Militer Myanmar dan Kelompok Oposisi Saling Tuding Soal Ledakan Bom di Yangon

Militer Myanmar dan lawan-lawannya saling tuding atas ledakan bom di Yangon

EPA-EFE/STRINGER
Seorang wanita menyeberang di jalan kosong menuju pagoda Shwedagon di Yangon, Myanmar. Militer Myanmar dan lawan-lawannya saling tuding atas ledakan bom di Yangon. Ilustrasi.
Rep: Rizky Jaramaya/Dwina Agustin Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Militer Myanmar dan lawan-lawannya saling tuding atas sebuah bom yang meledak di Yangon. Ledakan bom tersebut menewaskan satu orang dan melukai sembilan lainnya.

Baca Juga

Artikel yang diterbitkan The Global New Light of Myanmar edisi Rabu (1/6/2022) mengaitkan ledakan itu dengan gerakan bersenjata yang menentang kudeta militer pada tahun lalu. Laporan itu menuding Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), atau kelompok bersenjata oposisi, sebagai dalang atas pengeboman tersebut. 

Laporan itu mengatakan bom buatan tangan ditanam oleh teroris PDF di halte bus yang letaknya sekitar satu blok dari Pagoda Sule, yang merupakan landmark Kota Yangon. Seorang juru bicara Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) atau kepemimpinan oposisi menuding militer Myanmar yang melakukan pemboman. 

“Militer genosida brutal telah melakukan pengeboman dan pembunuhan yang tidak masuk akal terhadap penduduk sipilnya sendiri di seluruh Myanmar,” kata Menteri Kerjasama Internasional NUG, Sasa.

"Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk mendapatkan keadilan bagi orang-orang itu," kata Sasa dalam pernyataan di Twitter.

Laporan surat kabar pada Rabu menyebut PDF menerima bantuan keuangan untuk meluncurkan serangan bom. "Mereka juga melakukan serangan bom menggunakan bom buatan tangan di jalan umum, jalan, terminal bus, dan halte,” tambahnya.

Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta militer tahun lalu yang memicu protes di seluruh negeri. Penentang kekuasaan militer mengangkat senjata dan melakukan pemberontakan aktif di sejumlah bagian negara. Operasi militer oleh pasukan pemerintah di Myanmar timur dan barat laut telah menewaskan ratusan warga sipil, menurut kelompok-kelompok termasuk Amnesty International.

Hitungan terpisah dan terperinci oleh Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan sebanyak 1.876 warga sipil, sebagian besar di kota-kota besar dan kecil, telah dibunuh oleh pasukan keamanan. Otoritas militer mengatakan angka AAPP dibesar-besarkan dan tentara juga menjadi korban.

Foto dan video pengeboman pada Selasa (31/5/2022) beredar di media sosial. Foto dan video tersebut menunjukkan orang-orang yang terluka tergeletak di tanah dan berlumuran darah. Media penguasa militer Myanmar mengatakan ledakan itu terjadi pada pukul 15.20 waktu setempat. Ledakan itu menyebabkan seorang pria berusia 30 tahun meninggal karena luka di dada dan perut.

Kementerian Pertahanan NUG pada Rabu (1/6/2022) mengatakan militer yang berkuasa telah berusaha untuk menyalahkan kelompok perlawanan etnis dan kekuatan revolusioner dalam insiden serupa di masa lalu. Kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan PDF di Yangon mengunggah pernyataan di halaman Facebook mereka dan menyangkal keterlibatan dalam ledakan pada Selasa. Mereka menuduh militer melakukan provokasi.

Pengeboman fatal lainnya terjadi pada Selasa di sebuah kantor pendidikan dua lantai di kotapraja Naung Cho, di Negara Bagian Shan, Myanmar timur. Media pemerintah juga menyalahkan PDF dan NUG atas pengeboman tersebut.

The Global New Light of Myanmar melaporkan seorang kepala sekolah meninggal dan enam tenaga kependidikan serta seorang pegawai negeri terluka. Ledakan itu terjadi ketika sekolah-sekolah negeri sedang mempersiapkan pembukaan kembali kelas mereka.

Sistem sekolah telah menjadi medan pertempuran antara penguasa militer dan musuh-musuhnya. Hal ini menyebabkan jumlah anak putus sekolah di Myanmar meningkat. “Jumlah anak putus sekolah di Myanmar meningkat lebih dari dua kali lipat dalam dua tahun, sekitar setengah dari anak-anak kehilangan pendidikan formal karena penutupan sekolah akibat Covid-19 dan meningkatnya rasa tidak aman,” ujar pernyataan Save the Children.

Setidaknya ada 260 serangan di sekolah antara Mei 2021 dan April tahun ini. Termasuk ledakan di dalam dan sekitar gedung sekolah yang menyumbang hampir tiga perempat dari total itu.

 

"Serangan terhadap sekolah, guru, dan siswa telah melonjak selama setahun terakhir karena konflik, membuat banyak dari mereka takut untuk kembali ke kelas dan, dalam beberapa kasus, tanpa sekolah yang tersisa untuk hadir,” kata Save the Children.

 
Berita Terpopuler