Menjawab Seruan Adzan, Apakah Wajib Hukumnya?

Ada dua perbedaan pendapat di masing-masing mazhab.

Infografis Republika
Infografis Menjawab Seruan Adzan. Menjawab Seruan Adzan, Apakah Wajib Hukumnya?
Rep: mgrol135 Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa orang beranggapan ketika adzan berkumandang kita harus menjawabnya, namun apakah hal tersebut benar adanya? Ada dua perbedaan pendapat di masing-masing mazhab.

Baca Juga

Hukumnya wajib

Ada beberapa pendapat ulama. Dalam Kitab Bada'i al-Shana'ih fi Tartib al-Syara'I karya Al-Kasani dan al-Din Abi Bakr Bin Mas’ud al-Hanafi, bagi sebagian ulama termasuk dari Mazhab Maliki, Mazhab Zahiri, Madzhab Ibnu Wahab, dan Mazhab Hanafi, berpendapat adzan wajib dikumandangkan. Imam Ath-Thahawi juga mengutip berbagai ulama salaf yang berpendapat bahwa mengumandangkan adzan adalah wajib hukumnya.

Ada perintah dari Nabi Muhammad SAW kepada kita bagi yang mendengarkan adzan untuk menjawab adzan sesuai dengan apa yang diucapkan oleh muadzin. Namun, para ulama melihat arahan ini sebagai rekomendasi. Jadi hukum menanggapi adzan merupakan kewajiban, tetapi juga merupakan dorongan yang sangat disarankan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

“Jika kalian mendengar seruan adzan, maka ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan muadzin.” (HR. Al-Bukhari, 611. Muslim, 383).

Selain itu menurut buku Diabaikan Allah Dibenci Rasulullah karya Rizem Aizid, ulama yang mewajibkan menjawab adzan adalah ulama dari Madzhab Zhahiriah dan Ibnu Wahab. Mereka menggunakan dalil hadist dari Abu Sai’id al Khudri sebagai landasan hukum pendapat tersebut.

Menurut buku Risalah Adzan, karangan Ahmad Zarkasih, sunnahnya kita mengucapkan apa yang diucapkan oleh muadzin. Seperti ketika muadzin mengucapkan “asyhadu anna Muhammada-rrasulullah…”, kita juga mengucapkan itu setelah muadzin. Begitu juga seterusnya untuk bacaan adzan yang lain.

Kecuali bacaan hai’alatain; yakni 2, hayya ‘ala. Untuk hayya ‘ala-s-shalat dan hayya ‘ala-l-falah kita disunnahkan untuk menjawabnya dengan hauqalah, yaitu bacaan “Laa haula walaa quwwata illa billahi-l-‘aliyyi-l-adzim.”

Selain itu, lafadz tastwib, "Asslatu khairum mina an-naum" dijawab dengan "sadaqta qa barirta." "Qad qamati assalah" dijawab dengan “Aqamahallahu wa adamaha wa jalana min salihi ahliha."

Hukumnya sunnah

Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanbali, pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki, dan sebagian ulama mazhab Hanafi, berpendapat hukum menjawab seruan adzan adalah sunnah, bukan wajib.

Hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu berikut berbunyi:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغِيرُ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ، وَكَانَ يَسْتَمِعُ الأَذَانَ، فَإِنْ سَمِعَ أَذَانًا، أَمْسَكَ، وَإِلَّا أَغَارَ، فَسَمِعَ رَجُلًا، يَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَى الْفِطْرَةِ

“Rasulullah pernah hendak menyerang satu daerah ketika terbit fajar. Beliau menunggu suara adzan, jika beliau mendengar suara adzan maka beliau menahan diri. Namun jika beliau tidak mendengar, maka beliau menyerang. Lalu beliau pun mendengar seorang laki-laki berkata (mengumandangkan adzan), ‘Allaahu akbar, Allaahu akbar.’ Rasulullah bersabda: ‘Di atas fithrah….’” (HR. Muslim no. 382).

 
Berita Terpopuler