagai kacamata untuk melihat kasus penggunaan isu SARA ada pilkada DKI Jakarta. Kasus yang dipicu oleh ceramah agama. usai ibadah tarawih memunculkan kontroversi tentang pernyataan Rhoma Irama yang dilandaskan pada pemahaman terhadap Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 144. Kajian terhadap varian pemikiran Islam diperlukan untuk menggambarkan pemahaman pemikiran Islam tentang pluralisme yang di jadikan sandaran dalam memunculkan dan menyikapi penggunaan isu SARA dalam kampanye politik. Dr. Anis Malik Toha, memberikan pengertian pluralisme dari sudut pandang ilosois dan sosiopolitik. Dari sudut ilisois, pluralisme dipahami sebagai sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran mendasar lebih dari satu. Sedangkan dari sudut pandang sosiopolitik, pluralisme dilihat sebagai suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut Anis Malik Toha, 2005:12). Nurcholis Madjid menyampaikan pandangannya bahwa pluralisme tidak lebih dari perbedaan jalan dalam mencari kebenaran menuju Tuhan. Pandangan dasar bahwa Allah telah menetapkan idiom, metode dan jalan masing-masing bahwa setiap agama dengan caranya sendiri mencoba menuju kebenaran (Nur Ahmad, 2001:4). Dengan demikian, Nurcholish Madjid menyampaikan suatu pandangan bahwa ada kebenaran dalam agama lain. Selain Islam, khususnya agama yang dibawa oleh para nabi yang diutus oleh Tuhan yang diyakini sebagai tuhan yang sama dengan Tuhan Islam. Agama-agama tersebut dinamai agama samawi. Meski pada perjalanan sejarahnya, agama-agama tersebut telah mengalami berbagai penyimpangan. Pandangan tersebut senada dengan pendapat kelompok pemikir Islam yang melihat Islam secara substantif yaitu sebagai nilai.

komunikator politik atau dalam hal ini lebih dikhususkan para juru kampanye berperan sebagai bagian dalam masyarakat yang berinteraksi dengan suatu produk pengetahuan (eskternalisasi). Kedua, para juru kampanye menjembatani interaksi antar individu dalam masyarakat dengan pengetahuan sehingga akhirnya terbentuk suatu institusionalisasi (objektifikasi). Melalui Pesan politik yang diampaikan dalam berbagai forum komunikasi, obrolan publik, dan lain sebagainya masyarakat diarahkan untuk membentuk suatu pemikiran atau konsepsi tertentu sebagai suatu realitas yang diyakini bersama. Ketiga, Para komunikator politik atau para juru kampanye politik melakukan identifikasi diri terkait pemikiran atau pengetahuan yang telah ia pilih sebagai realitas objektif (internalisasi). Para juru kampanye dapat menyelaraskan pikiran, sikap dan perilakunya termasuk pesan – pesan politik yang ia sampaikan berdasarkan pemikiran yang telah terbentuk pada proses sebelumnya. Latar belakang para komunikator politik menjadi amat penting dalam mengkaji konstruksi realitas seperti apa yang terbangun mengenai pluralisme yang mewujud dalam sikap mereka tentang isu SARA pada pilkada DKI 2012. Latar belakang tersebut akan mereka sejarah pengalaman mereka berinteraksi dengan berbagai fenomena sosial dan produk pengetahuan yang terkait dengan pluralisme. Penggunaan isu SARA alam kampanye politik berikut berbagai respon atau sikap yang mengikutinya merupakan wujud dari suatu proses konstruksi realitas tentang pluralisme. Suatu representasi pemahaman para komunikator politik tentang suatu realitas pengetahuan bernama pluralisme. Konstruksi realitas para komunikator politik yang terlibat dalam pilkada DKI 2012 tentang pluralisme adalah suatu proses yang melalui berbagai tahapan – tahapan, yaitu eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi. Pada proses eksternalisasi, terjadi interaksi antara berbagai pengalaman individu para komunikator politik dengan berbagai pemikiran tentang pluralisme. Berdasarkan pengembangan hasil kajian penelitian terdahulu berbagai realitas pengalaman dan pengetahuan yang telah didapat oleh pembicara. relitas yang ditemui oleh masyarakat Indonesia termasuk diantaranya para komunikator politik yang terlibat dalam Pilkada DKI 2012. Proses eksternalisasi tersebut menggiring mereka untuk memilih sikap dan pemikirannya kepada satu madzhab tertentu sebagai suatu realitas yang dianggap realitas bersama atau realitas objektif. Wujud internalisasi dari pluralisme dalam kasus ini menurut cara pandang kelompok pertama adalah memberikan toleransi kepada pemeluk agama untuk memilih pemimpin sesuai dengan perintah agama dan klaim kebenaran agama yang dianutnya. Hal tersebut akan muncul dalam sikap mereka melihat kasus ceramah tarawih Rhoma Irama yang dikenal sebagai salah satu isu SARA dalam pilkada 2012.

Kajian awal terhadap fenomena penggunaan isu SARA dalam kampanye politik pada pilkada DKI 2012 telah mengantarkan pada kajian pustaka tentang konstruksi pluralisme agama sebagai landasan nilai etika kampanye politik. Dari kajian sederhana tersebut dapat diambil beberapa konklusi sementara. Pertama, penggunaan isu SARA serta sikap mendukung dan menolaknya merupakan suatu hasil dari proses konstruksi realitas sosial. Kedua, Para komunikator politik terlibat dalam proses konstruksi realitas sosial tentang pluralisme agama telah melalui proses interaksi dengan berbagai realitas kemajemukan, tafsir teks agama, sejarah konflik antar agama, kesadaran semu tentang kerukunan antar agama, eufhoria kebebasan pendapat dan pemikiran pluralisme dalam proses eksternalisasi yang kemudian berlanjut dengan objektifikasi dan internalisasi. Ketiga, Kajian etika mengenai penggunaan isu SARA dalam kampanye politik sangat tergantung dengan sudut pandang pemikiran tentang pluralisme yang melandasi nilai rujukan etika. Dalam kajian agama institutif, ceramah tersebut dianggap etis, namun dalam prespektif agama substantif, dianggap tidak etis.

 
Berita Terpopuler