Kriminolog Ulas Penyebab Orang Lakukan Kekerasan Seksual

Ada sejumlah penyebab yang dapat membuat orang menjadi pelaku kekerasan seksual.

Antara/Zabur Karuru
Pelaku kejahatan seksual diborgol (Ilustrasi). Kebiasaan melihat konten penyimpangan seksual, termasuk kekerasan seksual, bisa membuat orang terpantik melakukan hal serupa.
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kriminolog dari Universitas Indonesia, Maria Zuraida, mengatakan, ada beberapa penyebab seseorang melakukan kekerasan seksual. Menurutnya, pelaku bisa jadi sering melihat video penyimpangan atau kekerasan seksual hingga terpantik melakukan hal serupa.

"Ada juga kemungkinan punya penyimpangan sejak kecil karena mempunyai syahwat besar secara bawaan," kata Maria ketika dihubungi Republika.co.id, Kamis (14/7/2022).

Maria menjelaskan, di samping kebiasaan melihat konten kekerasan seksual, pengalaman masa kecil juga bisa menjadi penyebab orang menjadi pelaku. Misalnya, orang yang semasa kecilnya kerap melihat orang tuanya berhubungan intim, entah karena rumah kecil atau orang tua tidak waspada.

Baca Juga

Tak hanya itu, menurut Maria, seseorang yang tidak menjaga pandangannya juga dikhawatirkan menimbulkan kerentanan preilaku kekerasan seksual. "Sering melihat perempuan yang memakai pakaian minim dan seksi juga bisa menjadi penyebab," tutur Maria.

Dalam kesempatan terdahulu, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Valentina Gintings, mengatakan, pihaknya banyak menemukan para pelaku kekerasan seksual yang pada masa kecilnya menjadi korban kekerasan seksual. Trauma yang dialami pada masa kecil tersebut dibawa hingga dewasa sehingga membuat mereka menjadi pelaku kekerasan seksual.

"Luka itu kemudian terbawa-bawa, tidak bisa diselesaikan, kemudian berada dalam lingkungan keluarga yang terus-menerus menerornya sampai dia besar sehingga akhirnya terbawa terus dan kemudian mereka bisa menjadi pelaku," katanya.

Menghentikan
Valentina mengatakan, perlu biaya dan upaya yang besar untuk memulihkan rasa trauma pada para korban kekerasan seksual. Menurutnya, anak-anak mengalami dampak yang cukup besar ketika menjadi korban kekerasan, baik itu kekerasan fisik, psikis atau seksual.

"Rasa trauma, dendam, kemudian menutup diri, ketika mereka mengalami kekerasan itu dampaknya cukup besar," katanya.

Lebih lanjut, Maria menjelaskan perilaku tersebut bukan tidak bisa dihentikan, meski perlu waktu yang tidak sedikit. Salah satu cara untuk mengobati gangguan itu adalah dengan mengajak pelaku ke tempat yang lebih positif.

"Kegiatan agama seperti sholat berjamaah bagi Muslim. Setelah sholat kan biasanya ada siraman rohani," tutur dia.

Cara lain yang bisa dilakukan untuk mengatasi perilaku menyimpang tersebut adalah dengan memberikan edukasi tentang perilaku baik serta contoh aktualnya. Selain itu, mencari cara untuk menyalurkan bakat, menurut Maria, juga dapat menjadi bentuk upaya pencegahan.

"Ajak dengan kesibukan bekerja sesuai kemampuan seperti bengkel, menjadi pelayan rumah makan, memasak makanan secara mudah dan ringan misalnya," jelas dia.

Pelakunya orang dekat

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo mengungkapkan ada kesamaan latar belakang pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Indonesia. Selama setahun terakhir, tindak kriminal itu banyak dilakukan keluarga atau orang dekat korban.

"Yang aneh berdasarkan temuan kami, pelaku biasanya orang-orang yang dekat, ayah kandung, ayah tiri, kakek kandung, kakek tiri, abang kandung, adik kandung, dan tetangga," kata Hasto seusai acara "Kick-off Program Perlindungan Saksi dan Korban Berbasis Komunitas di DIY" di Yogyakarta, Kamis (12/7/2022).

Tidak hanya itu, lanjut Hasto, oknum guru juga tercatat menjadi pelaku pelecehan seksual. Kasusnya terjadi di sejumlah sekolah umum maupun yang berbasis agama.

"Artinya apa, kekerasan seksual ini didominasi relasi kuasa. Orang menggunakan kuasanya untuk melalukan kekerasan seksual kepada korban," ujar dia.

Sejak awal 2022, menurut Hasto, kasus kekerasan seksual mengalami tren meningkat dan LPSK telah mendapatkan 400 laporan korban, baik perempuan maupun anak-anak. Belakangan ini, tren yang naik adalah kekerasan seksual kepada perempuan maupun anak.

Hasto mengakui sebagian besar laporan telah mendapatkan pendampingan dari LPSK. Hanya saja, tidak sedikit korban maupun keluarga justru enggan membeberkan kasusnya.

"Kalau kasus-kasus asusila orang malu, memandang ini aib sehingga orang tidak melakukan apa-apa," kata dia.

Untuk membantu masyarakat, khususnya para saksi dan korban mendapatkan akses perlindungan dari lembaganya, menurut Hasto, LPSK bakal membentuk sahabat saksi dan korban di seluruh provinsi di Indonesia. Mereka memiliki tugas membantu para saksi dan korban melakukan prosedur awal pengajuan permohonan perlindungan ke LPSK.

"Bagaimana korban memerlukan dukungan perlindungan, dan kemudian akan dikomunikasikan sehingga LPSK bisa menindaklanjuti," ucap Hasto.

 

 
Berita Terpopuler