Sisi Lain Maksiat dan 13 Hikmahnya Menurut Ibnu Qayyim  

Maksiat mempunyai sejumlah hikmah jika direnungkan dengan baik

Republika/Wihdan
Ilustrasi tobat dari maksiat. Maksiat mempunyai sejumlah hikmah jika direnungkan dengan baik
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dr  Adnan Ibrahim, cendekiawan Muslim asal Palestina yang saat ini bermukim di Austria, menceritakan, “Ada seorang artis bercerita pada saya.

Baca Juga

Suatu kali dia bersama ayahnya shalat berjamaah di masjid dan ikut mendengar ceramah dari imam masjid. Para jamaah yang hadir tentu mengenal artis tersebut dan berbagai film yang dibintanginya.

Sebagian mereka mulai berpandangan sinis pada sang artis. Tapi dia berusaha cuek. Ironisnya, ketika memberikan ceramah, sang imam menggunakan bahasa-bahasa menyindir yang jelas diarahkan pada dirinya dan ayahnya.

Artis itu berkata, “Hampir saja saya sekeluarga keluar dari Islam setelah mengalami peristiwa itu.”   

Terlepas dari apa film yang dibintangi sang artis dan bagaimana kehidupannya yang sesungguhnya, tapi persepsi masyarakat pada dunia artis memang cenderung negatif. Padahal profesi artis tidak selalu identik dengan dosa. Sebagaimana ‘profesi’ ustadz juga tidak selalu identik dengan ketakwaan. 

Namun yang sangat disayangkan adalah cara masyarakat, bahkan sebagian ustadz dan tokoh agama, dalam memandang sebuah maksiat. Seolah-olah orang yang melakukan maksiat adalah sosok yang kotor dan harus dijauhi.

Padahal mereka tahu bahwa hati para makhluk hanya Sang Khaliq yang tahu. Sejak dulu, para ulama -terutama kalangan Sufi- selalu berpesan : 

انْظُرْ إِلىَ النَّاسِ بِعَيْنِ الْحَقِيْقَةِ وَانْظُرْ إِلَى نَفْسِكَ بِعَيْنِ الشَّرِيْعَةِ “Lihatlah pada orang lain dengan kacamata hakikat, dan lihatlah pada dirimu dengan kacamata syariat.” 

Dalam bahasa yang lebih ‘tajam’ dan ‘berani’, ada yang mengungkapkannya dengan : 

انْظُرْ إِلىَ النَّاسِ بِعَيْنِ اللهِ “Lihatlah orang lain dengan ‘kacamata’ Allah.”   

Baca juga: Bukti-Bukti Meyakinkan Mualaf Gladys Islam adalah Agama yang Paling Benar 

Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah رحمه الله, seorang tokoh yang banyak dirujuk kalangan yang agak anti pada sufi, bahkan menguraikan ada 31 (tiga puluh satu) hikmah di balik terjadinya sebuah maksiat yaitu mengapa Allah SWT membiarkan seorang hamba jatuh pada maksiat, kenapa tidak dihalangi antaranya dengan maksiat itu. Di antara hikmah tersebut adalah : 

Pertama, Allah SWT mencintai orang-orang yang bertobat dan bergembira dengan tobat mereka karena gembira dengan tobat mereka itu Allah SWT menetapkan dosa terhadap hamba-Nya. Hamba yang mendapat ‘inayah dan hidayah akan bertobat setelah maksiat itu.    

 

Kedua, menyadarkan hamba akan kemahaagungan Allah SWT, bahwa kehendak-Nya juga yang akan berlaku. 

Ketiga, menyadarkan hamba akan kebutuhannya kepada Sang Pencipta, bahwa tanpa penjagaan dari-Nya tentu dia sudah dirobek-robek setan. 

Keempat, Allah SWT ingin menyempurnakan maqam (level) adz-dzul (kehinaan) dan al-inkisar (kerendahan) pada diri hamba-Nya karena ketika seorang hamba hanya menyaksikan kesalehannya saja maka dia akan merasa bersih dan mengira bahwa dia sudah sampai ke maqam ini dan itu. 

Tapi ketika dia diuji dengan dosa dia akan merasa hina dan rendah.  Dalam konteks inilah hikmah Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandariy رحمه الله : 

رُبَّ مَعْصِيَةٍ أَوْرَثَتْ ذُلاًّ وَانْكِسَارًا خَيْرٌ مِنْ طَاعَةٍ أَوْرَثَتْ عِزًّا وَاسْتِكْبَارًا  

“Terkadang maksiat yang melahirkan rasa hina dan rendah lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan ketinggian dan kesombongan.” )  

Kelima, menyadarkan hamba betapa luasnya sayang, santun, dan kasih Allah سبحانه وتعالى ketika dosa dan maksiatnya ditutupi. Allah SWT bisa saja menyegerakan azab saat ia berdosa, atau membuat aibnya tersebar di kalangan manusia. Tapi itu tidak Dia lakukan. 

Keenam, menyadarkan hamba bahwa tidak ada cara selamat kecuali dengan kemaafan dan ampunan Allah سبحانه وتعالى, bukan dengan amal dan kesalehannya. 

Ketujuh, iqamatul hujjah ‘ala al-‘abd (mendirikan hujjah terhadap seorang hamba sehingga tidak ada lagi alasan yang bisa dia kemukakan) bahwa kalau Dia mengazab maka hal itu karena kemahaadilan-Nya, dan yang Dia maafkan jauh lebih banyak. Seorang tokoh tabi’in terkenal bernama Ahnaf bin Qais berkata: 

اللهم إِنْ تَغْفِرْ لِي فَأَنْتَ أَهْلٌ لِذَاكَ وَإِنْ تُعَذِّبْنِي فَأَنَا أَهْلٌ لِذَاكَ

“Ya Allah, jika Engkau ampuni aku maka Engkau yang pantas untuk itu, dan jika Engkau azab aku maka aku memang pantas mendapatkan itu.”   

Baca juga: India Tangkap Tersangka Pemenggal Kepala Warga Hindu Pro Penghinaan Nabi   

Kedelapan, Allah SWT ingin mencabut akar kesombongan ketaatan dari diri seorang hamba dan menyelamatkannya dari penyakit paling berbahaya al-kibr (sombong). Rasulullah SAW bersabda : 

لَوْ لَمْ تُذْنِبُوْا لَخِفْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ ؛ الْعُجْبُ 

“Kalau kalian tidak berdosa, sungguh aku mengkhawatirkan hal yang lebih berbahaya dari dosa yaitu ‘ujub.” 

Kesembilan, Allah SWT ingin memunculkan dari dirinya sifat penghambaan yang hakiki dengan adanya al-khauf dan al-khasyah (rasa takut) serta dampak dari rasa takut itu tangisan dan penyesalan. 

Kesepuluh, maksiat membuat seorang hamba lebih waspada terhadap jerat dan perangkap setan dan hawa nafsu, karena dia pernah mengalaminya, sehingga dia akan lebih berhati-hati, ibarat seorang dokter yang pernah merasakan sakit lalu minum obat dan merasakan manjurnya obat itu. 

Kesebelas, maksiat membuat seseorang lebih toleran, kasihan dan berempati terhadap pelaku maksiat yang lain, karena dia sendiri pernah terjerumus ke dalam lobang itu. Dia tidak akan merasa lebih suci atau aman dari berbagai jerat setan dan hawa nafsu. Hanya mereka yang merasa suci saja yang merendahkan pelaku maksiat. 

Keduabelas, tak jarang kenikmatan yang dirasakan setelah bertaubat lalu kembali pada ‘afiyah ketaatan jauh lebih sempurna dan menenangkan. 

Ketigabelas, maksiat sebagai ujian bagi seorang hamba, apakah dia layak untuk menjadi wali Allah SWT atau tidak. Ketika seseorang bermaksiat, dia akan merasakan kegersangan dan kesendirian (wahsyah). 

Kalau setelah itu dia bermunajat dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT untuk dikembalikan lagi pada kondisi halawah (kemanisan) taat dan mu’amalah, dan ia iringi dengan mujahadah sekuat tenaga, berarti ia layak menjadi kekasih (wali) Allah SWT. 

Tapi jika dia tidak merasa ada yang hilang, atau tidak merasa rindu untuk kembali pada kondisi al-washl yang pernah dia rasakan, berarti dia tidak layak menjadi kekasih-Nya. (Lihat kitab Thariq al-Hijratain wa Bab as-Sa’adatain).

 

اللهم صلنا إليك وافتح علينا فتوح العارفين بك يا أرحم الراحمين     

 
Berita Terpopuler