Perundungan di Medsos Bisa Merembet Menjadi Konflik di Dunia Nyata, Apa Daya Ayah Ibu?

Orang tua harus sigap membantu anak korban perundungan di medsos.

www.freepik.com
Anak bermain media sosial (ilustrasi). Anak yang menjadi korban perundungan di media sosial cenderung mencari aman. Mereka memilih diam dan enggan melaporkannya. Orang tua pun perlu mengenali perubahan pada anandanya.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Dr Oktiva Anggraini, mengingatkan bahwa perundungan bisa dialami anak di media sosial. Ia pun menyerukan para orang tua untuk mampu mengantisipasi potensi tersebut.

Baca Juga

"Orang tua harus hadir, cepat, dan sigap membantu mengatasi dan menyelamatkan perundungan di media sosial," kata Oktiva saat kegiatan pengabdian masyarakat di Kelurahan Prenggan, Kotagede, Yogyakarta, Selasa (7/6/2022).

Perundungan di ranah dunia maya merupakan migrasi bentuk dari perundungan dunia nyata. Oktiva mengatakan, itu membahayakan anak dan remaja.

Menurut Oktiva, perundungan di dunia maya pada akhirnya bisa bermutasi lagi menjadi konflik dan kekerasan di dunia nyata. Ia menuturkan, anak dan remaja korban perundungan di dunia siber yang tidak mau membuka kasusnya kepada keluarga maupun publik bisa berdampak serius pada mental mereka.

"Efek mereka membiarkan kasus yang menimpa adalah derita pada diri remaja yang menjadi korban kejahatan tersebut. Situasi ini sesungguhnya bukan persoalan sederhana, sebaliknya ini situasi yang sangat sulit bagi mereka," ujar dia.

Menurut Oktiva, ada tiga bentuk dampak yang biasanya dirasakan korban perundungan, yakni dampak psikis, fisik, dan psikososial. Dampak psikis ringan seperti cemas dan takut, sedangkan dampak berat seperti depresi dan keinginan untuk bunuh diri.

"Dampak fisik, sebagai rentetan dari psikis, penderita akan pusing, asam lambung naik, sulit tidur, dan gangguan pencernaan," jelas Oktiva.

Dampak berikutnya bersifat psikososial, yakni anak malas belajar, prestasi menurun bahkan enggan pergi ke sekolah karena merasa telah dikucilkan teman-temannya. Karena itu, menurut Oktiva, orang tua harus sigap ketika menghadapi anak sendiri maupun anak orang lain yang menjadi korban perundungan di media sosial seperti mendokumentasikan bukti perundungan dengan cara tangkapan layar, menyimpan pembicaraan dan memblokir akun pelaku perundungan.

"Pada proses penyelamatan dan identifikasi kejadian itu, kita jangan membalas obrolan, lakukan saja menyembunyikan komentar yang sekiranya tidak pantas," kata Oktiva.

Ketika pelaku perundungan merupakan teman sekolah anak, orang tua bisa bekerja sama dengan guru dan komite sekolah untuk mengatasinya. Peran lain yang sangat penting, menurut Oktiva, orang tua harus membangkitkan kepercayaan diri anak korban perundungan siber agar mau kembali bersekolah dan bersemangat berprestasi seperti sebelumnya.

Selain itu, ayah dan ibu juga perlu memberikan literasi media sosial kepada anak ketimbang melarang mereka menggunakan internet. Dalam memainkan peran tersebut, orang tua perlu mempelajari UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak.

Mengutip data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2019, Oktiva menyebutkan, frekuensi tindak perundungan di media sosial masuk kategori masif. Tercatat sebanyak 49 persen dari pengguna siber yang tercatat 150 juta lebih, mengalami perundungan.

"Maknanya pengguna siber yang mengalami perundungan sangat banyak," kata dia.

Menurut Oktiva, para korban cenderung mencari aman. Mereka memilih diam dan enggan melaporkan.

"Dari 49 persen yang mengalami perundungan, sebanyak 37,5 persen memilih untuk membiarkan tindakan tersebut," ujar dia.

 

 
Berita Terpopuler