Idul Fitri dan Gagasan Puasa Global     

Idul Fitri merupakan salah satu syiar Islam yang agung pasca-Ramadhan

ANTARA
Ilustrasi eksploitasi alam. Idul Fitri merupakan salah satu syiar Islam yang agung pasca-Ramadhan
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : Syadeli, alumni PMII

REPUBLIKA.CO.ID, Gema takbir Idul Fitri menandai berkahirnya perjalanan ramadhan.  Lelaku puasa selama satu bulan penuh mengantarkan manusia kembali fitri, kembali lagi ke fitrah sebagai manusia yang terhapus dosanya. 

Baca Juga

Fitri dalam pemaknaan esensial tidak dapat diraih tanpa puasa.  Dengan lain perkataan, melalui puasa manusia dapat memfitrikan ucapan, pikiran, dan tindakan-tindakan dalam level personal. 

Manusia diajari untuk mampu mengendalikan dirinya dari segala keinginan yang tidak berujung dan cenderung membahayakan. Kemampuan ini mendorong tindakan personal meluas menjadi tindakan kolektif (sosial). 

Karenanya dalam ruang lingkup yang lebih luas, puasa juga sebenarnya dapat menghentikan dunia dari kepungan bahaya yang mengancam. Yakni bahaya yang disebabkan oleh ketidakberdayaan umat manusia untuk mengendalikan hawa eksploitatifnya.

Setengah abad yang lalu, sekelompok peneliti dari Massachusets Institute Of Technology (MIT) memberi peringatan pada dunia tentang bahaya besar yang mengintai. Peringatan dari peneliti MIT yang tertuang dalam buku berjudul The Limits to Growth (1972) itu ditujukan untuk membatasi upaya tanpa lelah yang dilakukan negara-negara industri besar dalam mengejar pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.  

The Limits to Growth memproyeksikan kemunduran dunia modern yang mencapai puncaknya pada tahun 2040-an terlebih bila kegiatan industri masih menggunakan cara lama (business as usual). Eksploitasi besar-besaran, peningkatan konsumsi tanpa kendali, hasil industri dan dampak polusi tidak disangkal berkontribusi terhadap kelangkaan pangan, krisis energi serta ancaman perubahan iklim di masa depan. 

Beberapa skenario tentang ancaman besar di masa depan dalam telaah MIT dielaborasi oleh Gaya Herrington dalam Journal of Industrial Ecology pada tahun 2020. Gaya Herrington memperluas cakupan analisa dan riset yang diperkuat dengan data teraktual. Ia menilai bila tidak ada prioritas global dalam mengubah cara menggerakan ekonomi dunia, maka manusia akan berada dalam jalur keruntuhannya. 

Herrington menyinggung dan mendalami dua skenario penting yang dianggap relevan sebagai jalan keluar menghadapi krisis di masa depan. Diantaranya ialah seperti konsep Comprehensive Technology (CT), di mana kemajuan teknologi membantu mengurangi polusi dan meningkatkan persediaan makanan, bahkan ketika sumber daya alam habis.

Skenario lainnya ialah konsep stabilized world (SW) yang menegaskan pentingnya penurunan standar hasil industri dan konsmusi sampai unit paling kecil (keluarga). Itu semua dilakukan berdasarkan kesadaran sebelum keadaan memaksa untuk mewajibkannya. 

Mendalami dan menyajikan data terkait konsep CT dan SW tidaklah cukup untuk disuguhkan dalam artikel singkat ini. Mengingat banyaknya variabel potensial yang saling terhubung mulai dari pemanfaatan sumber daya alam, investasi dalam bidang ilmu pengetahuan, upaya menghadirkan teknologi bersih, dan kebijakan terintegrasi jangka panjang antar negara di dunia. 

Tetapi barangkali yang menjadi poin terpenting dari  konsep-konsep tersebut ialah adanya penekanan terhadap pergeseran nilai yang menurut Herrington sebagai komitmen yang tidak bisa ditawar. Pergeseran nilai dimaksud bisa bermakna luas.

Herrington dan para peniliti MIT yang menyusun The Limits to Growth (1972) mungkin ingin mengatakan secara terbuka bahwa budaya  “melampiaskan” sebagai ciri yang melekat dalam perindustrian modern harus segera diganti dengan budaya “pengendalian” global.  

Puasa global 

Mengubah paradigma dari kebiasaan melampiaskan menuju budaya untuk menahan dan mengendalikan ialah perjalanan spiritual. Itu adalah puasa. Dalam konteks  ini bisa kita istilahkan ini sebagai puasa global. Tetapi bisakah dunia berpuasa untuk mengambil jarak dari kecanduan penambangan keuntungan industri yang telah berlangsung berabad-abad lamanya? 

Sederhananya bila dunia yakin penurunan hasil industri dan konsumsi sebagai problem yang tidak terlalu mengerikan dibanding ancaman perubahan ikilm dan kelangkaan pangan, maka dunia punya kans untuk berpuasa.  Sulitnya adalah masalah konsumerisme sendiri sebenarnya bersifat sangat akut, struktural dan bersifat luas yang mencakup skala negara hingga menyentuh skala terkecil unit keluarga. 

Sekarang ini tidak ada satu negara dan satu unit keluarga didunia ini yang betul-betul mempunyai cita-cita ideal selain melayani kebutuhan konsumsi dan menumpuk kekayaan. Budayawan Muhammad Ainun Nadjib (Cak Nun) menyebutnya sebagai budaya mencangkul untuk menganalogikan dua budaya lain yang juga penting tapi terabaikan seperi budaya pedang dan keris. 

Cangkul, pedang, dan Keris adala tiga benda yang punya makna sendiri-sendiri. Cangkul mengandung makna yang letaknya pada fungsi ekonomi. Pedang pada dimensi kepemimpinan.

Sedangkan keris pada aspek kemuliaan dan kebijaksanaan. Ketiganya penting untuk diharmonikan. Tetapi justru yang menjadi pemandangan sehari-hari ialah adanya dominasi cangkul yang menjalar dan menguasai kewibawaan pedang dan melunturkan kemuliaan keris. 

Dalam skala terkecil, setiap individu habis-habisan mencari ilmu atau mengejar jabatan yang muaranya hanya untuk kaya dan berkuasa. Dalam lingkup yang lebih besar, semua negara berlomba mengejar titel negara maju yang dicitrakan oleh kekayaan ekonomi dan juga pengaruh politiknya (berkuasa). 

Hal ini karena memang pada hakikatnya semua negara didunia ini tengah berlomba-lomba mencangkul. Mereka  mengejar cita-cita kemajuan yang parameternya kejayaan materil.

Meskipun ada anggapan bahwa kemajuan ekonomi berkorelasi nyata terhadap kesejahteraan masyarakatnya sehingga dapat menciptakan masarakat yang  teratur. Tetapi kekayaan dan keteraturan yang direngkuh dunia barat jangan membuat kita menterjemahkannya sebagai kemajuan peradaban bersifat final.  

 

Terlebih bila kemesraan sosial di negara-negara maju tergerus oleh kesibukan setiap warganya dalam mencangkul. Keadaan demikian membuat komunitas tidak lagi memiliki kepekaan satu sama lain. Kita juga tidak akan menjumpai sapaan mesra antar tetangga, atau kendurian masal yang mengetengahkan tema keagamaan dan kemanusiaan. 

Ruang interaksi semacam itu jangan diharapkan ada ditengah arus pengabdian komunitasnya yang hanya terfokus pada hasrat untuk mengejar cita-cita materil (mencangkul).

Suatu cita-cita yang tidak hanya dilakukan didalam lingkup keluarga melainkan juga meluas pada lingkup negara. Pengerukan sumber daya untuk menopang industri merupakan ciri dari ketiadaa kontrol terhadap ambisi yang tidak terkendali. 

Kita juga harus melihat kemajuan yang direngkuh negara-negara Barat sebagai sesuatu yang tidak berdiri secara utuh diatas kreatifitas dan ketekunan warga bangsanya. Melainkan terdapat hubungan historis yang tidak terputus dari perilaku sebagian besar bangsa Barat, terutama yang merujuk pada tindakan kolonialisasi (perampokan) yang pernah mereka lakukan di masa lalu. 

Perampokan global semacam itu tidaklah hilang, tetapi berubah wujud melalui eksploitasi dan penetrasi ekonomi dibawah penekanan terhadap sistem dan kebenaran versi Barat. Ini memperlihatkan  bahwa dunia barat bukan hanya tidak cukup mampu untuk menanggulangi ancaman perubahan iklim, tetapi juga tidak cukup mampu untuk mengendalikan ambisi ekploitasi demi kepentingan industrinya. 

Sehingga kita sampai pada kesimpulan sementara bahwa  negara Barat khususnya dan negara industri besar pada umumnya, mungkin belum cukup mampu untuk diajak menjalani puasa global.

Sebab bila mereka mampu tidak mungkin rasanya bila Konferensi COP-26 di Skotlandia tahun lalu menuai banyak kritik. Kritik yang disebabkan oleh tidak adanya rencana ambisius dari sejumlah negara besar untuk mengurangi emisi karbon dan menihilkan penggunaan bahan bakar (batu bara) yang menjadi kontributor utama ancaman perubahan iklim. 

Barangkali inilah momentum yang tepat bagi Indonesia yang sedang memegang keketuaan (presidensi) G20 untuk mengajak dunia dalam memprioritaskan rencana kebijakan dengan skala multigenerasi. Yakni suatu kebijakan yang didasari komitmen untuk mendesain kehidupan bagi generasi berikutnya yang lebih stabil dan bersahabat. 

Sebagai negara mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia jelas mengenal bagaimana konsep puasa tidak hanya diaktualisasikan dalam skala personal, melainkan juga dapat diterapkan dalam skala yang lebih luas.

 

Puasa sebenarnya antitesa dari seluruh kegiatan manusia dan negara industri maju agar tidak hanya mengenal budaya untuk melampiaskan (eksploitasi), melainkan juga mengenal bagaimana menerapkan budaya menahan dan mengendalikan (sumber daya) demi kepentingan jangka panjang.     

 
Berita Terpopuler