China Sebut Kritik Kepala WHO Soal Kebijakan Nol Covid-19 Ngawur

Ghebreyesus menyinggung kebijakan zero-Covid China tidak berkelanjutan.

AP/Kin Cheung
Seorang pria joging di sebuah taman di Hong Kong, Kamis, 5 Mei 2022. Hong Kong pada Kamis membuka kembali pantai dan kolam renang dalam pelonggaran pembatasan COVID-19, sementara ibu kota China, Beijing, mulai melonggarkan aturan karantina bagi pendatang dari luar negeri.
Rep: Dwina Agustin Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID,BEIJING -- Kementerian Luar Negeri China meminta kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus untuk menghindari menyampaikan pernyataan tidak bertanggung jawab. Ghebreyesus sebelumnya menyinggung kebijakan zero-Covid yang diterapkan China tidak berkelanjutan.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Zhao Lijian dalam konferensi pers reguler pada Rabu (11/5), membela langkah-langkah China dalam memerangi pandemi. Dia mengatakan China berharap Direktur Jenderal WHO dapat melihat kebijakan Covid China secara objektif.

Baca Juga

Sedangkan wakil direktur Pusat Pengendalian Penyakit Shanghai Wu Huanyu mengatakan, kota itu akan terus menerapkan kebijakan zero-Covid. Tindakan itu telah menunjukan kemajuan dalam mengendalikan wabah Covid-19, setiap relaksasi dalam tindakan pencegahan dan pengendalian dapat memungkinkan untuk pulih kembali.

"Pada saat yang sama, sekarang juga merupakan saat yang paling sulit dan kritis bagi kota kita untuk mencapai nol-Covid," kata Wu.

"Jika kewaspadaan kita dilonggarkan, epidemi mungkin akan kembali terjadi, sehingga perlu untuk terus-menerus menerapkan pekerjaan pencegahan dan pengendalian tanpa bersantai," katanya.

Ghebreyesus sebelumnya menyinggung  kebijakan tanpa toleransi Covid-19 yang diterapkan China tidak berkelanjutan.  "Kami tidak berpikir itu berkelanjutan mengingat perilaku virus dan apa yang sekarang kami antisipasi di masa depan," katanya.

"Kami telah mendiskusikan masalah ini dengan para ahli Cina. Dan kami mengindikasikan bahwa pendekatan tersebut tidak akan berkelanjutan... Saya pikir perubahan akan sangat penting," ujarnya membuat komentar yang jarang dilakukan oleh badan PBB tentang penanganan pandemi pemerintah tertentu.

Menurut Ghebreyesus, peningkatan pengetahuan tentang virus dan alat yang lebih baik untuk memeranginya juga menunjukkan sudah waktunya untuk perubahan strategi. Sedangkan Direktur Kedaruratan WHO Mike Ryan mengatakan, dampak dari kebijakan "zero-Covid" pada hak asasi manusia juga perlu dipertimbangkan.

"Kami selalu mengatakan sebagai WHO bahwa kami perlu menyeimbangkan langkah-langkah pengendalian terhadap dampaknya terhadap masyarakat, dampaknya terhadap ekonomi, dan itu tidak selalu merupakan kalibrasi yang mudah," kata Ryan.

Ryan juga mencatat bahwa China telah mencatat 15.000 kematian sejak virus pertama kali dilaporkan di kota Wuhan pada akhir 2019. Jumlah itu relatif rendah dibandingkan dengan hampir 1 juta di Amerika Serikat, lebih dari 664.000 di Brasil dan lebih dari 524.000 di India.

Menurut Ryan dengan fakta jumlah tersebut bahwa negara terpadat di dunia itu ingin mengambil tindakan keras untuk mengekang penularan virus corona. Namun, kebijakan zero-Covid telah menuai kritik mulai dari ilmuwan hingga warganya sendiri, yang mengarah ke siklus penguncian jutaan orang.

Sebagian besar negara lain yang awalnya memiliki pendekatan yang sama dengan Cina. Namun, sekarang setidaknya negara-negara tersebut memulai transisi ke strategi untuk hidup dengan virus. Wabah yang terus berlanjut juga menggarisbawahi betapa sulitnya menghentikan penyebaran varian Omikron yang sangat menular.

Melalui kebijakan zero-Covid, pihak berwenang mengunci area populasi besar untuk membasmi penyebaran virus sebagai tanggapan terhadap wabah virus corona, bahkan jika hanya sejumlah kecil orang yang dinyatakan positif. Salah satunya Shanghai yang memberlakukan aturan sangat ketat.

Penduduk hanya diizinkan keluar dari kompleks hanya untuk alasan luar biasa, seperti darurat medis. Banyak warga bahkan tidak diizinkan keluar dari pintu depan mereka untuk berbaur dengan tetangga. Kebijakan karantinanya juga dikritik karena memisahkan anak-anak dari orang tua dan menempatkan kasus tanpa gejala di antara mereka yang memiliki gejala.

 
Berita Terpopuler