Epidemiolog WHO Yakin Cacar Monyet tak akan Jadi Pandemi Baru

WHO yakin cacar monyet tidak akan berubah menjadi pandemi.

CDC via AP
Foto yang dipasok CDC pada 1997 menunjukkan salah satu kasus cacar monyet di Republik Demokratik Kongo. Ilmuwan masih belum mengerti penyebab kian banyaknya kasus cacar monyet terdeteksi di Eropa dan Amerika Utara pada 2022. Penyakit ini awalnya banyak ditemukan di Afrika.
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Ahli penyakit menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) David Heymann mengungkapkan, penemuan puluhan kasus cacar monyet di sejumlah negara yang tidak endemik virus tersebut merupakan hal tak biasa. Kendati demikian, dia yakin, cacar monyet tidak akan berubah menjadi pandemi berikutnya.

“Ini tidak akan menjadi pandemi seperti yang kita ketahui pandemi, tapi tentu saja mungkin penyakit ini telah menyebar di berbagai belahan dunia dan kami baru mulai mengidentifikasinya,” kata Heymann kepada PA News Agency, Ahad (22/5/2022).

Dia pun yakin, cacar monyet tidak menular lewat udara. “Jadi ini bukan infeksi pernapasan seperti SARS-Cov-2 (penyebab Covid-19). Jadi tidak akan menyebar dengan cara yang sama,” ucapnya.

Mantan asisten direktur jenderal WHO untuk keamanan kesehatan dan lingkungan itu menjelaskan, cacar monyet menular melalui kontak dekat. “Jika terjadi kontak dekat, kontak fisik, ada kemungkinan virus menyebar dari lesi pada satu orang ke orang lain dan bisa masuk melalui luka di kulit atau melalui selaput lendir. Virus ini tidak menular dengan mudah. Ini adalah penyakit yang cukup langka yang sekarang menjadi lebih umum,” kata Heymann.

Menurut dia, ada dua jenis virus. Pertama virus di Afrika Tengah yang sangat mematikan. Ia memiliki 10 persen kematian dan menyebabkan penyakit yang terlihat seperti cacar. “Untungnya, penyakit itu belum menyebar ke luar Afrika, dan semoga saja tidak. Karena orang-orang sangat sakit dan mereka tidak bepergian,” ucapnya.

Baca juga : Cara Lindungi Diri Terhindar dari Cacar Monyet

Sementara kasus cacar monyet yang ditemukan di Eropa dan Amerika Utara adalah jenis virus strain Afrika Barat. Sifatnya lebih moderat. Jika terinfeksi, individu terkait akan mengalami ruam kulit, mungkin satu atau dua lesi pada kulit, demam, nyeri otot, dan pembengkakan kelenjar getah bening.

“Tapi virus ini tidak fatal dalam banyak kasus. Ia bisa berakibat fatal pada kurang dari satu persen orang,” kata Heymann menjelaskan.


Dia menerangkan, masyarakat dapat meminimalkan peluang terpapar atau terinfeksi dengan cara melindungi mereka dari kontak fisik. “Mereka harus waspada bahwa ini menyebar dan mereka harus sangat berhati-hati ketika mereka melakukan kontak fisik dalam bentuk apa pun,” ujarnya.

Untuk saat ini, Heymann mengaku belum mengetahui apakah ada infeksi tanpa gejala atau apakah setiap infeksi menyebabkan lesi kulit. Sama seperti Heymann, epidemiolog dari University of East Anglia, Profesor Paul Hunter, meyakini, cacar monyet tidak akan berubah menjadi pandemi baru.

“Yang penting adalah ada vaksin yang bekerja dan itu adalah vaksin yang sama yang kami gunakan untuk cacar. Tapi hari ini, saya percaya, tebakan terbaik yang pernah saya dengar adalah bahwa itu 85 persen efektif melawan cacar monyet, bahkan jika Anda memberikannya dua atau tiga hari setelah seseorang terpapar. Pada akhirnya, ini tidak terlalu menular kecuali Anda memiliki kontak dekat dengan seseorang,” kata Hunter.

Baca juga : Waspada, Penderita Cacar Monyet Masih Bisa Menular Hingga Empat Pekan


Dia enggan menyamakan penemuan puluhan kasus cacar monyet di sejumlah negara dengan situasi Covid-19. "Jika kita mendapatkan vaksinasi dengan benar, kita harus bisa mengendalikannya dengan cukup cepat," ucapnya.

 
Berita Terpopuler