Kesalahan Hubungan Manusia dan Kecerdasan Buatan Kerap Muncul dalam Film

Banyak interaksi manusia dan AI dalam film yang meleset dari sasaran.

Flickr
BlueDot Temukan Penyebaran Wabah Corona Mirip SARS (Foto: ilustrasi kecerdasan buatan)
Rep: Meiliza Laveda Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Selama beberapa dekade, budaya pop telah menjanjikan masa depan yang diisi dengan hubungan antara kecerdasan buatan (AI) dengan manusia. Hal ini bisa terlihat dalam sejumlah film seperti 2001: A Space Odyssey, Ava di Ex Machina, dan suara Samantha di Her.

Baca Juga

Sayangnya, masa depan yang disajikan oleh penulis, sutradara, dan aktor film, telah meleset dari sasaran.

Hubungan AI-manusia pertama adalah gagasan Mary Shelley yang menciptakan Frankenstein pada tahun 1818. Dia berhasil membuat pembaca bermimpi akan robot yang dijiwai rasa empati dan bisa memenuhi keinginan manusia.

Berkat inovasi dan perkembangan teknologi, mimpi itu tiba. Sekarang, manusia membentuk hubungan dengan AI setiap hari.

Hubungan tersebut sangat kuat sehingga hampir tidak mungkin manusia dapat melepaskannya. Misal, saat menggunakan Google Assistant untuk menelepon orang yang dicintai atau menelusuri toko daring untuk membeli hadiah.

Namun, masa depan yang diprediksi film berbeda. Ketika berbicara tentang budaya pop dan interaksi AI-manusia, Hollywood salah paham. Interpretasi budaya pop menunjukkan kekurangan yang serius. Pada 2001: A Space Odyssey, HAL 9000, komputer onboard Discovery One, menjadi nakal ketika David dan Frank memutuskan untuk memprogram ulang dia.

Di Her, sistem operasi bernama Samantha memiliki keterampilan bahasa yang murni dan kemampuan percakapan yang sempurna sehingga penggunanya Theodore jatuh cinta padanya. Sedangkan di Ex Machina, Ava yang memiliki wajah manusia di tubuh robotnya memiliki emosi yang sepenuhnya manusiawi, kebencian yang dihasilkan komputer.

Tidak ada keraguan AI telah membuat kemajuan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, perlu diakui teknologi ini masih dalam tahap awal.

Pendamping perawatan yang dioperasikan dengan suara ElliQ, telah meningkatkan kehidupan banyak manusia lanjut usia (manula) dengan membuat mereka terlibat dan aktif di rumah mereka. Para manula yang menggunakan ElliQ melaporkan mereka mengaku tidak terlalu kesepian, khususnya selama periode penguncian pandemi Covid-19.

 

ElliQ yang bertenaga AI dapat menceritakan lelucon, mendorong para manula untuk berolahraga, mengingatkan untuk minum air putih, dan menawarkan percakapan sebagai penangkal kesepian. Terlepas dari keterampilan dan selera humornya, semua pengguna ElliQ mengatakan mereka tahu ElliQ bukan orang nyata. Ikatan yang mereka bentuk berbeda dengan hubungan orang lain di kehidupan mereka.

Selain ElliQ, ada juga manusia robot dan pelatih penjualan AI bernama Jenny. Di perusahaan seperti Zoom, Jenny dianggap sebagai anggota tim. Bahkan, dia diberi profil sendiri. Dia menyediakan percakapan langsung dengan tenaga penjualan untuk membantu meningkatkan kinerja mereka.

Meskipun dia ramah dan mudah didekati seperti anggota tim manusia, studi menunjukkan sumber daya tariknya berasal dari fakta bahwa dia bukan manusia. Oleh karena itu, dia memberikan penilaian tanpa emosi dan mempermalukan rekan latihannya.

Kekuatannya berasal dari fakta bahwa dia bertenaga AI yang menghilangkan rasa malu dan hambatan dari sesi pelatihannya. Komputer hanya dapat menilai berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Sebagai hasilnya, mereka yang menggunakan layanannya dapat meningkatkan dengan lebih sedikit perasaan negatif.

Manusia harus tahu mereka sedang berbicara dengan AI sejak awal

Dikutip VentureBeat, Senin (6/6/2022), karena AI terus meningkatkan jangkauan emosinya, perusahaan harus ingat bahwa penipuan adalah penghalang nomor satu bagi kesuksesan AI.

Ketika manusia tertipu saat mereka berpikir sedang berbicara dengan manusia padahal sebenarnya AI, itu pada akhirnya akan mengecewakan dan memutuskan ikatan emosional mereka. Namun, ketika manusia tahu dari awal bahwa mereka berbicara dengan robot, mereka secara tidak sadar menyesuaikan komunikasi mereka.

Di masa depan, pengetahuan AI akan membuka saluran yang signifikan untuk penyembuhan emosional, perawatan kesehatan mental, dan pertumbuhan sosial dan profesional. Kisah Joshua Barbeau yang melakukan percakapan dengan tunangannya yang sudah meninggal melalui AI untuk membantu mengatasi kesedihan adalah indikator mencolok dari potensi yang ada ketika AI diterima tanpa penipuan.

AI telah menunjukkan potensi besar sebagai alat di masa depan untuk memerangi krisis kesehatan mental yang berkembang, terutama dalam pencegahan bunuh diri. Sayangnya, sejauh ini teknologinya masih muda dan data pengujian masih langka.

 

Yang jelas tidak ada keraguan ketika berbicara tentang masa depan di mana manusia dan robot berkomunikasi dan membentuk ikatan emosional karena masa depan itu telah tiba. Namun, itu tidak berakhir seperti di karya sastra atau film. Teknologi AI masih sangat baru dan kemampuannya untuk membantu manusia berkembang dan tumbuh sangat menjanjikan.

 
Berita Terpopuler