Beban APBN Sangat Berat, Skema Pembelian Pertalite Segera Diatur Ketat

Menurut Jokowi, beban APBN menyubsidi BBM mencapai Rp 502 triliun.

ANTARA/Makna Zaezar
Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite ke sepeda motor konsumen di SPBU Imam Bonjol, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Jumat (24/6/2022). Berdasarkan data PT Pertamina (Persero) Patra Niaga Regional Kalimantan, konsumsi BBM jenis Pertalite di Palangka Raya mengalami peningkatan sebesar 18 persen yaitu dari 6.427 kiloliter pada Januari-Maret menjadi 7.595 kiloliter pada April-Mei 2022.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Intan Pratiwi, Antara

Baca Juga

Dalam sepekan terakhir, Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa kali menyinggung beratnya beban APBN saat ini. Pandemi Covid-19 dan kondisi geopolitik global menyusul perang Rusia-Ukraina menjadi penyebab.

Pada acara Silaturahmi Tim Tujuh Relawan Jokowi di E-Convention Ancol, Jakarta Utara, pada Sabtu (11/6/2022), Jokowi mengungkap 'hilangnya' APBN akibat pandemi Covid-19. Nilainya mencapai Rp 1.400 triliun. 

"Covid dua tahun ini menghapuskan anggaran kita, hampir Rp 1.400 triliun hilang. Negara lain juga sama, menganggarkan duit yang gede sekali, hilang," kata Jokowi.

Lalu saat pandemi sudah mulai mereda, negara masih harus menghadapi tantangan lainnya akibat perang di Ukraina dan Rusia. Sehingga upaya pemulihan ekonomi yang akan dilakukan pun kembali terhambat.

"Karena dua hal tadi, karena Covid, kemudian karena perang menjadikan semuanya menjadi tidak pasti, menjadi semuanya tidak jelas," ujarnya.

Kondisi saat inipun menyebabkan terjadinya lonjakan harga di semua negara. Kendati demikian, Jokowi bersyukur karena pemerintah masih mampu mengendalikan lonjakan sejumlah harga.

Ia pun kemudian mencontohkan terjadinya kenaikan harga BBM di dalam negeri. Di Indonesia, harga Pertalite masih Rp 7.650 per liter dan harga Pertamax Rp 12.500. Sementara di Amerika Serikatm (AS), harga BBM sudah mencapai Rp 19.400, bahkan di Singapura mencapai Rp 33 ribu.

"Bayangkan kalau Pertalite jadi Rp 33 ribu, pasti demo semuanya, bener nggak? Oleh sebab itu, dengan sekuat tenaga, kita pertahankan harga ini," lanjut Jokowi.

Ongkos untuk mencegah gejolak berujung demonstrasi jika harga BBM naik, kata Jokowi, tidaklah murah. Subsidi untuk menutup selisih harga BBM agar tetap murah itu mencapai Rp 502 triliun. 

Menurut Jokowi, tidak ada negara lain yang berani memberikan subsidi sebesar ini. Meskipun demikian, lanjutnya, pemerintah tetap memutuskan untuk memberikan subsidi karena perekonomian masyarakat masih belum pulih akibat terdampak pandemi Covid-19.

"Memang yang berat itu APBN, APBN menjadi berat karena subsidinya sekarang untuk BBM, Pertalite, Pertamax, Solar, Elpiji, subsidinya menjadi Rp 502 triliun. Gede sekali," ujar Presiden saat menghadiri pembukaan Kongres Nasional ke-32 dan Sidang Majelis Permusyawaratan Anggota ke-31 Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) di Samarinda, Rabu (22/6/2022).

Selain masalah energi, Jokowi juga menyebut subsidi diberikan untuk urusan pangan. Ia mencontohkan harga beras yang masih terjangkau di dalam negeri jika dibandingkan negara lainnya. Di Indonesia, harga beras rata-rata sebesar Rp 10 ribu. Sementara di AS, kata dia, sudah mencapai Rp 52 ribu.

"Bayangkan kalau harga beras di sini menjadi Rp 52 ribu, demo setahun nggak rampung-rampung, bener nggak? Ini yang perlu saya sampaikan biar kita semuanya tahu. Oleh sebab itu, kita pertahankan harga beras supaya tidak naik, harga BBM juga tidak naik," ucap Jokowi.

"Tetapi kita juga harus ingat APBN itu ada keterbatasannya. Ini akan terus kencengin sampai akhir tahun entah dengan cara apa, sampai akhir tahun kita kencengin supaya yang tadi saya sebutkan itu tidak naik dengan subsidi," ujarnya.

 

 

Saat rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, Kamis (9/6/2022) lalu, Pemerintah mengusulkan kepada Banggar DPR untuk menambah anggaran subsidi dan kompensasi energi. Adapun penambahan anggaran ini sebagai respons kenaikan harga minyak dan komoditas energi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta tambahan anggaran sebesar Rp 74,9 triliun. Tambahan ini akan digunakan untuk membayar selisih subsidi dari alokasi sebelumnya sebesar Rp 71,8 triliun khusus BBM dan elpiji sebesar Rp 3,1 triliun khusus listrik.

 

“Karena kebutuhan anggaran kompensasi yang cukup besar, kami mengusulkan tambahan anggaran APBN 2022 sebesar Rp 275 triliun,” ujarnya 

Sedangkan kompensasi, Sri Mulyani mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp 216,1 triliun dari sebelumnya hanya Rp 18,5 triliun. Namun karena ada kurang bayar kompensasi dari 2021 sebesar Rp 108,4 triliun maka kebutuhannya sebesar Rp 324,5 triliun.

"Karena di dalam UU APBN kita hanya mengalokasi Rp 18,5 triliun jadi kami masih ada tagihan Rp 108,4 triliun tahun sebelumnya 2021 plus tahun ini kenaikan kompensasi sebesar Rp 216 triliun, totalnya menjadi Rp 324,5 triliun," ucapnya.

Banggar DPR persetujuan kepada pemerintah untuk menambah alokasi subsidi energi sebesar Rp 74,9 triliun dan tambahan alokasi kompensasi BBM dan listrik sebesar Rp 275 triliun. Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan penambahan anggaran bertujuan agar APBN bisa menyesuaikan dengan kondisi eksternal dan pemerintah dapat memiliki elastisitas fiskal, khususnya untuk kenaikan alokasi subsidi dan kompensasi energi.

Menurutnya Banggar DPR telah menyetujui perubahan postur APBN 2022. Adapun perubahan ini dilatarbelakangi oleh pergeseran asumsi Indonesian Crude Price (ICP) pada APBN 2022 yang semula dipatok 60 dolar AS per barel padahal harga ICP terus merangkak naik hingga diatas rata rata 100 dolar AS per barel.

 

Said menyebut kenaikan harga bukan hanya terjadi sektor minyak dan gas bumi, tetapi juga berbagai komoditas lainnya, terutama pangan. Maka itu, Banggar DPR dan pemerintah sepakat untuk menjaga daya beli rumah tangga dengan menambah anggaran program perlindungan sosial sebesar Rp 18,6 triliun. 

“Langkah ini sebagai antisipasi bila inflasi naik dan berpotensi memangkas pertumbuhan ekonomi, mengingat 53 persen PDB nasional disumbang dari konsumsi rumah tangga,” ucapnya.

 

Ke depan Said menyebut prioritas waktu dekat pemerintah mempersiapkan skema pembelian Pertalite dan Solar sebagai barang subsidi. Adapun langkah ini sebagai barrier agar pembeli Pertamax dan Solar nonsubsidi tidak bermigrasi ke Pertalite dan Solar subsidi.

 

“Saatnya pemerintah membantu BUMN, tetapi pada waktunya, BUMN tahu diri, dan berpikir strategis tentang kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar,” tutupnya.

 

Pascapenetapan Pertalite atau BBM RON 90 menjadi BBM bersubsidi Maret silam, pemerintah saat ini memang tengah menetapkan kriteria siapa siapa saja yang bisa membeli BBM bersubsidi ini. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menargetkan aturan untuk pembelian Pertalite dapat mulai berlaku pada Agustus 2022. 

"Agustus atau paling lambat September itu sudah bisa diberlakukan tapi tentu saja kewenangan itu bukan di kami karena itu perpres," kata Kepala BPH Migas Erika Retnowati di DPR, Kamis (23/6/2022).

Erika melanjutkan, poin-poin usulan untuk merevisi Perpres tersebut telah disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada Presiden Jokowi. BPH Migas merencanakan adanya pengaturan atau identifikasi ulang untuk konsumen pengguna jenis BBM tertentu solar. Selain itu, juga akan diatur ketentuan untuk konsumen pengguna Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) Pertalite.

"Kami menyiapkan aturan turunannya berupa Peraturan Kepala dan Surat Keputusan," imbuh Erika.

BPH Migas pada awal Juni ini mencatat angka konsumsi bahan bakar minyak khusus penugasan jenis Pertalite telah mencapai lebih dari 50 persen dari kuota yang ditetapkan APBN per 31 Mei 2022. "Pertalite telah tersalurkan sebanyak 11,69 juta kiloliter atau 50,74 persen dari kuota 23,04 juta kiloliter," kata Erika.

 

 

 

Negara produsen minyak terbesar dunia. - (Tim infografis Republika)

 
Berita Terpopuler