Pesan Politik Rakorwil Muhammadiyah Samarinda untuk Partai-Partai

Anies dapat 100% dukungan, disusul Sandiaga 47%, dapat dukungan Rakorwil

Makmun Murod
Rektor UMJ memberkan paparan dalam Rakorwil Muhammadiyah di Samarinda (25/6/2022).
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Ma’mun Murod Al-Barbasy, Rektor Univeritas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). 

Sabtu, 25 Juli 2022 saya berkesempatan mengisi materi pada Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Kalimantan Timur yang bertempat di Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur (UMKT) Samarinda. 

Rakorwil ini merupakan follow up dari pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) LHKP PP. Muhammadiyah yang digelar tahun 2021. Materi Rakorwil membahas seputar relasi Muhammadiyah dan politik, peran politik kebangsaan Muhammadiyah, tentu dengan segala dinamikanya. Dalam konteks yang lebih praksis dan tentu dalam bingkai Muhammadiyah sebagai jamaah, Rakorwil juga membincang seputar diaspora politik, kesiapan menyongsong Pemilu serentak 2024, baik dalam konteks Pilpres maupun Pileg. 

Rakorwil ini berlangsung secara hybrid. Ada yang hadir secara offline berjumlah 47 orang dan yang hadir secara online berjumlah 34. Rakorwil ini selain dihadiri Ketua PWM Kaltim Suyatman dan pimpinan PWM Kaltim lainnya, juga dihadiri perwakilan pimpinan LHKP PWM Kaltim, perwakilan semua Organisasi Otonom tingkat provinsi: ‘Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul ‘Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Hizbul Wathan, serta perwakilan dari LHKP Daerah se-Kalimantan Timur.

Saya kebetulan diminta untuk menyampaikan meteri terkait relasi Muhammadiyah dan politik. Mengawali penyampaian materinya, saya sengaja meminta kepada seluruh peserta untuk menuliskan lima nama calon presiden yang urutannya disesuaikan dengan nama yang dipandang paling kapabel untuk menjadi calon presiden.

Dari jawaban yang dikirim melalui Whatsapp, ada lima nama tertinggi calon presiden pilihan jamaah peserta Rakorwil, yaitu Anies Baswedan dengan 100% dukungan, disusul Sandiaga Uno 47% dukungan. Urutan ketiga ditempati Ridwan Kamil dengan 42% dukungan. Ganjar Pranowo menyusul di urutan keempat dengan dukungan 37%. Dan urutan kelima ditempati Gatot Nurmantyo dan Agus Harimurti Yudhoyono yang sama-sama mendapat dukungan 32%. 

Terdapat dua peserta yang hanya menulis satu nama, yaitu Anies Baswedan. Ada juga satu peserta yang menulis nama Anies Baswedan pada nomor satu sampai tiga dan satu peserta yang menulis nama Anies Baswedan pada nomor satu sampai lima. 

Di luar nama-nama tersebut, terdapat nama Din Syamsuddin dan Prabowo Subianto yang sama-sama mendapat dukungan 26%. Nama Amien Rais juga muncul dengan dukungan 16%. Bahkan ada satu peserta yang menulis nama Amien Rais pada urutan pertama, sementara nama Anies Baswedan ditulis di urutan kedua, dan inilah satu-satunya peserta yang menulis nama Anies Baswedan pada nomor urut dua, selebihnya menulisnya pada nomor urut satu. 

Terdapat juga nama-nama lain, seperti Haedar Nashir, Zulkifli Hasan, dan Ridho Rahmadi (Ketua Umum Partai Ummat), dengan memperoleh dukungan sama, yaitu 10%. Selebihnya memperoleh suara di bawah 10%, masing-masing Busyro Muqoddas, Puan Maharani, Surya Paloh, Muhaimin Iskandar, Khofifah Indar Parawansa, Isran Noor (Gubernur Kaltim), dan Sri Puji Astuti (anggota DPRD Samarinda). 

Meskipun hanya “survei kecil”, hasilnya menebar pesan politik yang serius bagi partai-partai politik yang akan mengusung calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang, terlebih partai-partai yang masih berharap mendapat dukungan dari jamaah Muhammadiyah. 

Bagi yang memahami dengan baik karakter politik jamaah Muhammadiyah dalam hal pilihan politiknya, terlebih bila berangkat dari pengalaman dua pemilu terakhir: Pemilu 2014 dan 2019, maka didapati dua karakter politik yang menarik. Pertama, dalam konteks Pileg, suara jamaah Muhammadiyah cenderung terpolarisasi (secara terbatas) ke beberapa partai politik, utamanya partai yang selama ini banyak mendulang dukungan politik jamaah Muhammadiyah. Sementara itu, pada konteks Pilpres, suara jamaah Muhammadiyah secara mainstream cenderung monolitik pada satu pasangan tertentu. 

 

 

Kedua, berangkat dari pengalaman Pemilu 2019 yang berlangsung serentak, suara jamaah Muhammadiyah cenderung linier antara suara Pilpres dengan suara Pileg. Partai yang pada Pilpres mengusung calon presiden yang senafas dengan suara mainstream jamaah Muhammadiyah, potensial juga didukung oleh mainstreamjamaah Muhammadiyah, apalagi kalau partai yang bersangkutan mempunyai kedekatan historis dan emosional dengan jamaah Muhammadiyah. Sebaliknya, partai politik yang mendukung calon presiden yang tak senafas dengan pilihan suara mainstream jamaah Muhammadiyah, cenderung tidak dipilih, meskipun partai yang bersangkutan mempunyai hubungan emosional dan kesejarahan dengan jamaah Muhammadiyah.

Pada Pemilu 2019, ada tiga partai yang dinilai mempunyai kedekatan emosional maupun historis dengan jamaah Muhammadiyah, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PPP adalah partai yang lahir dari fusi empat partai Islam hasil Pemilu 1971: NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Dan Parmusi adalah partai yang di dalamnya dihuni banyak jamaah dan tokoh Muhammadiyah. Bahkan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal pertama Parmusi dijabat oleh Djarnawi Hadikusumo (putra Ki Bagus Hadikusumo) dan Lukman Harun (saat itu Ketua Pemuda Muhammadiyah). Dengan historisnya yang seperti ini, wajar bila masih banyak jamaah Muhammadiyah, terlebih dari kalangan tua, yang masih setia mendukung PPP.

Sementara PAN merupakan partai yang lahir atas Rekomendasi Tanwir Muhammadiyah Semarang 1998 dengan Ketua Umum pertamaanya Amien Rais, yang saat itu masih menjabat Ketua PP Muhammadiyah, sebelum akhirnya digantikan oleh Syafii Maarif. Dan terakhir PKS. Di mata sebagian jamaah Muhammadiyah, PKS masih menjadi pilihan politik dalam setiap pemilu, karena –di antaranya– simbolisasinya sebagai partai Islam. 

PAN dan PKS, yang mendukung calon presiden yang dinilai senafas dengan mainstream jamaahMuhammadiyah, memperoleh dukungan jamaah Muhammadiyah secara signifikan. Perolehan suara PAN pada Pemilu 2019 memang relatif stabil, tidak mengalami peningkatan yang signifikan. PAN mendapatkan 9.572.623 (6,84%) suara dengan 44 kursi. Namun, andai kursi DPR RI PAN dari Jawa Tengah tidak “hilang” seluruhnya, maka perolehan suara maupun kursi PAN diyakini akan meningkat dibandingkan dengan Pemilu 2014, di mana PAN mendapatkan 9.481 (7,59%) dengan 49 kursi. Pada Pemilu 2014, PAN mendapatkan 8 kursi DPR RI dari Jawa Tengah. Andai perolehan kursi DPR RI dari Jawa Tengah bertahan, maka jumlah kursi PAN bertambah menjadi 52 kursi. “Hilangnya” kursi PAN dari Jawa Tengah tampaknya lebih banyak karena sikap kritis Amien Rais kepada rezim penguasa.

Perolehan suara PKS melejit pada Pemilu 2019, yaitu mendapat suara 11.493.663 (8,21%) dengan 50 kursi, naik dibandingkan dengan Pemilu 2014, di mana PKS hanya memperoleh suara 8.480.204 (6,78%) dengan 40 kursi. Sebaliknya, PPP yang dinilai tak senafas dengan suara jamaah Muhammadiyah, hampir-hampir tidak lolos ambang batas sebesar 4%. Pada Pemilu 2014, PPP mengantongi suara 8.157.488 (6,53%) dengan 39 kursi. Hasil Pemilu 2019 perolehan suaranya turun menjadi 6.323.147 (4,52%) dengan 19 kursi.

Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan NasDem di beberapa daerah juga masih diminati dan menjadi pilihan jamaah Muhammadiyah, namun tidak cukup signifikan bila dibandingkan dengan dukungan jamaah Muhammadiyah terhadap PAN dan PKS. 

 

Hati-hati Tentukan Capres

Berkaca pada hasil Pemilu 2019, partai-partai, utamanya PAN dan PKS, harus berhati-hati dalam menentukan calon presiden. Pileg dan Pilpres 2024 akan berlangsung serentak sebagaimana Pileg dan Pilpres 2019, tentu iklim politik dan suasana batin masyarakat berbeda dengan ketika Pileg dan Pilpres masih berlangsung secara terpisah. 

Saat Pileg dan Pilpres masih berlangsung terpisah, penentuan atau dukungan pada calon presiden dilakukan selepas berlangsungnya Pileg. Sehingga secara politik tak akan ada pengaruh apapun terhadap partai politik yang bersangkutan. Termasuk ketika partai memutuskan untuk mendukung calon presiden tertentu semata karena pertimbangan pragmatis sekalipun, misalnya sebatas mendapatkan “mahar politik” yang besar, tak akan ada pengaruhnya terhadap partai tersebut. 

Namun tidak demikian ketika Pileg dan Pilpres berlangsung serentak. Partai harus memahami dengan cermat dan arif bahwa memilih calon legislatif (Pileg) tidak sama dengan memilih calon presiden (Pilpres). Karenanya, dalam menentukan dukungan pada calon presiden, partai-partai tak boleh hanya semata bersandar pada pertimbangan pragmatis, dengan mengedepankan politik yang serba abu-abu. Politik dalam pengertian sebagai nilai juga harus diperhatikan dan menjadi pertimbangan serius dalam menentukan calon presiden yang hendak didukung. 

Hasil “survei Samarinda” harus dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan calon presiden yang akan diusung. Mengabaikan “survei Samarinda” dan survei lainnya yang sejenis, secara politik bisa berakibat fatal bagi partai tersebut. 

“Survei Samarinda” merupakan pesan politik yang serius yang harus disikapi secara serius pula oleh partai politik yang masih berkeinginan mendapat dukungan jamaah Muhammadiyah. Partai-partai politik, utamanya partai yang selama ini secara mainstream mendapat dukungan jamaah Muhammadiyah, harus penuh pertimbangan dalam menentukan calon presiden, salah satunya tentu dengan memperhatikan denyut nadi pilihan politik jamaah Muhammadiyah. 

 

 
Berita Terpopuler